Frengki Nur Fariya Pratama (Alumni Prodi Sastra Jawa Universitas Sebelas Maret Surakarta & Magister Ilmu Susastra Universitas Diponegoro)
Ngebel adalah pariwisata. Menawarkan pesona telaga dengan pagar alam perbukitan. Hawa gunung, tempe anget, nangka goreng tak lewat menemani kongko ngalor-ngidul. Begitu asyik buat ngobrol nglantur hingga obrolan jauh. Jauh membayangkan rupa Ngebel masa lalu, sebelum air mancur menari jadi destinasi kiwari.
Ternyata, Serat Centhini menyimpan rupa lawas Ngebel. Pesona alam, beberapa tempat sengkeran, jenis tumbuhan dan sosiologis budaya masyarakat ngebel, tergambar dalam karya sastra era awal abad XIX. Selang dua abad, catatan Serat Centhini itu masih dapat mendampingi telusur saya menyelesaikan tugas skripsi di tahun 2017-2018.
Saat penyusunan skripsi berjudul Korelasi Mistis-Ekologis dalam Serat Centhini Episode Pengembaraan Seh Amongraga di Telanga Ngebel Pranaraga, suatu Tinjauan Antropologi Sastra, saya terbelalak. Pupuh objek pilihan tugas akhir itu rinci menyebut Bale Batur, Sumber Bathara, Sumber Padusan, Sumber Selapati, Sumber Upas, celangap warih untuk membahasan saluran air (irigasi) yang mengairi sawah warga, di bawah kaki pegunungan liman. Semuanya berkerangka sakral. Beraroma mistik dari budaya masyarakat fiksi dalam Serat Centhini.
Mistik bukanlah dhemit, iblis, jin, ataupun setan. Mistik itu serupa sistem religi, untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan. Manunggal Gusti kalawan kawula. Makanya sakral, sangat suci. Tempat kawula nyekseni keberadaan Gustinya. Dengan cara, nenepi, berkhalwat, menjauhi hiruk-pikuk yang melenakan.
Alkisah, Seh Amongraga, priyayi fiksi Serat Centhini, keturunan Sunan Giri Prapen yang ditemani abdi Jamal-Jamil menyaksikan ritus ekologi yang mistik. Mereka melihat kepasrahan Angganala warga fiksi desa Saba yang tengah nenepi. Petani asli dusun Saba itu kalut. Sudah mangsa kapat, sawah, tegal sayur, jarak, kapas terserang hama. Angganala tak bisa nedha upa.
Angganala hanya bisa tirakat. Milane kawula nekad | tirakat anèng têlaga …| yèn angsala ngalap bêrkah | kang mara-bumi têlaga | (Pupuh Girisa Pada 4). Dia nenepi di pinggir telaga. Kembali ke alam, menyapa mara-bumi telaga. Yang datang, manjing, berdiam di sana.
Seh Amongraga berempati. Priyayi itu memberi kawruh dari latar sosial-kultural jauh,syarat slamet sawah dari hama,yang tak diketahui Angganala sebelumnya. Namanya carang pring kresna. Piranti dengan ranting bambu kresna atau bambu hitam yang berumbul-umbul ekor walang kapa atau kleper Nama latinnya Hydrobasileus. Agak sadis. Ngeri!
Umbul-umbul ekor kapa penangkal hama harus dipasang setiap sudut sawah. Saban suruping Hyang Surya atau petang hari harus dibawa ke sawah. Sembari merapal mantra di empat pojok kiblat sawah. Begini mantranya:
Yèn si ama nora balak/ tan balak mati sun-tumbak/ ilang nora na pa-apa/ kêtulak tumbak lan kapa.
Berurutan menghadap selatan, barat, timur, dan diakhiri utara. Hama sawah akan kleper-kleper kabur. Takut dengan tombak walang kapa.
Agar tetap hijau, sawah juga butuh air yang cukup. Angganala paham soal itu. Tak heran, sumber air di desanya juga berpagar mistik. Seh Amongraga bersama Jamil-Jamil sebagai orang neneka diajaknya keliling. Dengan bangga, Angganala menunjukan berbagai sumber air yang dianggap warga sebagai sumber kabuyutan. Sumber suci yang lebih dulu ada. Sebagai buyut, muasal Angganala dan warga sekitar bisa tetap hidup di Ngebel. Rombongan priyayi neneka itu dibawa Angganala menuju Sumber Upas, ada enam sendhang (kolam)yang sangat angker. Selesai menyaksikan keadaan sumber upas, Angganala mengajak berkujung ke Sumber Selapati yang tak kalah penting.
Sumber Selapati jadi barometer kearifan lokal, penimbang gelagat air Telaga Ngebel. Jika Sumber Selapati beriak, air telaga ikut beriak. Begitu juga pergantian warna air; buthek, bening, pita (kuning), reta (merah) ikut buyutnya yakni Sumber Selapati. Sumber kecil yang mempengaruhi keadaan wadah besar air bernama telaga.
Rombongan Seh Amongraga yang dari jauh, tak henti-hentinya dibuat terpesona dengan sumber air asli Ngebel yang ditunjukan Angganala. Saat berada di Sumber Padusan, yang saat ini kita kenal Tirto Husada. Airnya begitu bening, sampai bisa buat ngaca. Jamil-Jamal pun bertanya:
Niki prihpun kang (Ang)ganalah, bĂŞlumbang miring tan (bisa) wutah?
(Pupuh Girisa, Pada 25)
Terkagum dengan blumbang yang miring seperti menara pisa Italia, namun airnya tak tumpah.
Angganala pun menjawab, menurut cerita orang dulu, Sumber Padusan adalah tempat siram Widadari Suralaya. Mitosnya, air hujan tak bisa bercampur dengan air blumbang Sumber Padusan. Air melesat, seolah berlari di atas lumbu patra, daun talas bugkus buntil.
Rombongan jauh yang neneka itu juga menyempatkan diri nenepi. Tawakub selama tiga hari di setiap sumber kabuyutan. Sebab, sumber Upas, Selapati, dan Padusan adalah pakareman, yang sengker-angker, serba menakutkan. Seh Amongraga tetap ikut merasakan, menghayati, menghormati keyakian masyarakat lokal. Yang gegirisi tetap dianggap tajali Tuhan. Sebab, yang buruk pun tercipta atas kehendak-Nya.
Manusia memang punya daya pikir. Tak heran, manusia selalu memilah-milah mana yang baik dan buruk, hitam dan putih. Tapi lupa jika ada yang tak jejeg, tak hanya codong ke satu klasifikasi. Ada baik yang agak buruk, putih yang kehitaman, dan sebaliknya. Berada di tengah, posisinya samar. Sesamar tradisi ataupun budaya di tengah kilau modernitas saat ini.
Tradisi atau budaya berada pada kondisi antara ada dan tiada, penting tapi tak dipentingkan. Jika terlalu digenjot, akan sulit menguntungkan. Sebab akselerasi teknologi dan pandangan dunia sungguh cepat. Lokalitas tak berlari. Dia berjalan sopan sembari menunggu sapaan. Lokalitas jadi kurang populer. Efek silau global yang tak mau menyapa lokal, malah menyebut tertinggal.
Akhir-akhir ini, trend antropo-kosmik atau kesadaran hubungan manusia dengan alam semesta semakin lantang. Stoik atau filofosi teras yang mempertebal kesadaran adanya kekuatan liyan, dan deep ecology, yang pada hal ini adalah ekosofi muncul menanggapi kerusakan bumi. Sebuah keteguhan mencari kebijaksanaan dari alam luas. Itu semua produk import, bukan hasil budi dan daya lokal.
Memang tak salah. Segala macam ilmu, pada dasarnya baik, tapi kog ya baru sadar! Sebagai manusia Jawa, sejak cindhil semua sudah diajarkan. Prinsip itu serupa jagad alit dan jagad ageng. Bahwa manusia itu tak hidup sendiri. Hidup berdampingan dengan jagad-jagad lain selain diri manusia pribadi. Makro dan mikro kosmos. Semua yang lokal itu apa sekadar dianggap petuah teras emperan?
Lewat cerita Ngebel dalam Serat Centhini, saya membayangkan alangkah lesatarinya alam dan sumber air Ngebel yang dirawat pikiran mistik dan mitos. Sumber air terjaga, sawah terukur pestisidanya, dan alam disapa layaknya manusia. Pikiran sebagai dasar manusia bertindak, mampu menanggulangi kerusakan yang lebih besar. Dampak yang saat ini menghantui masyarakat dunia; yakni krisis iklam dan kerusakan alam.
Mistifikasi Jawa yang memunculkan beragam pundhen, serupa prinsip stoik, deep ecology, atau ecoshopy. Berpegang bahwa ada hal liyan, selain manusia. Manusia bukan satu-satunya yang berhak hidup. Yang liyan itu juga berhak hidup layak sama seperti manusia. Sederhananya, kita diajarkan untuk menahan, merasakan, dan menghargai diri liyan. Manusia bukan raja, yang seenaknya ngambil untung dari bumi.
Bumi dalam pikiran Jawa adalah Dewi Sri, ibunya padi. Di setiap slametan, rapal ibu bumi, bapa angkasa, hingga kini masih diucapkan. Pengingat dari para sepuh bahwa kita berasal dari alam. Yang senantiasa rela memberi pasokan kebutuhan. Ibu juga hadir dalam mitos Sri-Sadana, kisah muasal padi di bumi,
Jawa tidak sendiri. Simbolisasi bumi sebagai ibu dan angkasa sebagai ayah dapat kita temukan dalam filsafat neo-konfusian. Kita bisa membacanya dalam buku Sacred Nature Bagaimana Memulihkan Keakraban dengan Alam karya Karen Amstrong, yang menuliskan; langit adalah ayahku, bumi adalah ibuku, dan bahkan makhluk kecil seperti diriku menemukan tempat hangat di antara keduanya (2023, pp. 122–123). Teks itu tercantum dalam pembukaan Prasasti Barat (Ximing) yang ditulis Zhang Zai yang menjabat tahun 1020-1077 Masehi.
Keponakan Zhang yakni Cheng bersaudara, mentransformasi prinsip itu sebagai sebuah gerakan, serupa sedulur sikep Samin Surosentika yang asih kepada bumi. Tahun-tahun setelahnya, isi parasasti Barat (Ximing) dianggap Cheng Hao (1033-1107) sebagai ajaran konfusian yang hilang. Ibu bumi dan bapa angkasa serupa filosofi Jawa, atau malah pengaruh neo-konfusian?
Mau Cina atau Jawa, lokalitas yang terkesan abstrak itu mengajak sadar bahwa manusia bukan saja bagian, namun terjalin dengan alam. Ecosophy yang dipopulerkan Arne Naes dan Felix Guattari juga demikian. Namun hadir sebagai pandangan yang lebih absolut. berangkat dari ruang akademik yang logik nan bergengsi.
Paling umum, ada tiga pokok gagasan ecoshopy yakni kearifan menata alam, pandangan hidup, serta teori normatif. Dengan bingkai yang berbeda, kampanye menjaga alam dipaparkan secara runtut, rasional, konsekuen multi aspek dan perspektif. Jawa hanya dengan cerita mitos yang dilantunkan berulang. Tak banyak menuntun tetek bengek penjelasan. Jika bertanya mengapa? Cukup sumaur “awit simbahe dewe biyen, wis kaya ngunu!”
Menyadari tumbuhnya generasi penuh tanya dan suka mengamati referensi di media, alangkah baiknya mitos itu juga dipertukarkan. Mitos yang abstrak sekadar keyakinan, jadi mitos yang bermuatan ilmu pengetahuan dan terlihat absolut. Zaman modern menuntut kejelasan dari mitos, yang lebih absolut. Perlu tetek bengek, butuhminum asupansusu rasional.
Kita bisa lihat sikap sopan santun Seh Amongraga, Jamal-Jamil dan Angganala di beragam sumber air. Itu adalah ecoshopy. Kebiasaan masyarakat Jawa yang tercatat dalam Serat Centhini, jauh sebelum Felix Guattari dan Arne Naes mempopulerkan filsafat keselarasan alam dan manusia, pada paruh kedua abad XX, tahun 1970-an. Cerita mitos mara bumi Telaga Ngbel dan widadari Suralaya yang kini bertukar nama jadi NyaiAmbarwati,dapat kita tukar sebagai pengetahuan mitigasi lewat cerita doktriner. Demikian juga cerita angger-angger keselarasanmanusia yang satmata, yang sering kita jumpai di pundhen, atau tempat sakral.
Kita harus memulai memperbincangan lokalitas dengan perspektif kiwari. Bahwa genetik mitos tentang alam bagi masyarakat Jawa adalah genetik penanggulangan krisis iklim jangka panjang. Demi lokalitas tetap terwariskan dan tak dipandang tertinggal
Berpihak pada nilai tradisi bukan berarti tidur di kasur tua yang romantik. Yang kata W.S. Rendra dalam buku Mempertimbangkan Tradis (Rendra, 2019) bermalas-malasa menempuh gaya hidup cendawan. Katanya lagi, tradisi Jawa yang sangat kaya, masyarakatnya tidak bisa bergaul baik dengan tradisi itu. Hanya jadi benalu tradisi. Akibatnya, tradisi Jawa menjadi pohon yang meranggas.
Tradisi atau budaya itu bertumbuh seiring teknologi yang kian canggih. Kemudahan teknologi juga membentuk kebiasaan dan adat istiadat manusia. Ruang terbuka tanpa batas itu juga mempengaruhi identitas lahir. Manusia berpotensi punya identitas ganda, id-entitas dunia nyata dan maya. Sementara ini kita, menyebutnya alter ego. Bermuka ganda.
Mitos dipertukarkan karena itu. Karena referensi pengetahuan semakin terbuka yang menyebabkan budaya lokal tak begitu dipercaya. Mitos atau pengetahuan lokal harus mencoba menggandakan makna. Yakni lapis makna budaya dalam arti keyakinan, dan makna ilmu pengetahuan yangber-eksak ria.
Tradisi atau budaya lokal bukan sesuatu yang absolut dan bermakna tunggal. Melihat tradisi tak melulu vertikal, hanya mencari mana yang paling antik. Namun juga harus horizontal, mengontekstualkan dengan kondisi zaman. Syukur, kalau ada niatan mewujudkan kebudayaan yang berkelanjut.
Soal tradisi dan budaya yang dinamis, W.S. Rendra yang pernah berpesan; tradisi yang tak mampu berkembang adalah tradisi yang menyalahi fitrah hidup. Fanatisme yang menghalangi perkembangan tradisi adalah sikap yang menghalangi hidup dan memihak kepada kematian. W. S Rendra sungguh jejeg bersiasat membela harkat martabak kebudayaan lokal.
Upaya penyadaran keselarasan alam dan manusia yang urgen. bisa diambil dengan langkah penyesuaian pengetahuan lokal. Yang lokal disapa agar tak terlalu berdebu. Seperti kabar dari Ari Rudenko dalam diskusi Tilik Sarira (29 Januari 2024) tentang forum ISPA (International Society of Performing Art).
Mahasiswa S3 ISI Surakarta dari Amerika yang gemar menghidupkan dinosaurus dalam pertunjukan teaternya, mengabarkan arah perbincangan dari New York. Tradisi dipakai untuk bersuara masalah krisis iklim, sekaligus merangkai dengan dinamika politik international, yang semakin terpecah-belah. Para seniman, presenter, kurator, produser dan pihak-pihak berpengaruh di dunia ikut sumbangsih dalam penyadaran keselarasan alam dan manusia.
Lokalitas dilibatkan dalam perbincangan kiwari. Jadi, mitos mana lagi yang bisa dipertukarkan? [NI]
Daftar Pustaka
Armstrong, K. (2023). Sacred Nature Bagaimanan Memulihkan Keakraban dengan Alam. PT Mizan Pustaka.
Rendra, W. S. (2019). Mempertimbangkan Tradisi. PT. Dunia Pustaka Jaya.