Resta Gloria (Mahasiswa IAKN Toraja)
Salah satu istilah yang sering didengar dan tidak asing lagi bagi telinga ialah tradisi. Jika dilihat dari akar kata (etimologi), tradisi merujuk pada suatu adat atau kebiasaan yang dilakukan sejak nenek moyang, atau suatu peraturan yang dilakukan masyarakat.
Menurut Pramesti (2019, 1), kata tradisi diambil dari kata “trader” yang berarti “mengalihkan, menyampaikan, dan juga menyerahkan untuk diteruskan.” Menurutnya, ada beberapa pandangan tokoh mengenai arti dari tradisi. Pertama, menurut Esten yang berpendapat bahwa tradisi merupakan kebiasaan turun-temurun oleh sekelompok masyarakat sesuai dengan nilai masyarakat yang bersangkutan. Pendapat kedua dari Soerjono yang mengatakan tradisi adalah tindakan yang dilaksanakan secara turun-temurun di dalam bentuk yang sama.
Dalam perjalanannya, tradisi dipahami sebagai adat-istiadat yang dilakukan turun-temurun yang berasal dari nenek moyang dan masih terus dilakukan masyarakat sebagai sebuah kebiasaan. Ada hal paling mendasar dari tradisi, yakni keberadaan suatu informasi yang diturunkan dari generasi ke generasi dan informasi ini dapat disampaikan secara tertulis maupun secara langsung (lisan). Tanpa adanya informasi ini, sebuah tradisi akan punah. Tradisi dalam masyarakat dilakukan untuk memperkaya hidup manusia dengan budaya dan juga nilai-nilai bersejarah. Tradisi juga akan menciptakan keharmonisan hidup dalam sebuah kelompok masyarakat jika tradisi itu dihormati dan dijalankan dengan baik sesuai aturan (Pramesti 2019).
Dengan demikian, tradisi adalah sebuah kebiasaan dalam suatu kelompok masyarakat yang dilakukan turun-temurun sejak dari nenek moyang sampai kepada generasi-generasinya. Ada nilai yang terkandung dalam sebuah tradisi yang harus dihargai oleh semua orang agar tradisi tersebut tidak punah. Hadirnya tradisi di tengah-tengah masyarakat akan menciptakan sebuah nilai yang tidak akan pernah hilang dari kelompok masyarakat yang melakukannya. Tradisi pun menjadi sebuah identitas yang tidak boleh hilang dari sebuah masyarakat.
Tradisi Mebaba’ di Mamasa
Mebaba’ merupakan suatu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Mamasa sebagai bagian dari pesta atau acara kematian yang dikenal dengan Rambu Solo’. Mebaba’ ini adalah pemotongan hewan kurban berupa kerbau ataupun babi yang berasal dari keluarga, kerabat maupun dari orang-orang yang turut membantu keluarga yang sedang berduka. Jumlah dari hewan yang disembelih pun bervariasi, biasanya tergantung dari kemampuan keluarga yang bersangkutan.
Daging dari hewan yang disembelih dalam tradisi Mebaba’ kemudian dipakai sebagai lauk selama acara Rambu Solo’ berlangsung. Jika jumlah hewan yang disembelih dalam tradisi Mebaba’ ini cukup banyak, biasanya daging dari hewan kurban ini akan dibagi-bagikan baik untuk keluarga maupun kepada orang-orang yang hadir ketika Mebaba’ ini dilakukan.
Mebaba’ biasanya dilaksanakan saat jenasah sudah dimakamkan. Namun, ada juga yang melaksanakan tradisi Mebaba’ ini sebelum jenasah itu dibawa ke kuburan untuk dimakamkan. Jika keluarga yang bersangkutan berasal dari latar belakang orang yang dianggap berkecukupan atau mempunyai status sosial tinggi (kaya), biasanya Mebaba’ ini dilaksanakan setiap hari selama acara Rambu Solo’ berlangsung.
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah penyembelihan hewan kurban berupa kerbau. Untuk penyembelihan babi, maka baik dari keluarga yang mampu ataupun keluarga yang kurang mampu, juga biasanya dilaksanakan setiap hari selama acara Rambu Solo’ berlangsung karena digunakan sebagai lauk selama acara Rambu Solo’ ini dilaksanakan oleh keluarga.
Mebaba’ dalam Pandangan Kepercayaan Agama Mappurondo di Mamasa
Di beberapa wilayah Mamasa masih ada sebagian orang yang menganut agama yang dikenal dengan nama agama Mappurondo. Mappurondo ini adalah sebuah kepercayaan yang diyakini dan diwarisi oleh nenek moyang. Untuk lebih memahami mengenai agama Mappurondo ini, di beberapa tempat contohnya juga di Toraja, orang-orang biasanya menyebutnya dengan sebutan “Aluk Todolo” atau kepercayaan orang dulu.
Dalam perjalanannya, agama Mappurondo di Mamasa memiliki banyak pemahaman yang berbeda dengan pemahaman agama lain misalnya agama Kristen dalam menafsirkan sesuatu, termasuk dalam memaknai tradisi Mebaba’ ini. Mebaba’ dalam pandangan agama Mappurondo, tidak hanya dimaknai sebagai proses penyembelihan hewan melainkan meyakini bahwa hewan-hewan yang disembelih dan dikurbankan tersebut turut mengantarkan orang yang telah meninggal.
Bagi agama Mappurondo yang ada di Mamasa, keberadaan hewan kurban khususnya kerbau untuk disembelih dalam acara Rambu Solo’ adalah suatu keharusan. Bukan sekedar untuk dijadikan lauk melainkan sebagai kurban yang akan turut ikut dan mengantarkan orang yang telah meninggal tersebut. Jadi, bagi penganut agama Mappurondo atau Aluk Todolo, tradisi Mebaba’ ini merupakan suatu hal yang sangat penting dan tidak boleh untuk tidak dilaksanakan.
Mebaba’ dalam Pandangan Orang Kristen di Mamasa
Mamasa terkenal sebagai wilayah yang mempunyai penduduk mayoritas Kristen. Namun, orang-orang Kristen di Mamasa pun tetap mengikuti tradisi-tradisi yang ada dan sudah dilaksanakan turun-temurun.
Akan tetapi, ada beberapa nilai yang terdapat dalam sebuah tradisi atau budaya yang dilihat sebagai hal yang kurang sesuai dengan pandangan Kekristenan. Bukan hanya terjadi di kalangan masyarakat Mamasa, hal ini sudah umum terjadi dimana ditemukan beberapa nilai ataupun makna yang terkandung dalam sebuah budaya yang kemudian bertolak belakang dengan nilai-nilai dalam Kekristenan.
Untuk persoalan tradisi Mebaba’ di Mamasa, orang-orang Kristen di sana melihatnya hanya sebagai suatu proses penyembelihan hewan berupa kerbau dan babi. Penyembelihan hewan-hewan tersebut dilakukan agar daging dari hewan yang dikurbankan dapat digunakan sebagai lauk yang dapat dihidangkan bagi keluarga dan juga orang-orang yang datang dalam acara Rambu Solo’ tersebut.
Berbeda dengan pemahaman agama Mappurondo yang dijelaskan sebelumnya, agama Kristen tidak memaknai bahwa hewan-hewan yang dikurbankan dalam tradisi Mebaba’ ini ikut serta dan menemani orang yang telah meninggal menuju ke alam baka.
Secara umum, orang Kristen meyakini bahwa barang siapa percaya kepada-Nya pastilah diselamatkan, sehingga orang mati tidak mempunyai urusan lagi dengan orang yang masih hidup maupun dengan benda-benda atau sesuatu yang diberikan pada saat upacara kematiannya.
Masing-masing orang percaya menjaga keselamatan yang telah diberikan oleh Allah selama manusia itu hidup sehingga ketika seseorang telah mati, ia tidak perlu mendapat bantuan dari orang yang masih hidup atau dari benda apapun yang akan mengantarkannya sampai kepada Allah.
Selain itu, dalam pandangan orang Kristen, ada atau tidaknya hewan yang dikurbankan dalam acara Rambu Solo’ bukanlah persoalan yang penting. Acara Rambu Solo’ itu akan tetap dilaksanakan walau tanpa penyembelihan hewan sebagai kurban. Yang terpenting adalah pelayanan dan juga ibadah yang dilaksanakan bersama sehingga keluarga juga setiap orang yang sedang berduka saat itu dapat dihiburkan dan diberi pengharapan dalam menghadapi pergumulan atas kematian tersebut.
Walau demikian, faktanya di Mamasa sangat jarang bahkan mungkin tidak ada acara Rambu Solo’ tanpa penyembelihan hewan. Rata-rata bahkan hampir semua acara Rambu Solo’ yang ada di Mamasa melakukan penyembelihan hewan berupa babi. Untuk penyembelihan kerbau, tergantung kemampuan dari pihak keluarga mengingat harga kerbau yang terbilang masih tinggi khususnya di Mamasa sehingga penyembelihan kerbau dalam acara Rambu Solo’ belum semuanya mampu untuk itu. Namun, bagi pemahaman orang Kristen, ini bukanlah yang utama.
Dari tradisi Mebaba’ yang ada di Mamasa ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan pemahaman terhadap suatu tradisi bukanlah alasan bagi suatu masyarakat untuk terpecah dan tidak saling menghormati satu dengan yang lainnya. Sebaliknya, perbedaan membuat masyarakat semakin kuat dan kokoh dalam kebersamaan menikmati warisan leluhur yang terus mereka pelihara. Perbedaan membuat kehidupan saling memperlengkapi satu dengan lainnya sebagai wujud dari penghayatan masyarakat beragama dan berbudaya.
Referensi
Pramesti, dan Ida A. N. Dasih, G. A. R. Komunikasi Budaya dalam Tradisi Tatebahan di Desa Bugbug Kecamatan Karangasem Kabupaten Karangasem. Bali: Nilacakra, 2019.