Beranda Publikasi Kolom Mengapa Islam gagal Mendominasi Kapitalisme?

Mengapa Islam gagal Mendominasi Kapitalisme?

437
0
Sumber gambar: pexels.com

Hatib Abdul Kadir (Dosen Antropologi Budaya, Universitas Brawijaya)

Pada suatu waktu, Nabi Muhammad pernah menerima kritik karena naiknya harga-harga. Muhammad mengatakan bahwa naik turunnya sebuah harga tergantung kepada kehendak Tuhan.

Pandangan ini mirip dengan Adam Smith, pelopor ekonomi liberal yang melihat bahwa naik turunnya harga ditentukan oleh “tangan-tangan tak terlihat” (invisible hand). Muhammad dan Smith percaya bahwa perdagangan harus dijalankan berdasar integritas moral individu. Pertanyaannya, jika memang Islam mempelopori perdagangan bebas, mengapa agama ini gagal mengembangkan sistem dagangnya ke kapitalisme? Mengapa justru Imperialisme barat yang mendominasi kapitalisme global?

Muhammad tidak melarang perdagangan bebas selama ia dijalankan dengan jujur dan tidak riba. Namun demikian, pasar yang dibayangkan Muhammad tentu berbeda dengan sistem kapitalisme. Sejarawan Ferdinand Braudel membedakan perdagangan dengan kapitalisme. Tidak semua sistem perdagangan berujung pada kapitalisme, seperti dalam sejarah dagang Islam ini.

Prinsip Perdagangan Islam

Islam disebarkan melalui jalur pasar bebas. Berbeda dengan agama lain. Menyebarnya Islam dari Yaman hingga Maluku melalui jaringan perdagangan yang didasarkan kepercayaan pada reputasi para pedagang dalam mengemban amanah terhadap kontrak, nota, surat kredit dan sejenisnya.

Perdagangan Islam tidak disokong oleh tentara dan polisi melainkan pada integritas pedagangnya. Ini berbeda dengan sistem merkantilisme Barat. Misalnya perdagangan VOC yang menggunakan kekuatan militerisme terlebih dahulu untuk mendominasi pasar. Perbedaan ini juga yang menjawab mengapa ekonomi Islam tidak berkembang seperti kapitalisme Barat dari Eropa? Padahal pada masa kekalifahan, para pedagang kaya memiliki jutaan dinar dan melakukan investasi menguntungkan, namun mengapa mereka tidak melahirkan kapitalisme modern yang justru kahir di Eropa?

Menjawab pertanyaan di atas, David Graeber mencatat dua sebab penting. Pertama, pedagang Islam percaya pada ideologi pasar bebas. Pasar tidak berada di bawah pengawasan langsung pemerintah. Kontrak kemitraan dibuat antara individu, “dengan jabat tangan dan kepercayaan pada surga jika berlaku jujur”. Dengan demikian, meletakkan perbedaan antara transaksi piutang secara professional dan reputasi kehormatan menjadi sangat sulit dibedakan. Dalam transaksi Islam, hampir tidak ada wasit tunggal yang mengawasi transaksi kecuali berakhir dengan saling berperang bagi mereka yang melanggarnya.

Kedua, Nabi Muhammad selama masa hidupnya juga tidak membolehkan metode perdagangan finansial yakni dengan cara mengkapitalisasi uang dan aset melalui resiko, dimana ia menyerupai judi. Islam juga menganggap serius prinsip bahwa keuntungan adalah imbalan atas risiko. Prinsip ini yang nantinya juga diabadikan dalam teori ekonomi klasik.

Perusahaan dagang yang menyeberangi lautan dari Timur Tengah ke Venesia, India hingga Maluku, secara harfiah, dianggap bagian dari petualangan karena para pedagang memaparkan diri mereka pada bahaya badai, kapal karam, bajak laut, wilayah yang ganas, adat-istiadat asing yang berbeda dan tidak dapat diprediksi, serta pemerintah yang sewenang-wenang. Namun demikian, yang membedakan dengan kapitalisme Eropa adalah, Islam tidak merancang sistem finansial untuk menghindari risiko ini. Tidak ada investor yang memfinansialkan resiko para pedagang. Alasannya, jika resiko difinansialkan maka berpotensi riba. 

Sedangkan dalam ajaran Kristen Protestan dosa adalah hutang manusia terhadap Tuhan. Gereja melarang hutang berbunga namun tidak melarang ketergantungan oelaku dagang denganpenguasa feodal. Misalnya orang kaya memberikan amal kepada orang miskin kemudian orang miskin harus menunjukkan rasa terima kasih mereka dengan bekerja, mengabdi, memberikan pelayanan. Pemberian amal kepada orang lain nantinya dapat ditagihkan ke Jesus di kehidupan kelak. Kristen mencurigai dunia perdagangan sebagai perluasan dari bunga. Karena itu hutang adalah dosa dari kedua belah pihak, kreditur dan debitur. Kristen mencurigai dunia perdagangan sebagai perluasan dari bunga. Karena itu hutang adalah dosa dari kedua belah pihak, kreditur dan debitur.

Namun terdapat pula ambiguitas dimana ajaran Protestan mempunyai prinsip “kamu boleh meminjami dengan bunga terhadap orang lain, tapi jangan dengan saudara mu sendiri”.

Awal mula Protestan mubcul dari aliran Kalvinisme yang memprotes terhadap pandangan Katolikisme. Di pedesaan Jerman, Marthin Luther menjadi terkenal pada tahun 1520 karena ia mempelopori penghapusan bunga hutang yang juga merupakan tindakan dosa. Gerakan protestantisme menjadi alternatif karena pada saat yang sama terjadi perlawanan petani dan pekerja tambang terjadi 1525 di seluruh Jerman. Perlawanan ini cenderung bergerak ke arah kiri. Para petani hendak mengubah menjadi gerakan kolektif yang kini dikenal dengan komunisme.

Alasan gerakan Protestan pada dua hal. Pertama, bunga adalah kompensasi dari uang dimana peminjam menjadikannya sebagai investasi. Logikanya, bunga hanya boleh dikenakan pada hutang komersial bukan hutan konsumsi. Peminjam melihat bahwa semua uang bisa diubah jadi modal. Kedua, sebagaimana dalam ajaran Kristen bahwa “meminjami bunga boleh pada musuhmu tapi tidak saudaramu”, dan karena itu transaksi komersial adalah sesuatu yang alami persis seperti perang karena ia dilakukan dengan orang asing, bukan dengan saudaramu sendiri. Logika poin kedua ini dapat kita temukan pada mengapa pedagang di negeri asing bisa lebih maju dibanding orang asli karena ia tidak punya beban memberikan hutang dengan bunga.

Namun ajaran Kristen sepenuhnya tidak menjadi etos munculnya kapitalisme. Ada sejarah imperialisme yang lebih besar mendorong munculnya perkembangan hutang dan penanaman modal. Masa eksplorasi dunia baru pasca abad pertangahan adalah masa dimana Eropa mencari besi, emas dan perak. Benda-benda ini digunakan sebagai alat tukar, bayar gaji tentara dan alat bayar pajak warga.

Pasca abad pertengahan, penggunaan mata uang dengan perak menyebabkan inflasi perak di Eropa, sehingga menyebabkan tingginya ekspor perak dari Cina. Abad 16 dan 17 adalah adalah era dimana kongsi dagang (joinstock companies) seperti VOC mengkombinasikan eksplorasi, penaklukan, dan ekstraksi. Semua strukturnya mengeliminasi moralitas. Pegawai kongsi dagang VOC diharuskan mengabaikan semua moralitas karena mereka hanyalah “karyawan” yang bertanggung jawab terhadap pengembalian maksimum dari investasi yang telah ditanamkan oleh perusahaan pemegang saham/stokholders.

Sistematika kerja model VOC ini tidak seperti pandangan munculnya kapitalisme menurut Karl Marx yang melihat pertukaran M ke C ke M (Money to Commodity to Money). Secara ekonomi politik untuk mengubah uang menjadi modal memerlukan sistem kekerasan dan monopoli. Seperti penaklukan dan perbudakan. Itu mengapa Islam tidak dapat menjadi negara imperialistis karena penekannya hanya pada pasar bebas dan jabatan tangan dari dua orang alim yang mempunyai reputasi terpercaya. Ditambah, Islam agama yang anti riba dan dengan tegas gagal melanjutan bisnisnya ke tahap finansial seperti yang dilakukan oleh kongsi dagang di Eropa.

Sumber tulisan: https://econanthro.wordpress.com/2020/09/05/mengapa-peradaban-islam-gagal-mendominasi-kapitalisme-global/

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini