Nurfadillah (Dosen Universitas Sawerigading Makassar)
Rumah bukan hanya tempat untuk bernaung, atau tempat untuk pulang. Setiap sudutnya sudah pasti banyak menyimpan cerita dan memori bagi si pemilik rumah atau orang-orang yang ada di dalamnya. Suasana hangat, nyaman, dan aman tentunya bisa kita rasakan di dalam rumah. Namun, rumah di mata masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan lebih dari sekadar tempat berteduh bagi penghuninya, atau objek materil yang indah dengan bangunan dari bahan kayu yang membuat suasana rumah menjadi hangat.
Rumah bagi orang Bugis adalah ruang sakral di mana orang lahir, kawin bahkan meninggal, dan di tempat ini pula kegiatan-kegiatan sosial dan ritual tersebut dilakukan. Rumah orang Bugis juga tak lepas dari makna dan filosofi, dalam mitologi Bugis terkait kosmologi penciptaan dunia, masyarakat bugis kuno dalam kitab I Lagaligo meyakini bahwa dunia ini terdiri dari tiga bagian secara vertikal, yaitu dunia atas (Botting langi), dunia tengah (Ale Kawa), dan dunia bawah (Uri Liyu).
Kosmologi dan Trilogi Rumah Adat Bugis
Nilai dan makna yang ditransformasikan ke dalam wujud bangunan memiliki konsep kosmologi dan trilogi dalam bangunan rumah panggung masyarakat Bugis secara vertikal. Tiga tingkatan tersebut adalah dunia atas (Botting langi), dunia tengah (Ale Kawa), dan dunia bawah (Uri Liyu) yang dijabarkan sebagai berikut:
- Botting Langi memiliki arti dunia atas yang merupakan tingkatan tertinggi dari dunia dan juga pusat dari seluruh tingkat dunia. Botting Langi diyakini sebagai tempat bersemayamnya Dewa Langit atau disebut juga dengan Dewata SeuwaE yang setara dengan Tuhan Yang Maha Esa. Tingkatan inilah yang juga diekspresikan ke dalam pola penataan bangunan dan ruang secara vertikal pada rumah Bugis di bagian atas (atap) rumah atau bagian kepala yang disebut dengan Rakkeang.
- Ale Kawa memiliki arti dunia tengah yang merupakan tingkatan tengah dari dunia sebagai penghubung antara Botting Langi (dunia atas) dengan Uri Liyu (dunia bawah). Ale Kawa diyakini sebagai tempat bersemayamnya Dewa Mallino yang menguasai bumi dengan segala isinya. Tingkatan inilah yang juga diekspresikan ke dalam pola penataan bangunan dan ruang secara vertikal pada rumah Bugis di bagian tengah atau tubuh rumah yang disebut dengan Ale Bola.
- Uri Liyu memiliki arti dunia bawah yang merupakan tingkatan paling bawah dari dunia. Uri Liyu diyakini sebagai tempat bersemayamnya Dewa UwaE yang menguasai tanah, sungai, dan laut. Tingkatan inilah yang juga diekspresikan ke dalam pola penataan bangunan dan ruang secara vertikal pada rumah Bugis di bagian bawah atau kaki rumah yang disebut dengan Awa Bola.
Dunia atas (Botting Langi) sangat erat kaitannya dengan kepercayaan yang tidak nampak (suci, kebaikan, sugesti, dan sakral). Sebagaimana dalam pemahaman masyarakat Bugis bahwa dunia atas adalah tempat bersemayamnya Dewi Padi (Sangiang-Serri). Dengan pemahaman ini banyak masyarakat Bugis menganggap bahwa bagian atas rumah (Botting langi) dijadikan sebagai tempat penyimpanan padi atau hasil pertanian lainnya. Selain itu biasa juga dimanfaatkan untuk tempat persembunyian anak-anak gadis yang sedang dipingit.
Dunia tengah (Ale Kawa) diinterpretasikan sebagai kehidupan yang berhubungan dengan aktivitas sehari-hari. Ale Kawa atau badan rumah dibagi menjadi tiga bagian, yang pertama bagian depan dimanfaatkan untuk menerima para kerabat/keluarga, bermusyawarah, serta tempat kegiatan adat. Kedua, bagian tengah dimanfaatkan untuk ruang tidur orang-orang yang dituakan termasuk kepala keluarga (Bapak/ibu). Ketiga, ruang dalam dimanfaatkan untuk kamar tidur anak-anak atau kakek/nenek.
Sedangkan dunia bawah (Awa Bola/kolong rumah) berhubungan dengan sesuatu yang digunakan untuk mencari rezeki, seperti menyimpan alat-alat pertanian, alat untuk berburu, alat menangkap ikan, tempat menenun, tempat kandang binatang, dan tempat bermain bagi anak-anak.
Kepercayaan terhadap tiga tingkatan dunia dan trilogi kosmologi rumah Bugis juga diintegrasikan dengan tiga prinsip keislaman yaitu Habluminallah, Habluminannas, dan Habluminalalam.
Habluminallah diintegrasikan sebagai kepercayaan orang Bugis terhadap dunia langit (Botting langi) yang diekspresikan sebagai hubungan antara manusia dengan sang pencipta. Habluminannas, diintegrasikan sebagai kepercayaan orang Bugis terhadap dunia tengah (Ale Kawa) yang diekspresikan sebagai hubungan antara manusia dengan manusia. Dan Habluminalalam, diintegrasikan sebagai kepercayaan orang Bugis terhadap dunia bawah (Uri Liyu) yang diekspresikan sebagai hubungan antara manusia dengan alam.
Peran Gender dalam Rumah Adat Bugis
Rumah adat Bugis bukan hanya bisa dijabarkan secara vertikal yang terdiri dari tiga bagian, tetapi secara horizontal juga dikelompokkan menjadi tiga bagian sebagai berikut:
- Lontang risaliweng (ruang depan) sebagai ruang semi privat berfungsi untuk menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat bermusyawarah, dan tempat membaringkan mayat sebelum dikebumikan. Ruang ini menjadi tempat berkomunikasi dengan orang luar yang sudah diizinkan untuk masuk. Biasanya sebelum memasuki ruang ini, orang luar diterima lebih dahulu di lego-lego (teras rumah).
- Lontang ritengngah (ruang tengah) sebagai ruang privat, berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan, dan melahirkan.
- Lontang rilaleng (ruang dalam), sebagai ruang yang sangat privat, digunakan sebagai ruang untuk tempat tidur anak gadis atau kakek/nenek.
Selain tiga ruangan tersebut, masih ada dua ruangan tambahan yang cukup penting dalam melakukan aktivitas di dalam rumah. Yang pertama dapur, sebagai tempat untuk memasak dan menyimpan peralatan memasak, biasanya posisi dapur berada di belakang atau di samping. Kedua, lego-lego atau teras yang biasanya difungsikan sebagai tempat menerima tamu sebelum masuk ke dalam rumah.
Sementara itu, ruang dalam rumah pada hakikatnya dibagi berdasarkan gender, bagian depan menjadi wilayah kaum pria, sedangkan ruang belakang milik kaum perempuan. Setiap bagian ada pintu masuknya sendiri, hanya saja jika perempuan dalam rumah, kerabat perempuan, dan perempuan lainnya sering masuk lewat pintu depan, maka laki-laki sangat jarang masuk rumah lewat pintu belakang, apalagi pria asing. Perempuan pun sering menghabiskan waktu di bagian depan rumah, kecuali jika ada tamu laki-laki yang bukan kerabat. Sebaliknya, meskipun dapur di bagian belakang adalah wilayah perempuan, tetapi lelaki pun kadang kala masuk khususnya waktu makan.
Daerah kekuasaan kaum perempuan yang lain adalah loteng, yang pada zaman dahulu digunakan sebagai ruang tidur anak gadis yang belum menikah, terutama jika ada tamu pria bermalam. Pembagian ruang berdasarkan gender paling tampak jika ada jamuan makan resmi atau saat laki-laki yang bukan kerabat datang berkunjung. Biasanya jamuan khusus tamu laki-laki dihidangkan di bagian depan, dan perempuan hanya muncul membawa makanan atau penganan, sedangkan perempuan makan di bagian belakang. Pemisahan ini tidak bersifat ketat dan permanen, pengaturannya pun cenderung fleksibel. Tujuannya agar perempuan terjaga dari gangguan pria asing.
Menurut pepatah orang Bugis, “wilayah perempuan adalah sekitar rumah, sedangkan ruang gerak kaum pria menjulang hingga ke langit”. Kata-kata bijak tersebut juga menjelaskan peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Baik ia petani, nelayan, pedagang, pekerja kantoran, dan semacamnya, ruang aktivitas laki-laki adalah di luar rumah. Karena dialah tulang punggung keluarga yang bertugas mencari nafkah. Sementara perempuan sebagai ibu, menjalankan kewajibannya mengurus anak, menyediakan lauk pauk, berbelanja keperluan keluarga atau semacamnya.
Namun, ini bukanlah potret utuh peran gender pada masyarakat Bugis, sejak jaman dulu, tidak jarang perempuan ikut mencari nafkah untuk menghidupi keluarga atau para istri mengambil alih tanggung jawab suami menghidupi keluarga. Semua pekerjaan bisa dipertukarkan satu sama lain bahkan pembagian kerja yang ringan maupun berat tidaklah memandang jenis kelamin. Meski ada pekerjaan yang biasanya hanya boleh dilakukan oleh perempuan begitupun sebaliknya.
Namun, yang terpenting adalah bukan pada perbedaan tugas melainkan saling melengakapi satu sama lain, itulah yang memperkuat pondasi suami istri dalam menjalani biduk rumah tangga untuk saling menopang kepentingan mereka masing-masing (sibali perri’). [NI]
Referensi
Daeng, H.J. (2008), Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Tinjauan Antropologis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Pelras, (2006), Manusia Bugis, forum Jakarta Paris, Jakarta.
Poerwanto, H. (2008), Kebudayaan dan Lingkungan, dalam Perspektif Antropologi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Robinson, K. & Paeni, M., (2005), Tapak-Tapak Waktu: Kebudayaan, Sejarah, dan
Kehidupan Sosial di Sulawesi Selatan, Ininnawa, Makassar.