Beranda Publikasi “Masyarakat Intim” dan “Masyarakat Anonim”

“Masyarakat Intim” dan “Masyarakat Anonim”

75
0

Ulil Abshar-Abdalla (Cendekiawan Muslim dan Ketua PBNU)

Saya akan mulai catatan ini dengan contoh empiris yang sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Jika saya kenal seseorang, maka biasanya saya akan bertindak sopan, dan tidak bisa memperlakukannya dengan semena-mena. Begitulah, kalau saya berjumpa dengan seseorang yang saya kenal di jalan raya, kemungkinan besar saya akan memperlakukan orang itu dengan penuh hormat. 

Dalam dunia maya pun, hal serupa terjadi. Jika saya tahu orang tertentu, dan orang itu juga tahu saya secara pribadi, maka saya cenderung untuk berkomunikasi secara sopan dengan orang itu dalam forum virtual. Dalam diskusi virtual yang sering disebut “milis”, biasanya diskusi akan berlangsung secara “beradab” jika para anggota forum itu saling mengenal satu dengan yang lain, dan setiap anggota memakai nama terang.

Sebaliknya, jika saya tak mengenal orang lain di jalan raya atau dalam forum virtual itu, ada kecenderungan pada diri saya untuk dengan mudah melakukan “agresi” atas orang itu, baik agresi verbal, misalnya dengan menulis secara kasar, atau memperlakukan orang lain itu secara semena-mena, misalnya di jalan raya. Inilah yang kita lihat di jalan-jalan di kota Jakarta sekarang ini — karena para pengendara mobil atau motor saling tak kenal satu dengan yang lain, mereka tak merasa ada beban moral apapun, atau tepatnya tak merasa “berdosa” jika bertindak kasar pada yang lain. 

Apa yang bisa kita abstraksikan dari keadaan semacam ini? Saya kira jelas: makin anonim suatu masyarakat, misalnya satu dengan tak saling kenal, makin besar kemungkinan bagi anggotanya untuk bertindak “un-civil“, tak sopan, agresif, dan kasar. Keadaan sebaliknya terjadi: makin rendah tingkat keanoniman, misalnya anggota masyarakat itu makin kenal satu dengan yang lain secara baik, makin tinggi tingkat “saling kontrol” di sana, dan karena itu masing-masing anggota dalam masyarakat itu akan bertindak lebih sopan dan “menahan diri”.

Ini hanya hipotesa saya yang masih harus dibuktikan dengan penelitian empiris. Saya sendiri mengajukan hipotesis ini hanya dengan bersandar pada pengalaman sehari-hari saya Belum tentu hipotesa saya ini benar, tetapi sekurang-kurangnya hipotesis ini masuk akal dan sesuai dengan naluri sosial yang bekerja dalam masyarakat. Secara naluriah, kita akan cenderung untuk menahan diri jika berhadapan dengan orang lain yang kita kenal. Sebaliknya, jika kita tak kenal orang lain itu, maka kita tak ada kewajiban sosial apapun untuk menenggang rasa pada orang tersebut.

Taruhlah ada dua model masyarakat: “masyarakat intim” dan “masyarakat anonim”. Masyarakat intim adalah masyarakat di mana anggota-anggotanya relatif saling mengenal satu dengan yang lain. Masyarakat anonim adalah sebaliknya — anggota-anggotanya relatif kurang saling mengenal. 

Masyarakat intim biasanya memiliki ukuran yang kecil dan terbatas, misalnya desa atau rukun tangga (RT). Semakin kecil ukuran sebuah masyarakat, semakin tinggi derajat keintiman antara anggota-anggotanya. Sebaliknya makin besar ukuran sebuah masyarakat, misalnya kota atau negara, makin tinggi pula derajat keanoniman di sana. 

Dalam masyarakat intim, salah satu prosedur sosial yang lazim dipakai untuk memaksakan kontrol pada masing-masing individu adalah tradisi atau etiket sosial. Selain itu, biasanya masing-masing anggota dalam masyarakat intim itu juga dengan terpaksa melakukan mekanisme “kontrol diri” karena setiap tindakan dia akan dilihat oleh temannya yang ia kenal dengan baik. Kesaling-kenalan antara anggota masyarakat sudah cukup menjadi semacam alat kontrol sosial. 

Dalam masyarakat Jawa, misalnya, kita kenal etika “ewuh pakewuh” yang intinya adalah seseorang “menahan diri” untuk tak melakukan sesuatu karena dipandang dan dilihat oleh orang lain yang ia kenal dengan baik. Dalam masyarakat intim, keteraturan sosial tercipta selain melalui tradisi dan etiket sosial, juga melalui keintiman antara anggota-anggotanya. Keintiman memiliki watak untuk “membatasi” dan mengontol.

Semakin membesar ukuran suatu masyarakat, biasanya derajat keintiman akan makin mengecil di sana. Jika anda hidup dalam sebuah masyarakat kecil yang anggotanya hanya 50 orang, seperti dalam unit rukun tangga atau RT, maka anda bisa dengan mudah mengingat wajah dan mengenal masing-masing tetangga yang ada di sekitar anda. Tetapi begitu anggota masyarakat itu membengkak menjadi 1000, 2000, 10000, atau bahkan satu juta, maka secara praktis akan makin sulit bagi anda untuk mengingat masing-masing orang. 

Dengan kata lain, keanoniman adalah sesuatu yang niscaya terjadi dalam masyarakat. Masalahnya adalah, keanoniman itu membawa dampak sosial yang juga harus diantisipasi. Keanoniman biasanya membuat “kontrol sosial” makin merosot, terutama kontrol sosial yang terselenggara melalui tradisi atau kesaling-kenalan antar anggota masyarakat. 

Ancaman anarki sosial jelas ada karena hilangnya keintiman dalam masyarakat. Ini, secara empiris, kita lihat di jalan raya di Jakarta. Jalan raya Jakarta, menurut saya, adalah contoh yang baik bagaimana pudarnya keintiman sosial membawa dampak buruk berupa anarki sosial, yaitu kesemrawutan lalu-lintas yang maha hebat (baca catatan saya sebelumnya “Akhlak Kita di Jalan Raya”).

Bagaimana mengatasi masalah ini? Saya kira, hanya ada satu jalan saja untuk menegakkan keteratursan sosial dalam masyarakat anonim, yakni melalui hukum. Oleh karena itu, prinsip supremasi hukum (rule of law) adalah elemen yang sangat penting dan mendasar dalam masyarakat modern yang umumnya dicirikan oleh keanoniman dan impersonalitas. Dalam masyarakat modern, biasanya unsur ikatan tradisi dan etika sosial cenderung merosot. Pengganti yang efisien tentu adalah ikatan lain yang lebih “rasional”, yakni hukum. 

Yang patut kita pertimbangkan, perubahan dari model masyarakat intim ke masyarakat anonim bukanlah proses yang melulu bersifat ojektif sahaja, yakni proses yang berlangsung secara faktual dalam masyarakat. Perubahan itu juga mestinya dibarengi dengan perubahan pada level mental atau subjektivitas masyarakat. 

Masalah timbul, jika perubahan objektif tidak diikuti oleh perubahan pada tingkat kesadaran subjektif. Maksudnya, sementara struktur masyarakat sudah berubah dari model intim ke anonim secara faktual, anggota masyarakat masih berpikir dengan mind-set sebelum terjadinya perubahan itu. Sementara struktur objektif masyarakat sudah berubah menjadi anonim, kesadaran orang-orang di dalamnya masih dibentuk oleh kesadaran masyarakat intim. 

Dalam keadaan serupa ini, sudah tentu akan muncul masalah yang patut diawasi. Manifestasi masalah ini dalam kehidupan sehari-hari adalah seperti yang kita lihat dalam kehidupan berlalu-lintas di Jakarta. Dugaaan saya, orang-orang yang berlaku “beringas” di jalan raya bukanlah manusia-manusia yang pada dirinya jahat. 

Dalam lingkungan keluarga, pertemanan atau lingkup sosial yang intim seperti di RT, besar kemungkinan orang-orang itu bertindak secara etis dan penuh kontrol-diri. Tetapi, begitu mereka tercebur dalam “ruang anonim” seperti di jalan raya, mereka berubah watak menjadi individu yang tanpa kontrol diri. Etika keluarga yang ia taati dalam ruang intim tak lagi mempunyai “efficacy” atau kemujaraban dalam ruang anonim. 

Ini semua terjadi, antara lain, karena adanya “a-simetrisme” atau ketidak-seimbangan antara perubahan objektif dengan sikap mental dalam masyarakat. Sebagaimana saya katakan sebelumnya, sementara model masyarakat berubah dari model intim ke anonim, kesadaran masyarakat tetap statis seperti semula.

Tantangan dalam masyarakat anonim tidaklah mudah untuk diatasi. Di sini saya sengaja membatasi diri pada tantangan dari sudut kesadaran atau subjektivitas. Salah satu tantangan “kulturil” terbesar yang dihapai oleh masyarakat kita memang terletak pada satu aspek ini: yaitu menanamkan suatu cara berpikir yang “law oriented“, yang mengarah pada hukum, yang meletakkan hukum sebagai sesuatu yang “supreme” dalam ruang kehidupan yang anonim. 

Hak-hak individu dalam masyarakat anonim hanya bisa dilindungi oleh sebuah ikatan impersonal yang disebut hukum itu. Ikatan tradisional berupa adat, tradisi, etiket dan seterusnya sudah kehilangan daya cengkeram dalam masyarakat anonim. Keteraturan sosial tidak bisa ditegakkan dengan cara membangkitkan kembali “tradisi” atau norma adat yang ada pada zaman lampau. Norma itu bisa berlaku dalam masyarakat dengan unit kecil di mana anggota-anggotanya saling kenal. Dalam unit besar bernama negara, tradisi dan adat kehilangan efektivitasnya. 

Saya tentu tak menafikan pentingnya peran tradisi atau norma partikular, tetapi itu hanyalah relevan dalam konteks unit sosial kecil yang intim, dalam wilayah yang disebut oleh filsuf Jerman Jurgen Habermas sebagai “lifeworld“. Dalam unit besar yang anonim, arah percakapan kita haruslah diubah dari model yang berorientasi tradisi dan etika kepada hukum atau norma universal. 

Model diskursus berbasis hukum ini memang sekarang mengalami kemerosotan tajam, apalagi di era di mana kita menyaksikan bangkitnya “politik identitas” di mana-mana. Bangkitnya politik identitas, dalam pandangan saya, adalah bangkitnya model masyarakat intim yang hendak “melawan balik” model masyarakat anonim. Tentu saja ada sebab-sebab sosial-politik- ekonomis dari bangkitnya mode masyarakat intim ini yang bisa kita pahami, tetapi tantangan yang timbul dari sana harus pula kita antisipasi. Salah satu “racun penawar” untuk menghadapi politik identitas itu adalah dengan makin memperkuat diskursus tentang hukum.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini