Beranda Publikasi Kolom Pasalatan Jawi: Kitab Tuntunan Shalat Beraksara Jawa

Pasalatan Jawi: Kitab Tuntunan Shalat Beraksara Jawa

5789
0
tribunnews.com

Oleh: Siti Mariatul Kiptiah (Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Dosen STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta)

Jika pada tulisan sebelumnya penulis mengulas literatur beraksara Jawa dalam bidang tafsir Al-Qur’an, kali ini berkaitan dengan fikih, khususnya bab shalat. Judulnya Pasalatan Jawi. Ini merupakan sebuah kitab tuntunan shalat beraksara Jawa yang diperkirakan terbit pada 1920-an. Isinya terdiri dari 19 halaman dan satu halaman lampiran revisi. Dalam kata pengantarnya dijelaskan bahwa karya ini dikarang oleh Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Yogyakarta.

Pasalatan Jawi disusun sebagai panduan belajar shalat, utamanya bagi orang-orang yang baru dibukakan pintu hatinya untuk mempelajari Islam, orang awam, atau muallaf. Ini berangkat dari kegelisahan pengarang ketika menghadapi situasi masyarakat yang baru mengenal Islam. Karena itu, kitab ini ditulis dengan sangat sederhana dan disertai gambar-gambar gerakan shalat untuk mempermudah pembaca dalam memahami dan mempraktikkannya.

Penerbitan buku Pasalatan Jawi yang diinisiasi oleh Muhammadiyah ini tidak lain sebagai langkah mendakwahkan Islam. Sebagai organisasi Islam yang bergerak di bidang dakwah, Muhammadiyah memiliki peran dalam hal menyebarluaskan Islam lewat gerakan sosial dan pendidikan. Dalam bidang pendidikan, selain melalui pengajaran, kursus-kursus agama Islam, juga dengan menerbitkan buku-buku keislaman, dan salah satunya kitab Pasalatan Jawi.

Sebagai pendahuluan dari kitab Pasalatan Jawi ini, pengarang menyajikan bab pepeling yang mengingatkan kepada setiap orang Islam untuk melakukan hal-hal berikut:

Wajib tumrap wong urip ngaweruhi marang agama Islam, pranatan-pranataning agama islam, tumuli nglakoni dhawuh kang parlu-parlu, apa dene ninggal apa kang dadi larangane agama Islam sarta mumulang ing kancane utawa ajak-ajak ing liyane.” (Pasalatan Jawi: 3)

Menurut keterangan di atas, orang Islam wajib melakukan tiga hal. Pertama, mempelajari ajaran-ajaran Islam berikut aturan-aturannya. Kedua, menjalankan kewajiban dan meninggalkan segala yang dilarang. Ketiga, mendakwahkan agama Islam kepada teman, sanak saudara, maupun orang lain. Dasar-dasar ini kemudian dilanjutkan dengan penjelasan terkait apa yang wajib dilakukan oleh seorang Muslim.

Mungguh dhawuh-dhawuh kang parlu-parlu mau kayata: sira ngestokno ing Gusti Allah, malaikat, utusane Allah lan dintên akhir kalayan papêsthening Allah. Sira ngestokne: botên wontên Pangeran ingkang kasêmbah kajawi Gusti Allah piyambak saha kawula ngandêl kanjêng Nabi Muhammad punika utusanipun Gusti Allah. Sira nêtêpana ing salat limang wêktu, aweha zakat, nglakonana pasa ing sajêroning sasi Ramadhan, sarta nêkanana haji ing Mêkah manawa wus kuwasa. Sira wajib anjaga awak ira aja nganti ninggal dhawuhe Gusti Allah lan aja nganti nrajang ing larangane Allah, mungguh dalane, sira wajib angudi ngilmu utawa kawruh bab agama Islam.” (Pasalatan Jawi: 3)

Kutipan di atas menerangkan bahwa di antara perintah-perintah dalam ajaran Islam yang bersifat wajib ialah menjalankan rukun iman. Yaitu, iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada nabi dan rasul, iman kepada hari kiamat serta mengimani adanya ketetapan Allah. Iman sepenuh hati menyakini tidak ada Tuhan yang disembah kecuali Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Selain rukun iman, juga harus menjalankan rukun islam. Yaitu, dengan menjalankan shalat lima waktu, membayar zakat, menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadhan, serta menunaikan ibadah haji ke Mekkah bagi yang mampu. Orang Islam wajib menjaga dirinya agar tidak meninggalkan perintah Allah dan tidak melakukan segala yang dilarang. Untuk melaksanakan semua itu jalannya adalah dengan mempelajari ilmu agama Islam.

Secara tidak langsung, penjelasan pengarang atas apa yang harus dilakukan oleh orang Islam memberikan pemahaman bahwa berislam tidak cukup sekedar mengucap dua kalimat sahadat. Namun ada praktik-praktik lain yang perlu dilakukan sebagaimana dibahas di awal. Sementara itu, salah satu praktik yang menjadi pondasi Islam adalah shalat. Dengan demikian, shalat menjadi aktifitas penting di mana setiap Muslim wajib mempelajari dan melaksanakannya. Begitulah kira-kira yang dimaksudkan pengarang Pasalatan Jawi dalam kitabnya.

Setelah penjelasan tentang pepeling, pengarang memulai bab pertamanya dengan membahas urutan wudhu dan waktu shalat. Pembahasan ini cukup singkat dan sekedar menyebutkan tertibnya wudhu dan urutan waktu shalat dalam sehari. Kemudian membahas praktik shalat yang dimulai dari membaca niat shalat subuh, dhuhur, ashar, maghrib dan isya’. Setelah niat, ada gerakan takbiratul ihram dengan mengangkat kedua tangan sewaktu membaca kalimat takbir lalu bersedekap. Ilustrasi gerakan ini digambarkan seperti di bawah ini:

Gambar ilustrasi gerakan shalat di dalam Pasalatan Jawi juga mencakup gerakan ruku’, i’tidal, membaca doa qunut, sujud, duduk di antara dua sujud, duduk tahiyat awal dan akhir, hingga salam. Untuk teks bacaan shalat ditempatkan di sebelah kiri sedangkan terjemahan Jawanya berada di sebelah kanan. Semuanya ditulis dengan aksara Jawa. Bagaimana dengan penulisan bacaan shalat yang berbahasa Arab? Di dalam kitab ini sudah diterapkan metode penulisan transliterasi aksara Arab ke dalam aksara Jawa. Dengan begitu pembaca dari kalangan orang Jawa dapat dengan mudah membaca teks bacaan shalat yang berbahasa Arab, memahami maknanya dan mempraktikkan gerakannya.

Adanya kitab Pasalatan Jawi ini menunjukkan satu model vernakularisasi (pelokalan aksara) ajaran shalat dari teks Arab diubah ke dalam aksara Jawa. Hal ini tidak terlepas dari kesadaran intelektual Muslim Jawa dalam menyebarkan ajaran Islam ke tengah-tengah masyarakat. Agar ajaran Islam mudah dipahami masyarakat Jawa, maka perlu dilakukan pelokalan aksara. Tetapi hal itu disesuaikan dengan basis sosial identitas audiens dan tradisi literasi yang berkembang di setiap wilayah. Jika di kalangan pesantren bermunculan literatur fikih tentang shalat ditulis menggunakan aksara pegon, tidak demikian dengan lingkungan kauman. Dengan produksi literatur keislaman yang beragam aksara dari tiap-tiap wilayah sudah tentu membuktikan khazanah Islam Nusantara kita yang sangat kaya dan unik.

Terlebih dapat disaksikan bersama mengenai busana orang shalat dalam gambar ilustrasi di atas yang memotret bagaimana Muslim Jawa kala itu melaksanakan shalat. Blangkon untuk menutup kepala, baju beskap sebagai atasan dan kain jarik sebagai bawahannya. Pakaian yang dipilih tetap pakaian gaya Jawa. Secara sekilas gambar itu menjelaskan bahwa Islam dan budaya Jawa telah melebur di dalam diri seorang Muslim Jawa. Inilah potret Islam Jawa di masa lalu yang menghargai budaya dan menjunjung tinggi identitas kenusantaraan.[]

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini