Stanley Khu (Dosen Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Semarang)
Ritual Seblang adalah bagian dari aktivitas tahunan di mana masyarakat Osing memenuhi kewajiban mereka pada roh alam dan roh leluhur yang diyakini mampu memengaruhi kehidupan warga, baik secara positif maupun negatif. Osing sendiri adalah kelompok etnik yang bermukim di Banyuwangi, yang dulunya merupakan bagian dari Kerajaan Blambangan.
Terlepas dari opini umum yang mengategorikan mereka sebagai sub-kelompok etnik Jawa, orang Osing sendiri mengklaim bahwa mereka adalah kelompok yang unik, dengan bahasa dan kebudayaan yang terpisah dari Jawa, baik Jawa Tengah maupun Timur (Wessing 2006).
Sementara itu, ritual Seblang saat ini tercatat hanya dipraktikkan di dua desa Kecamatan Glagah, Olehsari dan Bakungan, dan termasuk ke dalam upacara bersih desa alih-alih sebuah ritual yang berdiri sendiri. Penari utama dalam ritual Seblang haruslah seorang perempuan yang masih suci. Kesucian ini dipahami secara umum sebagai kemurnian fisik dalam artian individu tidak terlibat dalam aktivitas seksual.
Kedua desa menafsirkannya secara berbeda. Di Olehsari, ini bermakna gadis yang masih perawan, sementara di Bakungan, perempuan yang sudah menjalani menopause dan tidak aktif secara seksual dapat menjadi penari Seblang. Secara khusus di Olehsari, seorang gadis yang dirasuki roh alam akan menari selama tujuh hari berturut-turut di sebuah arena ritual tertentu. Konon, ritual ini adalah bagian dari perjanjian yang dibuat oleh pendiri desa dengan roh-roh alam yang merupakan pemilik sah dari tanah tempat desa berdiri.
Setelah izin diberikan melalui sedikit trik dan manipulasi, roh-roh penunggu tempat pergi ke tempat lain, menyisakan hanya satu roh, dikenal dengan nama Mas Brata, yang ditugaskan untuk menjadi penjaga desa (dhanyang). Singkat kata, Seblang adalah upacara setahun sekali untuk mengundang kembali roh-roh yang awalnya telah diminta pergi dari desa (Domenig 2014).
Masing-masing kategori roh bertanggung jawab atas aspek yang berbeda dari kesejahteraan desa: roh leluhur berurusan dengan pelestarian hukum adat yang diwariskan turun-temurun, dengan iming-iming kemakmuran dan keturunan, sementara dhanyang mengurusi kesuburan tanah dan ternak.
Dengan demikian, keberlangsungan desa diyakini bergantung pada upaya untuk terus menyenangkan kedua kategori roh dan mencegah murka mereka. Terutama dalam kasus roh-roh alam, harmoni adalah sesuatu yang sensitif karena mereka diyakini memiliki temperamen yang mudah tersulut, sehingga upaya ekstra harus dilakukan agar tidak memancing amarah mereka (ini tentu logis, mengingat mereka notabene adalah ‘korban penipuan’ manusia yang terusir dari tanah asalnya).
Di tataran simbolik, keyakinan ini pada dasarnya menyimbolkan perasaan inheren orang Osing bahwa mereka bukanlah penguasa, apalagi pemilik, alam; sebaliknya, mereka hanya orang-orang yang menumpang dan, oleh karenanya, harus tahu diri dalam relasi mereka dengan alam.
Terkait otoritas dhanyang dalam Seblang, salah satu haknya adalah menentukan tanggal ritual dan penarinya, biasanya dipilih dari keturunan pendiri desa berdasarkan garis perempuan. Jika pilihan ini ditolak, Mas Brata akan murka dan menebarkan aneka penyakit dan masalah di desa. Dalam konteks inilah sebuah isu lain yang tak kalah menariknya, dicuplik dari studi Wessing (2016), akan dipaparkan secara ringkas.
Pada suatu ketika, penari yang dipilih Mas Brata untuk ritual Seblang menolak untuk berpartisipasi karena tekanan dari keluarganya yang Islami. Setelah mengomel beberapa saat, Mas Brata memilih opsi berikutnya. Tapi opsi ini ditolak oleh kepala desa. Alasannya, gadis pilihan kedua ini masih terlalu kecil fisiknya, sehingga kemungkinan tidak akan kuat menjalani prosesi dan juga tidak cukup atraktif secara visual untuk menarik minat wisatawan.
Penolakan dari pihak kepala desa ini punya efek yang jauh lebih besar dari kelihatannya. Selaku perwakilan pemerintah secara umum (serta perwakilan Kementerian Pariwisata secara khusus), kepala desa adalah simbol dari proses desakralisasi yang selama lebih dari setengah abad terakhir ini menimpa masyarakat lokal di seluruh Indonesia. Terutama sejak era Orde Baru, ritual lokal yang tercerabut dari konteks kulturalnya telah banyak kehilangan signifikansi sosialnya.
Kata ‘adat’ atau ‘ritual’, yang erat berkonotasi dengan segala yang religius, mistis, dan sakral, secara perlahan mulai berubah menjadi pertunjukan teatrikal dan objek turisme, alih-alih pengejawantahan keyakinan. Pada akhirnya, tercapailah mufakat setelah diskusi alot yang memakan waktu berjam-jam.
Seorang gadis yang telah ditunjuk sebagai penari Seblang tiga tahun sebelumnya diajukan lagi sebagai kandidat. Meskipun Mas Brata awalnya menolak dengan tegas dan murka karena pilihan ini dianggap melanggar kaidah yang ada, di ujung diskusi dia mengalah sembari berkata setengah mengancam bahwa ‘ini kali terakhir si gadis [pilihan ketiga] boleh menari.’
Kesimpulan pokok dari cerita di atas adalah adanya kontradiksi antara adat Osing dan kehendak pemerintah sebagai pemicu krisis, dengan keyakinan religius dari penari pilihan pertama Mas Brata bertindak sebagai katalisnya. Warga desa tentu ingin menuruti instruksi Mas Brata, tapi keinginan ini terkendala oleh opini kepala desa yang mewakili pemerintah.
Dalam sebuah sistem politik modern bernama Republik Indonesia, dengan daftar agama-agama resmi di mana Islam menduduki status sebagai agama mayoritas, kita mendapati entitas metafisik perlambang kearifan lokal seperti Mas Brata takluk dalam dua ronde kontestasi.
Pada ronde pertama, Mas Brata, tanpa terlalu menunjukkan amarahnya, bersikap legawa ketika sosok yang dipilihnya sebagai pilihan pertama penari Seblang menolak karena alasan religius. Ini secara simbolik mewakili hierarki nilai di dalam masyarakat, di mana agama diposisikan lebih tinggi daripada adat, sehingga bahkan entitas halus dengan kekuatan supernatural pun tidak bisa berbuat banyak karena secara teori kekuatannya pasti takluk pada kemahakuasaan Tuhan Sang Pencipta yang menaungi eksistensi semua makhluk di semesta.
Pada ronde kedua, Mas Brata tidak bisa menahan amarahnya ketika pilihan keduanya ditolak tanpa basis yang jelas kecuali penilaian subjektif kepala desa bahwa si kandidat tidak cukup kuat secara fisik dan menarik secara visual untuk memikat calon turis. Dalam hal ini, kontestasi yang terjadi adalah antara adat versus negara, antara kearifan lokal versus politik praktis.
Di sini, Mas Brata tidak segan-segan bersikap lebih agresif, tapi ujung-ujungnya tetap harus mengaku kalah karena, pada dasarnya, kekuatan dari entitas negara sama sekali tidak boleh diremehkan. Memori kelam dari kekerasan tahun 1965 yang secara lebih intens dirasakan oleh penduduk di Jawa belahan timur masih melekat di antara warga desa. Negara memang produk bikinan manusia, tapi cakupan kekuatannya tidaklah main-main.
Sebagai penutup, krisis/konflik kecil dalam salah satu ritual Seblang yang dicuplik oleh Wessing menunjukkan bahwa tegangan antara proyek pelestarian kebudayaan yang dilandasi logika pembangunan dan pemahaman emik masyarakat lokal selaku pihak yang hidup di dalam budaya secara riil akan selalu eksis sebagai salah satu fitur khas dari modernisasi.
Sumber Rujukan
Domenig, G. 2014. Religion and Architecture in Premodern Indonesia. Studies in Spatial Anthropology. Leiden: E.J. Brill.
Wessing, R. 2006. “A Community of Spirits: People, Ancestors and Nature Spirits in Java.” Crossroads 18 (1): 11–111.
Wessing, R. 2016. “When the Tutelary Spirit Objected: Conflict and Possession among the Using of East Java, Indonesia.” Anthropological Forum 26 (4): 355–375.