Muhammad Syawal Djamil (Pegiat Budaya di Komunitas Beulangong Tanoh, Pidie Aceh)
Di balik kilau olahraga global yang memukau dan populer seperti MMA, Sumo, dan lain sebagainya, tidak ada yang menyangka, ada sebuah olahraga tradisional dari Aceh (provinsi ujung barat Indonesia) yang dijaga dan diwarisi secara turun temurun yakni Geudeu-Geudeu.
Geudeu-Geudeu adalah olahraga tradisional yang berasal dari Pidie, Aceh, dan merupakan bagian tak terpisahkan dari warisan budaya Aceh. Geudeu-Geudeu dimainkan oleh kaum laki-laki Pidie saat mereka mulai mulai beranjak remaja hingga dewasanya. Jika ditelisik dalam kontek sejarahnya, kelahiran geudeu-geudeu berawal dari usaha mengasah ketahanan mental dan jiwa laskar kerajaan. Karena sangat berbahaya, olahraga keras ini tidak pernah memperebutkan juara, karena bisa berakibat fatal.
Di Pidie dan Meureudu (wilayah kabupaten Pidie Jaya), dahulunya, ketika masa luah blang (pascapanen) atau saat bulan purnama, geudeu-geudeu kerap dipertandingkan. Pemuda berbadan kekar berbondong-bondong mengikutinya, meski tak ada hadiah selain badan yang lebam. Hadiahnya nyatanya sering tak berwujud, hanya sebuah kebanggaan belaka yang jadi pemuas bagi petarung yang menang. Adu fisik ini hanya sekedar ‘pleh bren’ alias mengendurkan otot-otot yang tegang melalui pertarungan. Kebanggaan lainnya, sering pula dianggap perkasa dan menjadi lirikan ujung mata para gadis kampung Geudeu-geudeue –yang sekilas mirip dengan Gulat tradisional di India, tidak hanya sekedar pertarungan atau adu kekuatan fisik, tetapi juga merupakan bentuk syukur masyarakat Pidie atas hasil panen yang melimpah.
Ya, sebagian besar masyarakat Pidie adalah bermata pencaharian utama di bidang pertanian, yang fokusnya pada bercocok tanam padi, jagung, kedelai, dan rempah-rempah. Sehingga, karena realitas ini pula, Pidie dikenal sebagai daerah penghasil padi dan berbagai tanaman pangan lainnya. Sebelum konflik Aceh dengan Pemerintah Pusat RI memuncak, Geudeu-Geudeu sering dipertandingkan, baik antar kampung atau kecamatan, tepatnya setelah panen raya padi. Satu sisi, Geudeu-Geudeu menjadi semacam ritual untuk merayakan hasil panen dan memberikan hiburan kepada masyarakat setelah bekerja keras di sawah.
Mekanisme Pertandingan
Permainan Geudeu-Geudeu dilakukan di atas tumpukan jerami yang dirangkai menjadi matras khusus untuk mencegah cedera, dan tidak menggunakan iringan musik. Dalam Geude-Geude, arena pertandingan berbentuk segi empat dengan luas 25×5 meter. Pertandingan ini melibatkan dua kelompok petarung: satu orang dari kelompok pertama, yang disebut ureung tueng, dan menantang dua petarung dari kelompok kedua, disebut ureung pok. Ureung tueng bertugas menjatuhkan atau memukul punggung lawan menggunakan telapak tangan dengan kekuatan yang terukur, sementara ureung pok harus mempertahankan diri dan berusaha membanting lawan sebelum salah satu dari mereka mendapat pukulan dari ureung tueng.
Uniknya, ureung tueng bisa memanfaatkan teknik untuk memancing emosi atau melakukan semacam gaya propaganda untuk “melemahkan” mental lawan, seperti Keutrep Jaroe—gerakan menggertak untuk memancing lawan—dan berbagai strategi fisik lainnya. Sedangkan ureung pok, meski terbatas pada teknik membanting dan menghempas sambil berpegangan tangan, harus bekerja sama untuk mempertahankan diri dari serangan dan tangannya tidak boleh lepas selama permainan. Durasi satu babak permainan pun tidak lama, hanya memakan waktu 3-5 menit.
Lazimnya dalam sebuah pertandingan, geudeu-geudeu dipimpin oleh beberapa orang wasit, yang disebut sebagai ureung seumeugla (juri pelerai) yang biasanya berjumlah empat atau lima orang. Para juri tersebut juga merupakan orang orang yang tangkas dan kuat, sehingga mampu melerai para petarung. Pun, biasanya yang menjadi ureung seumegla tersebut merupakan para mantan petarung geudeu-geudeu itu sendiri, yang memiliki pengalaman dan insting soal geudeu-geudeu. Seorang wasit geudeu-geudeu bisa melihat apakah petarung itu memukul dengan sikap profesionalisme atau emosional. Karena antara profesional dan emosional petarung itulah wasit berperan menentukan kapan sebuah pertarungan harus dihentikan.
Dalam proses permainanya, ketika diserang, petarung pertama akan memukul dan menghempas dua petarung lain yang menyerangnya. Khusus bagi ureung tueng boleh menggunakan gempalan tangan untuk memukul dimana saja, kecuali di bawah pusar. Untuk ureung pok mereka hanya boleh membanting dan menghempas sambil mereka berpegangan tangan. Jika pegangan tangan ureng pok ini terlepas atau salah satu dari mereka roboh akibat hantaman ureung tueng, maka mereka dianggap kalah, begitu juga dengan ureung tueng, apabila ureung pok sanggup menghempas atau membantingnya maka dianggap kalah. (Jurnal Ilmiah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala Volume III, Nomor 4:368-377 November 2018 )
Sebagai seni beladiri, geudeu-geudeu merupakan olahraga keras, petarung geude-geude harus memiliki ketahanan fisik dan mental yang kuat, tahan pukul dan bantingan lawan. Selain itu petarung geudeu-geudeu juga dituntut kesabaran dan ketabahan. Di sinilah emosi diolah. Bila emosi petarung tidak stabil, maka bisa berujung pada kematian. Kesabaran para pemain diuji dengan berbagai lontaran kata-kata kasar dari para penonton. Karena itu pula, sepanjang sejarah pertarungan geudeu-geudeu, belum pernah terjadi pertarungan di luar arena. Artinya, sikap sportif para pemain sangat tinggi. Meski di arena mereka babak belur dan bonyok, tapi di luar arena itu dianggap sebagai sebuah kewajaran dan banyak dari petarung ini yang melanjutkan Duduk-duduk/minum kopi bersama selepas pertandingan. (wikipedia)
Budaya dan Tradisi
Mantan pemain Geude-Geude, Jabal Nur –yang sudah bergelut dengan Gudeu-geudeu sejak usianya masih belasan tahun, mengungkapkan bahwa olahraga ini adalah ajang berkumpul para warga masyarakat yang dinantikan setelah panen padi.
“Geude-Geude adalah kesempatan untuk bersosialisasi dan merayakan kerja keras kami,” ujarnya.
Pada masa lalu, kemampuan bermain Geude-Geude bahkan menjadi salah satu kriteria kebanggaan para orang tua dalam memilih suami untuk anaknya. Maka itu, bagi laki-laki muda, Geudeu-geudeu menjadi ajang unjuk diri bahwa ia merupakan seorang laki-laki yang bisa diandalkan.
“….dalam istilah kami itu dulu, disebut ‘sibak agam’ kalau sudah menjadi pemain Geudeu-geudeu,” ungkap Pak Jabal Nur.
Dengan celana pendek dan sabuk warna-warni untuk membedakan lawan, pertandingan Geude-Geude membawa nuansa kehangatan komunitas dan semangat persaingan sehat. Nama-nama panggung seperti Khairul Ateung dan Akbar Leher Beton memberi warna tersendiri pada olahraga ini, menambah daya tarik dan keunikannya. Begitu riwayat dari Jabal Nur, yang kini sedang menjalankan amanah sebagai puncak pimpinan di kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh.
Tahun 2023 menjadi momentum yang spesial bagi olahraga tradisional ini, karena di tahun ini Geudeu-geudeu yang berasal Kabupaten Pidie ditetapkan jadi warisan budaya tak benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset, (Serambinews.com, 16 Mei 2024). Butuh Perhatian dan Pelestarian Olahraga tradisional Geudeu-geudeu sangat perlu untuk dikenalkan dan dilestarikan kembali, sebab banyak nilai -nilai penting yang terdapat dalam olahraga tradisional ini.
Sebagai olahraga tradisional tentu Geudeu-geudeu sangat berperan penting dalam membentuk kecerdasan, rasa kebersamaan, ketangkasan juga kreatifitas dan percaya diri pada generasi terbaru. Namun demikian, hal penting tersebut kini banyak terlupakan oleh para tokoh dan pemangku kepentingan di daerah. Pun di era digital yang serba canggih ini, dimana generasi muda sudah disibukkan dengan gadget dan permainan online, membuat mental dan fisik generasi mudah tidak terasa. Hal ini karena generasi muda lebih banyak membuang waktu dengan kesibukan barunya dan berorientasi dengan diri sendiri saja, serta membuat mereka kurang bersosialisasi dengan orang lain di dunia nyata.
Maka itu, penting bagi generasi muda sekarang untuk tidak hanya mengetahui olahraga tradisional geudeu-geudeu ini saja, melainkan mampu memerankannya dalam dunia nyata sebagai bagian dari kebanggaannya; sebagai identitas lokal daerahnya. Potensi dan Masa Depan Kini, Geudeu-Geudeu tidak hanya menjadi bagian dari tradisi, tetapi juga berpotensi untuk dikembangkan lebih jauh. Menjadikannya sebagai turnamen olahraga di Aceh, misalnya, bisa menjadi langkah awal untuk memperkenalkan dan mengangkat olahraga ini ke kancah yang lebih luas. Dengan keunikannya yang hampir mirip dengan gulat India, Geude-Geude berpotensi menjadi ikon olahraga tradisional yang mendunia. Mau diakui atau tidak, Geudeu-geudeu adalah contoh bagaimana seni bela diri tradisional bisa menonjol di tengah perkembangan olahraga modern seperti UFC.
Geudeu-geudeu menjadi teladan bagaimana masyarakat merayakan dan memberi hiburan kepada sesamanya setelah bekerja keras di bidang pertanian. Mudah-mudahan, semua kita menyadari, bahwa mengangkat dan melestarikan Geudeu-geudeu sebagai sebuah olahraga tradisional yang berasal dari Aceh –dengan harapan dapat menjadi olahraga yang eksis dan mendunia, tidak hanya memperkaya warisan budaya bangsa kita tetapi juga berpotensi meningkatkan kebugaran masyarakat melalui olahraga yang menghibur dan mempersatukan.
Nilai Moral
Untuk diketahui, olahraga tradisional Geudeu-Geudeu yang berasal dari Kabupaten Pidie, Aceh, mengandung berbagai nilai moral yang penting, antara lain yaitu; Pertama, memperkuat kebersamaan. Ya, Geudeu-Geudeu menjadi ajang berkumpul masyarakat setelah panen padi, sehingga dengan adanya agenda geudeu-geudeu dapat memperkuat rasa kebersamaan dan saling mengenal di antara warga. Olahraga ini menjadi media untuk bersosialisasi dan merayakan kerja keras bersama. Kedua, kebanggaan dan identitas.
Di masa lalu, kemampuan bermain Geudeu-Geudeu dianggap sebagai kriteria kebanggaan dan menjadi penilaian penting dalam memilih pasangan hidup. Ini mencerminkan bagaimana olahraga ini menjadi bagian dari identitas dan kebanggaan bagi masyarakat, terutama laki-laki muda. Ketiga, persaingan sehat. Pertandingan Geudeu-Geudeu mengajarkan pentingnya persaingan yang sehat dan sportif. Para pemain saling bersaing dengan semangat tanpa harus merusak persaudaraan dan kehangatan komunitas. Keempat, pelestarian budaya.
Nah, sebagai warisan budaya tak benda, Geudeu-Geudeu mencerminkan nilai penting dalam pelestarian tradisi dan budaya lokal. Melalui olahraga ini, nilai-nilai budaya dapat terus diwariskan kepada generasi muda, menjaga keaslian dan keberlanjutannya. Kelima, pengembangan diri. Olahraga Geudeu-geudeu juga berperan dalam membentuk karakter, kecerdasan, ketangkasan, kreativitas, dan rasa percaya diri. Dengan terlibat dalam Geudeu-Geudeu, generasi muda dapat mengasah kemampuan fisik dan mental mereka. Keenam, menghargai kerja keras.
Geudeu-Geudeu dirayakan sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras selama masa panen, sehingga menanamkan nilai-nilai penting seperti penghargaan terhadap usaha dan kerja keras dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai ini menunjukkan betapa pentingnya Geudeu-Geudeu tidak hanya sebagai olahraga tetapi juga sebagai media pembelajaran moral dan sosial yang mendalam bagi masyarakat, terutama di tengah tantangan modernisasi. Nyanban