Beranda Publikasi Kolom Model Pendidikan Adat di Desa Tenganan

Model Pendidikan Adat di Desa Tenganan

610
0
Sumber gambar: karangasemkab.go.id

Eikel K. Ginting (Alumni Kajian Konflik dan Perdamaian UKDW)

Bali dan pariwisata merupakan dua identitas yang saling terkait erat. Pariwisata, sebagai sektor ekonomi penting tidak hanya bagi Bali tetapi juga Indonesia, menjadikan Bali sebagai pusat perputaran ekonomi global dan persinggahan berbagai identitas budaya dari seluruh dunia.

Pariwisata di Bali memiliki dampak besar terhadap budaya dan lingkungan lokal. Di satu sisi, pariwisata membantu memperkenalkan budaya Bali ke panggung internasional melalui upacara keagamaan dan kesenian tradisional seperti Tari Kecak, upacara Galungan, dan Kuningan. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran tentang terjadinya pergeseran budaya yang mendalam. Upacara keagamaan yang awalnya bersifat sakral dan tertutup kini sering disajikan sebagai atraksi wisata, yang mengaburkan makna spiritualnya dan mereduksi budaya menjadi komoditas.

Selain itu, pembangunan infrastruktur pariwisata sering kali mengorbankan ekosistem alam dan lahan pertanian yang vital bagi keseimbangan ekologis dan kelestarian budaya Bali. Proses ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam keberlanjutan identitas lokal yang semakin tergeser oleh tekanan industri pariwisata (Mudana, 2018).

Pariwisata dan Dampak yang Ditimbulkan

Menurut laporan Mongabay.co.id, pembangunan pariwisata di Bali lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan dampak terhadap lingkungan dan budaya. Made Arca Eriawan dari KAP Bali menyebutkan bahwa tutupan hutan hanya tersisa 23%, jauh di bawah target keseimbangan ekologis sebesar 30% (Suriyani, 2019).

Selain itu, menurut Sadra, seorang aktivis lingkungan dari Desa Tenganan, menyampaikan bahwa pembangunan masif telah menggeser keseimbangan alam dan budaya Bali. Upacara keagamaan yang dulunya sakral kini menjadi tontonan wisata, sehingga mengaburkan makna spiritualnya. Selain itu, arsitektur khas Bali yang seharusnya mempertimbangkan wilayah hijau kini sering diabaikan. Modernisasi dan infrastruktur pariwisata menciptakan ketegangan antara pelestarian budaya lokal dan tuntutan industri pariwisata.

Hal tersebut bertentangan secara filosofis dengan identitas Bali yang identik dengan keseimbangan alam, dilambangkan oleh Swastika (berasal dari kata “swasti” dan “ika,” yang berarti damai, sejahtera, dan sentosa, namun tekanan pariwisata telah menyebabkan ketimpangan, seperti kemewahan hotel di tengah masyarakat yang kekurangan air bersih dan meningkatnya sampah di kawasan wisata (Wawancara Dengan Bapak Sadra, 26 September, 2024).

Desa Adat Tenganan: Pendidikan Adat  dalam Pariwisata

Desa Adat Tenganan Pegringsingan, yang terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali, merupakan desa adat yang memiliki karakteristik khas. Salah satu ciri utama desa ini adalah larangan merubah struktur rumah yang harus selalu mengikuti empat penjuru utama. Penataan rumah yang mencerminkan simbol swastika ini melambangkan keseimbangan hidup, yang mengingatkan masyarakat akan tanggung jawab mereka terhadap kehidupan.

Sistem pendidikan tradisional, yang dijalankan melalui Banjar, menjadi kekuatan utama dalam menghadapi dampak pariwisata massal yang lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada pemberdayaan masyarakat lokal. Sebagai pusat kegiatan adat dan sosial, Banjar di Desa Tenganan berfungsi sebagai tempat koordinasi bagi berbagai aktivitas komunitas, termasuk pendidikan yang berfokus pada pelestarian nilai-nilai budaya dan tradisi Bali, khususnya untuk generasi muda.

Kearifan lokal dan seni budaya diajarkan sesuai dengan prinsip Tri Hita Karana (filosofi yang mengajarkan keseimbangan dan harmoni dalam tiga hubungan utama yang harus dijaga oleh manusia, yaitu: harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam atau lingkungan sekitarnya), sehingga Banjar tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai fondasi interaksi sosial dan tanggung jawab komunal. Banjar memainkan peran penting dalam mengorganisir upacara keagamaan dan memberikan dukungan pada saat krisis, memperkuat nilai kebersamaan di tengah tantangan pariwisata (Noviasi et al., 2015).

Desa Tenganan juga dikenal karena aturan adatnya yang ketat, termasuk larangan menebang pohon di hutan adat (hutan hidup), kecuali pada hutan yang dikelola secara khusus. Aturan ini masih dijalankan dengan konsisten hingga saat ini. Desa ini juga memberdayakan pemuda dalam pengelolaan hutan, seperti pemanfaatan pohon kemiri dan buah-buahan langka. Pemuda dilibatkan dalam upaya konservasi melalui pendidikan budaya Tat Twam Asi ( relasu menyatu dengan unsur kehidupan) dan pendidikan ekologis yang berlandaskan pada Tri Hita Karana.

Edukasi yang diberikan kepada masyarakat dan pemuda menjadikan Desa Tenganan sebagai destinasi ekowisata yang berbeda dari daerah lain di Bali. Pengunjung yang datang harus mengikuti aturan adat yang berlaku, sehingga wisata di desa ini tidak hanya berupa aktivitas rekreasi, tetapi juga sarana pembelajaran mengenai nilai-nilai filosofis dan pendidikan ekologis. Pengunjung diajak memahami setiap ritual yang dijalankan di desa, seperti ritual yang melibatkan pohon, hewan, dan makhluk hidup lainnya. Nilai adat Tat Twam Asi menjadi bagian dari daya tarik desa ini, di mana para wisatawan diajak untuk memahami dan menghargai filosofi keberlanjutan yang dipegang teguh oleh masyarakat Bali (Wawancara Dengan Bapak Sadra, 26 September, 2024).

Pendidikan Adat sebagai Resistensi

Pendidikan di Desa Adat Tenganan menerapkan pendekatan inklusif yang menekankan pada partisipasi semua pihak dalam memahami dan mempelajari lokalitas. Menurut Gaudry dan Lorenz, pendekatan inklusi mengajak setiap individu untuk terlibat dalam proses pemberdayaan masyarakat lokal serta pelestarian kehidupan sosial-budaya.

Dalam konteks ini, pendidikan adat berperan sebagai mekanisme untuk mengintegrasikan pengetahuan lokal ke dalam sistem formal, dengan tujuan meningkatkan partisipasi masyarakat adat dalam berbagai aspek pembangunan. Pendekatan ini menciptakan ruang bagi pengakuan kearifan lokal dalam kerangka sistem yang sudah mapan, serta memperkuat identitas budaya masyarakat adat, sekaligus melindungi mereka dari dampak destruktif pariwisata massal (Gaudry & Lorenz, 2018; Holilah, 2016).

Pendidikan adat, oleh karena itu, tidak hanya berfungsi sebagai sarana pelestarian budaya, tetapi juga sebagai strategi indigenisasi yang aktif dalam menghadapi dampak eksploitatif dari ekonomi eksternal, termasuk pariwisata. Desa Adat Tenganan menjadi model ekowisata yang tidak semata berorientasi pada ekonomi dan promosi wisata, melainkan mengedepankan inklusivitas agar identitas masyarakat adat dapat dipahami secara universal. Identitas masyarakat lokal tetap terjaga, sementara turis dan pengunjung diajak untuk menyesuaikan diri serta mempelajari nilai-nilai adat. Pendekatan inklusif dalam pendidikan adat ini menjadi solusi strategis untuk mengatasi tantangan pariwisata massal di Bali (Manuel Castell, 2020).

Daftar Pustaka

Gaudry, A., & Lorenz, D. (2018). Indigenization as Inclusion, Reconciliation, and Decolonization: Navigating the Different Visions for Indigenizing the Canadian Academy. AlterNative, 14(3), 218–227. https://doi.org/10.1177/1177180118785382

Manuel Castell. (2020). The Power of Identity, The Information Age: Economy, Society and Culture. In The Power of Identity Claims (pp. 1–7). https://doi.org/10.4324/9781003011590-1

Mudana, I. G. A. M. G. (2018). Eksistensi Pariwisata Budaya Bali Dalam Konsep Tri Hita Karana. Journal Ilmiah Hospitality Management, 8(2), 61–68.

Noviasi, N. K. P., Waleleng, G. J., & Tampi, J. R. (2015). Fungsi Banjar Adat Dalam Kehidupan Masyarakat Etnis Bali Di Desa Werdhi Agung, Kecamatan Dumoga Tengah, Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Acta Diurna, IV(3), 2.

Suriyani, L. De. (2019). Apakah Bali punya Masa Depan untuk Kualitas Lingkungannya? Mongabay.Co.Id. https://www.mongabay.co.id/2019/03/05/apakah-bali-punya-masa-depan-untuk-kualitas-lingkungannya/

Wawancara dengan Bapak Sadra, 26 September. (2024).

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini