Aris Setiawan (Etnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta)
Kabinet Prabowo-Gibran yang baru terbentuk menghadirkan Kementerian Kebudayaan sebagai entitas mandiri, terpisah dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Langkah ini seolah menunjukkan peningkatan perhatian pemerintah terhadap sektor kebudayaan, yang dianggap memiliki peran penting dalam penguatan identitas nasional dan diplomasi internasional.
Dengan menjadi kementerian tersendiri, kebudayaan diharapkan lebih fokus dan berkembang, meski masih ada tantangan besar dalam implementasi dan pengaruh kebijakan ini terhadap masyarakat luas. Pendirian Kementerian Kebudayaan ini tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan birokrasi, namun juga mendukung konsep competitive identity sebagaimana dijelaskan oleh Anholt (2007), di mana citra negara yang kuat bisa terbentuk melalui identitas budaya yang dipromosikan dengan baik.
Banyak pihak berpendapat bahwa pengelolaan kebudayaan harus terpisah dari sektor pendidikan dan riset untuk mencapai hasil optimal. Dalam struktur pemerintahan yang baru, Kementerian Kebudayaan diharapkan dapat menjalankan fungsinya lebih efektif dengan sumber daya dan perhatian khusus.
Pembentukan kementerian ini bisa dilihat sebagai upaya pemerintah untuk mengatasi tantangan pelestarian [dan pengembangan] budaya. Hal ini mengingat bahwa budaya memiliki peran strategis dalam menegaskan identitas nasional serta mengangkat soft power di kancah internasional, sebagaimana yang dilakukan negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan. Keduanya telah memanfaatkan kebudayaan mereka, mulai dari budaya tradisi hingga budaya pop, untuk memperkuat posisi di panggung dunia (Kwon & Kim, 2014; Melissen, 2005).
Dalam konteks ini, pembentukan Kementerian Kebudayaan di Indonesia diharapkan dapat mengoptimalkan diplomasi agar warisan budaya Indonesia lebih dikenal dunia, meningkatkan potensi soft power Indonesia yang dapat memperkuat hubungan internasional dan meningkatkan daya tarik.
Namun, tantangan terbesar kementerian ini adalah bagaimana menjaga relevansi kebudayaan di tengah arus besar budaya asing [Barat?] yang semakin masif. Salah satu langkah potensial adalah mendukung digitalisasi budaya. Melalui digitalisasi, kebudayaan dapat terdokumentasi dan diakses lebih luas, memungkinkan masyarakat untuk tetap terkoneksi dengan warisan budaya di mana pun mereka berada. Meski demikian, proses digitalisasi ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengakibatkan komersialisasi berlebihan.
Seperti diungkapkan oleh Cohen (1988) dalam teorinya tentang otentisitas dan komodifikasi dalam pariwisata, terdapat risiko bahwa proses digitalisasi dapat mereduksi budaya menjadi sekadar objek komersial tanpa memperhatikan nilai-nilai yang melekat di dalamnya. Selain itu, digitalisasi harus dilakukan dengan menghormati orisinalitas budaya itu sendiri agar tidak kehilangan esensi dari budaya tersebut.
Tantangan lainnya adalah memastikan pemerataan pengembangan kebudayaan di seluruh wilayah Indonesia. Hingga saat ini, perhatian seringkali terpusat pada wilayah-wilayah yang telah dikenal sebagai destinasi budaya, seperti Bali, Yogyakarta, atau Jakarta. Padahal, setiap wilayah di Indonesia memiliki warisan budaya yang perlu teris diwacanakan, lestarikan, dan dikembangkan. Dalam hal ini, pemerintah perlu memperhatikan konsep nilai budaya seperti yang dijelaskan oleh Holden (2006), di mana kebijakan budaya harus memiliki legitimasi demokratis dan memastikan setiap daerah mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengembangan budaya nasional secara setara.
Kebijakan yang baik dan setara di setiap daerah membuat potensi budaya dari setiap daerah dapat diberdayakan secara optimal dan menjadi bagian dari pembangunan budaya nasional [baca konsep Ki Hadjar bahwa; kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah].
Selain aspek pemerataan, persoalan lain yang perlu diperhatikan adalah anggaran dan dukungan sumber daya. Mengelola kebudayaan bukanlah tugas mudah, apalagi jika melihat jumlah keragaman budaya Indonesia. Dukungan anggaran yang memadai akan menjadi faktor penting dalam keberhasilan kementerian ini. John Holden (2006) dalam kajiannya tentang nilai budaya menekankan pentingnya legitimasi budaya yang didukung dengan mandat demokratis, termasuk dukungan anggaran memadai untuk infrastruktur.
Tanpa dana yang cukup, pelestarian budaya dan penyelenggaraan berbagai program budaya akan sulit terlaksana dengan optimal. Infrastruktur kebudayaan, seperti museum, pusat seni, dan fasilitas-fasilitas pendidikan kebudayaan perlu diperkuat agar masyarakat, terutama generasi hari ini, memiliki akses lebih mudah untuk memahami dan mendalami kebudayaan.
Dalam menghadapi tantangan ini, Kementerian Kebudayaan harus dapat membangun kolaborasi kuat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, komunitas budaya, dan sektor swasta. Setiap pihak memiliki peran penting dalam mendukung keberhasilan kebijakan budaya, terutama dalam menjaga kelangsungan program dan kegiatan budaya di tingkat lokal. Pemerintah daerah, misalnya, dapat menjadi mitra utama dalam mengenali kekayaan budaya yang ada di wilayahnya serta mendukung implementasi kebijakan dari pemerintah pusat.
Aspirasi masyarakat dalam pengembangan budaya juga penting, sebagaimana dijelaskan oleh Aspinall (2014), yang menyatakan bahwa pelibatan berbagai aktor dapat memperkuat demokratisasi dalam pengembangan sektor budaya. Dengan kolaborasi yang baik, kebijakan budaya dapat berjalan dengan lebih efektif dan berkesinambungan.
Kritik
Kritik yang muncul terhadap kementerian baru ini sebagian besar berkaitan dengan potensi tumpang tindih dengan kementerian lainnya, seperti Kementerian Pendidikan dalam hal pendidikan budaya atau Kementerian Pariwisata dalam hal, katakanlah, pariwisata budaya.
Tumpang tindih ini bisa menjadi kendala dalam efektivitas implementasi program di lapangan jika tidak ada pembagian tugas yang jelas antara kementerian. koordinasi lintas kementerian mutlak diperlukan agar setiap program dapat berjalan lancar tanpa menimbulkan kebingungan.
Pembentukan Kementerian Kebudayaan diharapkan dapat menjadi titik awal bagi kebangkitan budaya nasional lebih dinamis dan terarah. Kementerian ini memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesadaran budaya di masyarakat, memberdayakan ekonomi kreatif, dan memperkuat identitas bangsa di mata dunia. Namun, keberhasilan kementerian ini tidak hanya bergantung pada kebijakan yang dirumuskan, tetapi juga pada partisipasi aktif dari masyarakat dan komitmen jangka panjang dari pemerintah untuk mendukung keberlanjutan program-program budaya yang dijalankan. Hal ini sejalan dengan konsep pembangunan sosial dan kesempatan ekonomi seperti yang diuraikan oleh Sen dan Drèze (1995), bahwa partisipasi masyarakat merupakan faktor kunci dalam keberhasilan kebijakan publik.
Beban yang dihadapi oleh Kementerian Kebudayaan juga cukup besar. Walaupun kementerian ini memberikan harapan baru bagi peningkatan perhatian terhadap sektor kebudayaan, tidak sedikit pihak yang skeptis dengan latar belakang pembentukan kementerian ini.
Pembentukan kementerian baru ini dianggap sebagai upaya untuk memenuhi kepentingan politik partai-partai koalisi daripada fokus pada kebutuhan mendesak di sektor kebudayaan. Kondisi ini mencerminkan bagaimana stabilitas politik sering menjadi prioritas dalam sistem demokrasi yang ada di Indonesia (Aspinall, 2014), sehingga ada kekhawatiran bahwa kementerian ini mungkin hanya dijadikan instrumen politik dan tidak mampu menjalankan mandatnya dengan efektif.
Dengan demikian, partisipasi masyarakat dan pengawasan publik sangat penting untuk memastikan kementerian ini berjalan sesuai tujuan dan tidak terseret dalam dinamika politik jangka pendek. Pemerintah wajib memastikan bahwa kebijakan yang diambil bukan hanya sekadar respons terhadap kebutuhan politik, melainkan didasarkan pada urgensi dan kebutuhan nyata di lapangan.
Jika prioritas utama tetap pada stabilitas politik daripada pengembangan budaya, maka kementerian ini hanya akan menjadi instrumen tambahan untuk menampung aspirasi koalisi tanpa menghasilkan dampak nyata. Harapan terhadap Kementerian Kebudayaan untuk memajukan kebudayaan nasional sangat besar, tetapi tantangan-tantangan politik di balik pembentukannya perlu diatasi agar kementerian ini dapat bekerja sesuai mandat.
Terlepas dari semangat yang dibawa, kehadiran Kementerian Kebudayaan sebagai entitas mandiri seolah mempertanyakan esensi dari pengelolaan kebudayaan itu sendiri: apakah kebudayaan masih dapat menjadi ruang otonom di tengah kepentingan politik, atau justru akan tereduksi menjadi sekadar alat legitimasi kekuasaan? Di sinilah letak paradoksnya, jika pemerintah hanya mampu mengelola kebudayaan dengan mentalitas birokratis dan kepentingan jangka pendek, kebudayaan Indonesia mungkin justru kehilangan makna substansialnya sebagai sumber inspirasi dan pembentuk karakter bangsa.
Referensi
Anholt, Simon. Competitive Identity: The New Brand Management for Nations, Cities, and Regions. London: Palgrave Macmillan, 2007.
Aspinall, Edward. “The Triumph of Capital? Class Politics and Indonesian Democratisation.” Journal of Contemporary Asia 44, no. 2 (2014): 250-261. doi:10.1080/00472336.2013.870835.
Cohen, Erik. “Authenticity and Commoditization in Tourism.” Annals of Tourism Research 15, no. 3 (1988): 371–386. doi:10.1016/0160-7383(88)90028-X.
Griswold, Wendy. Cultures and Societies in a Changing World. 4th ed. Thousand Oaks, CA: SAGE Publications, 2012.
Holden, John. “Cultural Value and the Crisis of Legitimacy: Why Culture Needs a Democratic Mandate.” Demos. London, 2006. Accessed October 31, 2024. https://www.demos.co.uk/files/Culturalvalueweb.pdf.
Jung, Sun, and Doobo Shim. “Social Distribution: K-Pop Fan Practices in Indonesia and the ‘Gangnam Style’ Phenomenon.” International Journal of Cultural Studies 17, no. 5 (2014): 485–501. doi:10.1177/1367877913505173.
Kwon, Seung-Ho, and Joseph Kim. “The Cultural Industry Policies of the Korean Government and the Korean Wave.” International Journal of Cultural Policy 20, no. 4 (2014): 422–439. doi:10.1080/10286632.2013.829052.
Melissen, Jan. The New Public Diplomacy: Soft Power in International Relations. New York: Palgrave Macmillan, 2005. Sen, Amartya, and Jean Drèze. India: Economic Development and Social Opportunity. Oxford: Oxford University Press, 1995.