Beranda Publikasi Islam Perdana

Islam Perdana

137
0
Ilustrasi: nu.or.id

M. Subhan Zamzami (alumni Universitas Al-Azhar, Mesir)

Dalam ranah kajian Islam kontemporer, penguasaan terhadap semua hal tentang Islam Perdana, baik sejarah, politik, ekonomi maupun agama (normatif) sangatlah penting dan mendesak. Penting karena Islam Perdana, baik secara normatif ataupun historis, merupakan acuan utama untuk memahami dengan baik Islam yang kini sudah menjelma dalam aneka-ragam bentuk dan orientasi.

Mendesak karena hampir semua kelompok Islam, dengan variasi corak dan orientasinya, mengklaim bahwa pemahaman keislaman mereka merupakan cerminan bahkan copy-paste dari Islam ala Muhammad dan para suksesor setelahnya.

Lantas apakah yang dimaksud dengan Islam Perdana? Sependek pengamatan penulis, istilah Islam Perdana mencakup tiga hal: pertama, Islam Perdana dimulai sejak Muhammad menerima wahyu hingga kewafatannya (610-632 M); kedua, Islam Perdana dimulai sejak Muhammad menerima wahyu hingga akhir kekhilafahan Ali bin Abi Thalib (632-661 M); dan ketiga, Islam Perdana dimulai sejak Muhammad menerima wahyu hingga runtuhnya dinasti Umayyah (610-750 M).

Dari tiga opsi tersebut, penulis cenderung pada opsi pertama, karena pada masa inilah Islam secara langsung berada di tangan pembawanya, Muhammad, serta di bawah pengawasan penciptanya, Allah.

Melacak Islam Perdana bukan perkara mudah, selain karena sangat jauhnya bentangan masa antara masa kini dan masa Muhammad, kesulitan utama yang dihadapi para peneliti biasanya juga terletak pada problem sejarah Islam. Setidaknya, problem ini disebabkan oleh dua hal: pertama, sangat minimnya bukti sejarah tertulis dari masa-masa awal Islam yang sampai ke tangan kita; dan kedua, kesalahan penulis sejarah.

Problem pertama, misalnya, bukti sejarah tertulis tersebut hanya al-Qur`an dan beberapa catatan hadits Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Amr bin al-Ash. Kita tak memungkiri adanya beberapa penulis awal sejarah Nabi seperti Urwah bin al-Zubair bin al-Awwam, Aban bin Utsman bin Affan, Musa bin Uqbah, dan Muhammad bin Ishak, tapi tak ada satu pun dari catatan mereka yang sampai ke tangan kita (Muhdi, 2007: 147).

Catatan sejarah Nabi paling awal yang sampai ke tangan kita adalah catatan sejarah Ibnu Hisyam yang dia ringkas dari al-Sîrah wa al-Maghâzî karya Ibnu Ishak. Sayangnya, Ibnu Hisyam tak pernah berguru pada Ibnu Ishak dan tak mengambil catatan sejarah ini secara oral darinya, tapi hanya melalui para perantara.

Problem kedua, kesalahan penulis sejarah bisa disebabkan oleh ketidakjelian dalam menganalisa data-data yang ada, atau bahkan sengaja salah dalam menulis sejarah Islam seiring dengan kecenderungannya. Penggambaran zaman Jahiliah sebagai zaman nomadenisme yang kacau serta merosotnya akhlak dan sosial untuk menunjukkan keagungan dan peran Islam adalah bukti terbaik untuk poin kedua (al-Dauri, 2007: 20). Oleh karena itu, kita dituntut ekstra dalam membanding-bandingkan catatan-catatan sejarah yang ada untuk memperoleh informasi yang akurat seputar Islam Perdana.

Dari al-Qur`an, rujukan paling otoritatif yang kita miliki (itu pun kalau kita sepakat tentang hal ini), kita bisa menyimpulkan bahwa secara umum Islam Perdana mempunyai beberapa karakteristik. Karakter pertama adalah progresif. Ia senantiasa berproses dari “ketidaksempurnaan” menuju pada kesempurnaan.

Dengan kata lain, Islam tak turun secara langsung dari langit dengan seabrek norma yang kita lihat sekarang, tapi ia berangsur-angsur melengkapi dirinya secara perlahan seiring tuntutan situasi dan kondisi pada saat itu. Islam Perdana adalah proses Islam Normatif dan Islam Historis sekaligus. Turunnya al-Qur`an selama 22 tahun lebih dan adanya konsep abrogasi ayat (nasikh-mansukh) adalah bukti paling gamblangnya.

Karakter kedua adalah otonom. Kita bisa melihatnya terutama dalam segi akidah pada fase Islam Mekah. Islam tak segan-segan mencela tuhan atau berhala sembahan Quraisy serta menyeru pada keesaan Tuhan. Di sinilah kita bisa mengerti alasan di balik turunnya ayat-ayat Makkiyah. Dalam Islam, tak ada tawar-menawar dalam persoalan akidah.

Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu kita menolak cerita al-Gharânîq, yang tersebar dalam buku-buku sejarah Islam seperti al-Thabaqât al-Kubrâ karya Ibnu Sa’ad dan al-Bidâyah wa al-Nihâyah karya Ibnu Katsir, yang dinisbatkan pada Nabi bahwa beliau mengagungkan Lata, Uzza, dan Manath guna menarik kecintaan Quraisy karena bertentangan dengan prinsip dasar Islam (Haekal, 1996: xciv).

Karakter ketiga adalah revolusioner. Islam muncul di Mekah. Kala itu ia merupakan ibu kota Jazirah Arabia (al-Shamad, 1994: 30). Islam muncul dengan semangat perkotaan dan mengambil posisi oposan terhadap trend nomadisme dalam banyak persoalaan-persoalan prinsipil, seperti melawan fanatisme kesukuan dan menggantinya dengan ikatan kepercayaan serta melampaui batasan-batasan kesukuan dengan pembentukan konsep umat yang maslahatnya di atas maslahat lainnya (al-Dauri, 2007: 44-46).

Islam pun menggugurkan tradisi-tradisi Arab seperti mengubur anak perempuan hidup-hidup (QS. 81: 8-9), praktek riba (QS. 2: 275-276), dan lain-lain. Selain itu, Islam juga mengangkat derajat wanita yang salah satunya melalui pengurangan jatah poligami (QS. 4: 3).

Karakter keempat adalah adaptif-akomodatif. Dalam artian, selain membawa ajaran baru, Islam juga mengadapsi bahkan mengadopsi tradisi-tradisi Arab. Fakta ini bisa kita temukan baik di bidang ibadah maupun muamalah. Di bidang ibadah, misalnya, ritual haji dan umrah merupakan tradisi Arab yang ada sebelum Islam datang. Kemudian Islam mengadapsinya dengan mengadopsi ritualnya apa adanya, seperti wukuf di Arafah dan melempar tiga jumrah serta mengadapsi sebagian yang lain, seperti tawaf dan talbiyah.

Sementara itu, di bidang muamalah, Islam melarang seorang laki-laki menikahi dua perempuan bersaudara, nikah mut’ah, nikah badal, nikah shighar, dan nikah istibdha’ serta tetap mewajibkan mahar (Muthawik, 2006: 71-74). Bahkan Khalil Abdul Karim, intelektual Marxis-Muslim Mesir, mengarang buku khusus seputar persoalan ini yang berjudul “al-Judzûr al-Târikhiyah lî al-Syarî’ah al-Islâmiyah”.

Karakter kelima adalah otoritatif-otentik. Dalam artian, Islam ada di tangan pembawanya, Muhammad, dan di bawah pengawasan langsung penciptanya, Allah. Poin ini merupakan keistimewaan yang tak dimiliki oleh masa-masa Islam paska Muhammad wafat. Karena keistimewaan inilah, aneka ragam bentuk Islam yang ada mengklaim dirinya sebagai cerminan bahkan copy-paste darinya, padahal belum tentu demikian untuk tidak dikatakan tak mirip sama sekali.

Poin inilah yang sering dilupakan umat Islam sejak Muhammad wafat hingga detik ini, terutama pihak yang merasa dirinya paling Islam sendiri dan menganggap umat Islam lainnya pasti salah. Intinya, Islam Perdana tak akan pernah terulang kembali.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini