Muhamad Alnoza (Mahasiswa Program Doktor Arkeologi, Universitas Indonesia)
Historiografi kebudayaan Jawa kuno dalam konteks lini masa Indonesia sering kali didudukkan garis start-nya pada abad ke-8 M. Abad ini memang bukan abad sembarangan, karena pada milenia ini terbit Prasasti Canggal (berangka tahun 654 Ś atau 732 M) sebagai mukadimah peradaban Jawa Kuno, sebagaimana disebut oleh N.J. Krom dalam Hindu Javaansche Geschiedenis (1926).
Prasasti berbahasa Sangsekerta yang ditemukan di daerah Magelang ini, seakan-akan menjadi bukti otentik dari akta berdirinya Kerajaan Mataram Kuno yang dirintis oleh keluarga Śailendra yang masyhur. Aktor utama dari skenario pendirian Kerajaan Mataram Kuno tentu adalah Raja Sañjaya, yang namanya sering kali menjadi bahan perdebatan para sejarawan, epigraf, dan arkeolog dari masa ke masa.
Pasalnya, posisi genealogisnya dalam kekerabatan raja-raja Jawa yang berkuasa kemudian sering kali menjadi permasalahan pelik di kalangan peneliti. Permasalahan ini yang selanjutnya melahirkan teori satu atau dua dinasti dalam Kerajaan Mataram Kuno, antara Dinasti Sanjaya dan Śailendra.
Untuk sementara waktu, teori dinasti itu sudah cukup diredakan oleh pendapat Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti (2012), yang mengemukakan beberapa bukti epigrafi yang meneguhkan Sañjaya sebagai anggota keluarga Śailendra (tidak ada Dinasti Sanjaya).
Terlepas dari polemik yang bermunculan setidaknya ada hal penting lain yang harusnya juga bisa disoroti dari keberadaan Sañjaya, yakni soal ritual yang ia lakukan di Gunung Wukir. Ritual yang disinggung pada Prasasti Canggal ini demikian penting dalam sejarah politik Jawa—dan mungkin juga Asia Tenggara, karena dapat dianggap sebagai gejala awal kemunculan konsep proto dewarāja yang disinggung-singgung oleh para sarjana.
George Coedes dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha (2017) menganalogikan ritual ini seperti mengetuk “portal gaib” dari rumah para dewata, sehingga mengundang para dikara untuk turun ke Tanah Jawa.
Lingga Pūtikeśwara
Sebelum sampai pada pembahasan soal ritual yang dilakukan oleh Sañjaya, perlu diketahui bahwa uraian akan ritual tersebut pada Prasasti Canggal sebenarnya tidak selengkap yang dibayangkan. Di bagian awal prasasti itu hanya disebutkan bahwa Sañjaya telah mendirikan suatu lingga, dengan tujuan menciptakan ketenangan dan keberuntungan bagi rakyatnya.
Lingga di sini merujuk pada satu objek berbahan batu, kayu atau bahan pangan berbentuk silindris yang merujuk pada bentuk phallus. Objek ini dalam ajaran Hindu dianggap sangat sakral, karena merujukan representasi dari Dewa Śiwa sebagai dewa utama dalam kultus Trimurti.
Pada beberapa kasus percandian di Tanah Jawa, khususnya pada candi-candi bernafaskan Agama Hindu Śaiwa, lingga sering kali ditempatkan di tengah bilik candi utama ditumpu oleh yoni pasangannya. Yoni dalam hal ini merupakan objek berbentuk kubus yang berceruk dan bercerat, sebagai penyimbolan dari Dewi Parwati atau pasangan Dewa Śiwa (Maulana, 1997).
Adapun dalam kasus lingga yang didirikan oleh Sañjaya, lingga peninggalannya sampai sekarang belum ditemukan oleh para arkeolog. Namun demikian, tempat bertakhtanya sang lingga masih dijumpai sampai sekarang.
Dugaan kuat arkeolog atas tempat diposisikannya lingga yang disebut dalam Prasasti Canggal mengarah pada Candi Gunung Wukir, yang terletak di Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang. Selain karena Prasasti Canggal memang ditemukan di sekitar candi itu, gejala Śiwaisme berupa Arca Nandi (wahana Dewa Śiwa) di candi tersebut juga merupakan penguat atas dugaan para ahli itu (Sedyawati dkk., 2013).
Lantas bagaimana bisa pendirian suatu lingga bisa terkait dengan ritual “pembukaan portal gaib”?
Jawaban atas pertanyaan itu tersedia di baris-baris akhir Prasasti Canggal yang mengurai peristiwa sebelum kenaikan takhta Sañjaya. Disebutkan bahwa Sañjaya sebelumnya merupakan seorang keponakan dari seorang raja bernama Sanna, sedangkan ibu dari Sañjaya yang bernama Sannaha adalah adik dari raja tersebut.
Lantas pada suatu ketika, paman Sañjaya meninggal dunia dan menyisakan “kesedihan” dan “penderitaan” yang tidak terperi. Menurut Poerbatjaraka dan kemudian didukung oleh Boechari, sebab kematian Raja Sanna kemungkinan besar terjadi akibat kudeta yang dilakukan oleh seseorang.
Pendapat kedua ahli ini meminjam keterangan Carita Parahyangan (naskah abad ke-16 dari Tatar Sunda), yang secara “ajaib” memang menyebut soal peristiwa ini. Dikisahkan dalam naskah itu, pasca kudeta Sañjaya secara militan menggalang kekuatan untuk merebut takhta pamannya itu dan akhirnya berhasil (Poesponegoro dan Notosusanto, 2010).
Oleh karena kemenangan yang diraih itulah, Sañjaya dalam Prasasti Canggal diibaratkan seperti matahari yang menyinari dan menghidupi rakyatnya. Coedes (2017) berpendapat bahwa pendirian lingga oleh Sañjaya merupakan upaya pelegitimasian dirinya atas kemenangannya itu.
Lingga itu berfungsi sebagai portal turunnya para dewa ke lokasi di mana lingga itu didirikan, sehingga diibaratkan bahwa bahkan sang dewa telah berdiam dan bertempat tinggal di tempat lingga itu bertengger. Oleh karena dalam kepercayaan Hindu para dewa tinggal di atas Gunung Mahameru (Himalaya), maka tempat didirikannya lingga itu juga disejajarkan dengan Mahameru—dari segi kesuciannya—oleh penulis Prasasti Canggal.
Adapun lingga itu dalam beberapa teks ilmiah arkeologi dikenal sebagai Pūtikeśwara dan dianggap sebagai axis mundi dari mikrokosmos kerajaan.
Warisan Sañjaya dan Keberlanjutannya
Praktik ritual yang dilakukan oleh Sañjaya pada tahun 732 M, rupanya ditiru beberapa raja sezaman dan bahkan juga setelahnya. Di Jawa pada abad yang sama dengan masa hidup Sañjaya, praktik ritual ala Sañjaya dilaksanakan pula oleh Raja Dewasimha yang berkuasa di Kerajaan Kañjuruhan di Malang, Jawa Timur.
Hal ini sesuai dengan keterangan Prasasti Dinoyo (682 Ś/ 760 M), yang menyebut Dewasimha telah mendirikan “api” (kadang kala lingga juga disamakan dengan api) Pūtikeśwara. Berbeda dengan kasus Prasasti Canggal yang singkat menyebut fungsi lingga ini, Prasasti Dinoyo secara jelas melampirkan kalau lingga itu “menebarkan cahaya ke wilayah sekitarnya” (Satari, 2009). Artinya, fungsi lingga yang disebut dalam Prasasti Dinoyo memang sebagai inti jagat Kerajaan Kañjuruhan.
Ritual pendirian Lingga Pūtikeśwara juga ditiru oleh Jayawarman II dari Kerajaan Khmer di Kamboja. Menurut Herman Kulke (1978), praktik ini mungkin bisa sampai ke Khmer ketika Khmer ditaklukan oleh Kerajaan Mataram Kuno di masa pemerintahan Sañjaya dan Jayawarman II disandera ke Pulau Jawa.
Sebagaimana disebut dalam Prasasti Sdok Kok Thom, setelah kembali ke Khmer sang pangeran yang disandera kemudian mendirikan lingga “gaib” di atas Gunung Mahendra—sekarang disebut Phnom Kulen. Berbeda dengan Sañjaya pendahulunya yang lebih implisit dalam mengklaim diri sebagai dewa, Jayawarman II bahkan sampai mengaku diri sebagai cakravartin atau “raja sedunia” atau Dewa Śiwa itu sendiri.
Samar-samar warisan ideologi religio-politik Sañjaya terasa pula sampai sekarang, di mana kraton-kraton Jawa Islam masih memegang teguh konsep “Lingga Pūtikeśwara” dan “dewarāja”. Kasus demikian sederhananya tampak dari penggunaan nama gelar Sunan Surakarta “Paku Buwånå”, yang secara harafiah memiliki makna kurang lebih mirip dengan Lingga Pūtikeśwara.
Di sisi yang lain, Tim Behrend (1989) juga menyebut kalau kraton-kraton Jawa-Islam sebenarnya tata lahannya mengikuti istana dewata dalam mitologi Hindu. Hal ini menandakan bahwa bahkan ketika Islam datang, konsep dewarāja yang diwariskan oleh Sañjaya juga ikut lestari. [NI]
Referensi
Behrend, T. (1989). “Kraton and Cosmos in Java”, Archipel Vol. 37(1), 173-187.
Boechari. (2012). Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, EFEO, dan FIB UI.
Coedes, G. (2017). Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: Pustaka Populer Gramedia dan EFEO.
Krom, N.J. (1926). Hindu Javaansche Geschiedenis. Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Kulke, H. (1978). The Devarāja Cult. New York: Cornell University.
Maulana, R. (1997). Ikonografi Hindu. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Poesponegoro, M.D., N. Notosusanto. (2010). Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.
Satari, S. S (2018). “Upacara Weda Di Jawa Timur: Telaah Baru Prasasti Dinoyo”. AMERTA 27 (1), 34-43.https://doi.org/10.24832/amt.v27i1.435
Sedyawati, E. dkk. (2013). Candi Indonesia: Seri Jawa. Jakarta: Dit. Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.