Oleh: Ali Romdhoni (Dosen Universitas Wahid Hasyim Semarang Indonesia)
Tulisan ini menjelaskan sejarah cikal-bakal (asal-usul; embrio) Demak sebagai nama tempat, dan kemudian menjadi nama kesultanan. Berdasarkan penelusuran penulis, nama dan tempat yang akhirnya dikenal luas sebagai Demak semula bernama Alas Gelagah. Di antara pohon Gelagah di hutan ini mengeluarkan aroma bau harum yang khas dan kuat. Maka, jadilah tempat itu bernama Gelagahwangi.
Saat ini, hamparan tanah pegunungan nan luas bernama Alas Gelagah menjadi bagian dari wilayah Prawoto di Pati. Temuan ini, sekali lagi, menguatkan kesimpulan sebelumnya, bahwa di Prawoto lah fondasi dan perencanaan pendirian Kesultanan Demak berlangsung. Selain melakukan studi lapangan (geografi dan cerita lokal), penulis mengutip sumber Babad Jaka Tingkir.
Alas Gelagah Cikal-bakal Demak
Saya sudah menjelaskan dalam buku Istana Prawoto: Jejak Pusat Kesultanan Demak (Jakarta: 2018), bahwa tokoh paling dihormati dalam jajaran dewan wali (walisongo), yaitu Kanjeng Sunan Ampel, memberi petunjuk pada Raden Fatah muda agar berjalan dari Ampeldenta (Surabaya) menuju ke arah barat. Kepada Fatah Kanjeng, Sunan berpesan agar tidak berhenti hingga menemukan hutan Gelagah atau alas Gelagah.
Hutan Gelagah adalah hamparan lahan yang ditumbuhi pohon Gelagah. Alas Gelagah inilah yang kelak dibangun Raden Fatah hingga dikenal sebagai Demak. Saya memperoleh cerita di atas dari Kitab Ahlal Musamirah fi Hikayatil Aulia’ al-Asyrah karya Kiai Abul Fadhal (Rembang, 2000).
Maka, begitu sampai di Hutan Gelagah, juga atas petunjuk dari Sang Guru dari Ampeldenta, Fatah mencari titik tengahnya dengan cara menemukan pohoh Gelagah yang berbau harum (wangi) semerbak. Dari tempat ini Raden Fatah merintis pendirian Kesultanan Demak, sampai akhirnya dirinya dinobatkan sebagai penguasa Muslim pertama di tanah Jawa.
Saya kemudian memperoleh penjelasan lebih lanjut mengenai peran Sunan Ampel dalam membimbing Raden Fatah, khususnya untuk memilihkan tempat yang kelak menjadi cikal-bakal pendirian Kesultanan Demak dari Kitab Babad Jaka Tingkir: Babad Pajang. Naskah kuno ini telah dialih-bahasakan oleh Moelyono Sastronaryatmo (Perpustakaan Nasional RI dan Balai Pustaka, 2011).
Sunan Ampel Mendirikan Masjid Gelagahwangi
Kitab Babad Jaka Tingkir menerangkan, Sunan Ampel tidak terbatas memerintahkan atau memberi petunjuk Raden Fatah dari Ampel denta. Lebih dari itu, Sang Guru juga ‘membersamai’ langkah muridnya, Raden Fatah, hingga mengunjungi wilayah penting yang telah dia pilihkan, Hutan Gelagah yang memunculkan bau wangi. Di tengah hutan itu, dan untuk yang pertama kalinya, Sunan Ampel lalu membangunkan Masjid sederhana untuk Raden Fatah.
Masjid di Alas Gelagah yang pembangunannya diprakarsai oleh Sunan Ampel ini ukurannya tidak terlalu besar. Mengenai fungsi dan latar belakang pendiriannya lebih pada pertimbangan untuk sarana pembelajaran agama Islam. Ini akan membedakan dengan tujuan pembangunan masjid berikutnya, Masjid Demak, yang mampu menampung jamaah dengan jumlah lebih besar, lebih jauh lagi sebagai masjid Negara, dan bahkan sebagai pusaka di Tanah Jawa.
“… Susunan Ampel membuat masjid itu untuk Adipati Bintara, dan sekedar untuk mengenang tatkala hutan daerah bumi Demak dijadikan dusun tempat permukimannya. Yang selanjutnya di dukuh itulah, Raden Fatah memulai permukimannya sesuai petunjuk dari Jeng Susunan Ampeldenta. Suatu padang yang penuh ditumbuhi (pohon) Gelagah yang harum baunya. Lama-kelamaan, jadilah tempat (praja) ini dikenal kemudian harinya sebagai praja Kabintaran. Banyak para santri yang tekun mendalami ibadah agama Islam. Selanjutnya pada suatu ketika Jeng Susunan Ampeldenta datang untuk membikinkan berdirinya sebuah masjid tak seberapa besarnya. Maksud Jeng Susuhunan untuk para Jemaah yang akan mengadakan shalat Jumat” (Babad Jaka Tingkir, 2011).
Meskipun didirikan di tempat bernama Alas Gelagah, pada konteks tertentu, ada yang mengidentifikasinya sebagai Masjid Demak. Adakah ini karena tidak jauh dari tempat bernama Alas Gelagah, atau dari tempat itu sendiri kemudian muncul wilayah bernama Demak?
Untuk menjernihkan kerancuan ini, buru-buru Babad Jaka Tingkir menegaskan bahwa terdapat dua masjid yang memiliki nilai sangat penting dalam proses pendirian Kesultanan Demak hingga masa-masa setelahnya. Masjid pertama dan yang lebih awal dibangun oleh Sunan Ampel. Jelas, masjid ini dibangun lebih awal dibanding masjid berikutnya, yaitu masjid yang kita pahami sebagai Masjid Demak saat ini.
Masjid pertama didirikan ketika Kerajaan Majapahit masih dalam masa keemasan. Selanjutnya, berselang 27 tahun, masjid kedua dan yang berukuran lebih besar dibangun. Kali ini, pembangunannya melibatkan para dewan wali dan adipati.
“…Jangan pula keliru, bahwa masjid Demak dua jumlahnya, yang lama dan yang baru. Hendaknya teliti dan terang memahaminya, sebab berdirinya kedua masjid itu dapat dibaca pada tahun sengkala pembikinannya. Masjid Demak yang lama diberi tahun sengkala ‘Guna Trus Unineng Jagad’ (Berguna Terus Sepanjang Masa) atau tahun 1503 Jawa, tahun 1581 Masehi” (Babad Jaka Tingkir, 2011).
Masjid Demak dibangun oleh Wali dan Adipati
Bila Masjid di Hutan Gelagahwangi dibangun oleh Sunan Ampel, maka Masjid Demak dibangun oleh para wali dengan Sunan Bonang sebagai pimpinannya. Masjid di Alas Gelagahwangi dibangun Sunan Ampel untuk muridnya, Raden Fatah, sebagai sarana awal melahirkan masyarakat santri (muslim). Sementara Masjid Demak yang lebih belakangan, yaitu ketika Kesultanan Demak telah berdiri, dibangun untuk tujuan yang lebih luas lagi.
Syahdan, pada hari Senin, di Demak berkumpul para wali dari seluruh wilayah di Jawa, dan juga disaksikan para dipati. Nampak hadir dalam pertemuan kerajaan itu, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Gunungjati Cirebon, Sinuhun Majagung, Sunan Derajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Raden Fatah. Mereka semua berjumlah Sembilan tetapi tanpa kehadiran Sunan Ampel. Selain dihadiri para wali sepuh, pertemuan itu juga dihadiri para pembesar dari kerajaan bawahan.
“…Jatuh pada hari Isnen (Senin) di negara Demak berkumpul para wali se Tanah Jawa dan para dipatinya. Hadir dalam pertemuan itu, Pimpinan Waliyulah ialah Jeng Sinuhun Benang Kutubrabani juga disebut Gosulngalam, Kangjeng Sinuhun Giri Wali Kutubrabani sotad, Jeng Susuhunan Gunungjati Cirebon ialah Wali Kutubngukba, Jeng Sinuhun Majagung disebut Wali Kutubnukba, Jeng Susunan Derajad Wali Kutub Rabaninukba, Jeng Susuhunan Kalijaga atau She Malaya Wali Kutub abdal, Jeng Susuhunan Murya Wali Kutub rabanianwar, Jeng Susuhunan Kudus putra Jeng Susuhunan Ngudung yang gugur dalam peperangan melawan Dipati Terung senapati Majapahit, Kangjeng Susunan Kudus disebut Wali Kutub rabaniyah akyar. Mereka sejumlah delapan tadi dikenal dengan ‘delapan martabat wali’, masih ditambah satu lagi ialah ‘wali umran’ menjadi jumlah sembilan, ialah Jeng Panembahan Senopati Jimbun. Tiada terkecuali kelihatan para pembesar daerah-daerah, ialah Naradipati Palembang, Adipati Balambangan, Adipati Lumajang, Adipati dari Terung, Adipati Panataran, Adipati Basuki, Adipati Tunggarana, Adipati Japan, Adipati Surengkewuh (Surabaya), Adipati Mandura Lembupeteng, Sang Arya Baribin, Adipati Sumenep Risang Jaranpanolih, Dipati Pranaraga dan Dipati Madiun, Jagaraga dan Sukawati, Adipati Rawa, Adipati Balitar, Tambakbaya, Adipati Taruwangan, Lowana, Gowong, Adipati Binarong, Banyumas, Adipati Banten, Adipati Pajajaran, Ciyancang, Sokapura, Adipati Sumedang, Barebes, Wirata, Pekalongan, Tegal, Dipati Pandanarang, tak ketinggalan Arya Damar Adipati Palembang” (Babad Jaka Tingkir, 2011).
Mengenai tujuan pertemuan ulama Kerajaan Demak (para wali) dengan disaksikan pula oleh para adipati adalah untuk mewujudkan berdirinya masjid agung. Masjid yang bisa menjadi pusaka bagi generasi yang akan datang, yang selain sebagai pusat peribadatan juga akan dipergunakan untuk memecahkan persoalan negara dalam arti luas.
Iya, satu masjid yang memungkinkan bagi para tamu negara—para wali, para adipati dari mana pun—untuk duduk bersama di satu majelis yang indah, dan juga sebagai pusaka bagi negara Demak. Jelasnya, pembesar Kesultanan Demak bermaksud membangun ruang publik berbentuk bangunan masjid yang dikeramatkan oleh para raja di Nusantara.
Dalam kajian para intelektual muslim modern, Masjid Demak telah menjadi jantung bagi proses pembentukan karakter kaum Muslim di Pulau Jawa: mulai dari dakwah, pendidikan, hingga melahirkan keputusan penting dalam tata-kelola kepemerintahan (Abdurrahman Mas’ud, 2006).
Tempat bernama Alas Gelagah di Prawoto
Sampai akhirnya, saya memperoleh informasi adanya hamparan tanah berbukit yang luasnya berhektar-hektar bernama Alas Gelagah (Hutan Gelagah). Alas Gelagah ini berada di Desa Prawoto Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Masyarakat setempat hingga kini menyebutnya sebagai Alas Gelagah. Hingga hari ini pun, pohon Gelagah masih tumbuh di tempat itu, dan lebih subur lagi di musim-musim penghujan.
Di lokasi tersebut juga terdapat sepetak tanah datar bernama ‘Gandaria’. Saya memperoleh penjelasan dari seorang warga, kata ‘gandaria’ dalam bahasa Jawa berarti bau yang semerbak atau wangi. Adakah penyebutan Gandaria yang berada di Alas Gelagah menunjukkan kelengkapan nama Alas Gelagah yang berbau harum, atau Gelagahwangi?
Peristiwa musyawarah para wali sebelum mendirikan Masjid Demak juga terekam dalam cerita lokal yang dimiliki masyarakat Prawoto. Orang-orang di Prawoto umumnya menerima cerita dari para orang tua tentang peristiwa musyawarah para wali (Walisongo) di Masjid Kauman Prawoto, sebelum akhirnya mereka memulai untuk mendirikan Masjid Agung (Demak).
Semua akan semakin menguatkan kesimpulan bahwa Prawoto adalah cikal-bakal pendirian Kesultanan Demak. Menarik, bukan? Wallahu a’lam bis-Shawab.[]