Oleh: Nur Syam (Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya)
Beberapa bulan yang lalu, kita dibuat kaget kala dana kotak masjid digunakan untuk pembiayaan gerakan terorisme. Dana yang diperoleh dari infaq masjid di Lampung digunakan untuk pembiayaan terorisme, misalnya pemberangkatan ke ranah pertempuran ISIS di Iraq dan Suriah selain juga digunakan untuk pembiayaan berbagai unjuk rasa di beberapa wilayah di Indonesia.
Dana-dana ini ditarik atas nama Tuhan melalui masjid atau lembaga donasi atau philantropi nasional maupun internasional dengan menggunakan ajaran Islam yang sesungguhnya sangat mulia, misalnya jihad fi sabilillah, amar ma’ruf nahi mungkar, atau da’wah bil hal. Konsep-konsep Islam tersebut ditafsirkan sebagaimana yang diinginkan dan di dalam banyak hal bertentangan dengan pandangan kaum jumhur ulama.
Islam sesungguhnya memiliki konsep yang sangat bagus dan berdaya guna untuk kepentingan masyarakat. Di dalam Islam, dikenal konsep zakat, infaq dan shadaqah. Semua terdapat aturannya. Sedekah atau shadaqah adalah pemberian yang bersifat umum, baik materi atau non materi. Memberikan senyuman yang ikhlas kepada orang lain adalah sedekah. Sedangkan infaq adalah pengeluaran harta di jalan Allah. Jadi infaq lebih khusus dibandingkan dengan sedekah.
Sedangkan zakat harus dibagikan kepada delapan ashnaf atau golongan yang dapat menerima zakat. Fakir (orang yang tidak memiliki harta), miskin orang yang punya penghasilan tetapi tidak cukup), gharim (orang yang banyak hutang), riqab (budak atau hamba sahaya), fi sabilillah (orang yang berjuang di jalan Allah), Mualaf (orang yang masih lemah imannya), Ibnu Sabil (orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan/musafir atau pelajar), amil zakat (panitia penerima zakat). Sedangkan infaq dan shadaqah dapat digunakan untuk kemaslahatan umat dalam berbagai aspeknya.
Semua konsep tentang zakat, infaq dan sedekah dapat digambarkan sebagai dana public atau public fund yang memperoleh pembenaran dan bersumber dari ajaran Islam. Tidak salah jika dinyatakan bahwa zakat, infaq dan sedekah dilaksanakan dengan menggunakan nama Tuhan atau Allah SWT.
Jika infaq dan sedekah merupakan perilaku yang dianjurkan atau sunnah, sementara zakat adalah kewajiban sebagaimana rukun Islam lainnya. Karena menggunakan dalil wajib dan sunnah, maka upaya pengumpulan dana zakat, infaq dan sedekah bisa dilakukan apalagi jika lembaga philantropi tersebut sudah memperoleh izin dari otoritas yang berwenang.
Dalam sepekan terakhir, dunia philantropi atau zakat, infaq dan sedekah menjadi sorotan publik. Tentu dikaitkan dengan dugaan penyelewengan dana publik yang dikumpulkannya. Aksi Cepat Tanggap (ACT), yaitu Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT), sebuah Lembaga philantropi yang telah malang melintang di dalam gerakan philantropi ternyata telah melanggar atas regulasi terkait dengan dana public, yaitu dengan menggunakan hasil dana public untuk operasional sebesar 13,5 persen.
Sementara itu di dalam regulasinya ditentukan hanya maksimal 10 persen. Dengan dalih ini, maka Kemensos telah membatalkan ijin operasional ACT. Pencabutan ijin tersebut dilakukan oleh Muhajir Effendy, Menteri Sosial ad interim beberapa hari yang lalu (5/7/2022). Sementara itu bentuk penyelewengan dananya sedang dilakukan investigasi oleh pihak yang berwenang. Beberapa informasi di media sosial, bahwa ACT ini bergerak dalam aspek pemberian dana kemanusiaan di beberapa negara Timur Tengah atau masyarakat di tengah konflik. Misalnya, warga yang sedang konflik di Palestina, korban perang di Syria, dan lainnya.
Berdasarkan analisis PPAT, bahwa terdapat dugaan adanya transaksi dana yang menyimpang. Dana tersebut diperuntukkan bagi orang-perorang yang nilainya sangat besar, misalnya gaji untuk Ketua Dewan Pembina senilai Rp250 juta, Senior Vice President Rp150 juta dan Vice President Rp80 juta. Bahkan juga diduga untuk pembiayaan tindakan kekerasan. Oleh karena itu, Densus 88 Anti Teror sedang melakukan pendalaman atas persoalan ini (suara.com, 5/7/2022).
Melalui informasi ini, kita menjadi diingatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Agus Wahyu Triatmo, dkk., tentang “A Political Ideology of Indonesian Islamic Philanthropy, A case Study of Suryakarta Beramal” bahwa Lembaga Amil Zakat (LAZ) ini meraup Rp14 milyar setiap tahun, dan dana ini kebanyakan digunakan untuk kegiatan partai politik, karena LAZ ini berafiliasi dengan Gerakan Politik Tarbiyah. Dana sebesar itu tidak digunakan untuk pemberdayaan umat sebagaimana maksud dan tujuan zakat, infaq dan sedekah. Semula LAZ Suryakarta berafiliasi ke Dompet Dhuafa dan kemudian memisahkan diri (Mevy Eka Nurhalizah, nursyam.centre.com, 25/04/2021).
LAZ Suryakarta adalah salah satu yang terlibat di dalam gerakan politik, dan kita bisa menduga LAZ ini bukan satu-satunya. Kita berkeyakinan bahwa ada banyak LAZ dengan muatan ideologi Islamis yang bertebaran di Indonesia. Jadi sesungguhnya dana zakat, infaq dan sedekah kita sudah cukup banyak tidak hanya seperti rilis BAZNAS yang hanya 5-6 trilyun setiap tahun, tetapi bisa lebih dari itu. Hanya saja transparansi dari LAZ ini patut dipertanyakan.
Kiranya diperlukan audit secara menyeluruh atas praktik pengelolaan LAZ di Indonesia dengan pengawasan yang benar, baik dari sisi Audit Syariah maupun Audit Independen. Jangan sampai dana masyarakat yang jumlahnya bisa trilyunan rupiah ini justru digunakan untuk kepentingan dan pengembangan ideologi politik yang sesungguhnya akan merusak keindonesian ini. Wallahu a’lam bi al shawab.
Catatan: artikel ini semula berjudul “Public Fund Atas Nama Tuhan” dan terbit di portal Nursyamcentre