Oleh: Theofilus Welem (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga)
Toraja merupakan salah satu daerah yang berada di kawasan Provinsi Sulawesi Selatan yang banyak memiliki keunikan dan menarik untuk diteliti dan dipelajari termasuk tradisi ritual. Setiap ritual yang ada di Toraja dan dilakukan oleh masyarakat selalu memiliki sistem serta pemaknaannya sendiri. Salah satu ritual yang terkenal adalah upacara kematian atau rambu solo, selain rambu tuka’ yang memiliki beberapa tatanan ataupun tingkatan pelaksanaan.
Ritual rambu solo’ merupakan salah satu warisan ritual yang diturunkan dari kepercayaan nenek moyang orang Toraja yang dikenal dengan sebutan Aluk Todolo (aluk= aturan, todolo=leluhur) dengan memegang aturan yang termuat dalam aluk sanda pitunna (aturan 77777) (Tangdilintin, 1981). Meskipun disebut sebagai ritual kematian akan tetapi pelaksanaannya begitu meriah dengan menampilkan berbagai atraksi budaya.
Setiap segi budaya maupun tradisi dalam masyarakat Toraja tidak pernah terpisahkan dan selalu terhubung dengan manusia, hewan maupun tumbuhan. Semua tradisi maupun budaya yang ada selalu memiliki nilai maupun makna sosial, misitis, maupun religius. Tradisi atau budaya masyarakat Toraja terkadang tertuang maknanya melalui simbol-simbol. Jikalau selama ini kebanyakan orang mengetahui proses pemakaman (rambu solo’) di daerah Toraja dengan membawa dan memasukan mayat ke suatu kuburan batu atau juga Patane (Liang kubur) akan tetapi ada satu tradisi yang digunakan sebagai tempat untuk memasukan mayat.
Tempat tersebut dikenal dengan passiliran, yaitu sebuah pohon besar yang digunakan khusus sebagai tempat untuk memakamkan bayi yang baru lahir. Pohon ini tidak hanya semata-mata sebagai lokasi pemakaman akan tetapi di dalamnya terdapat nilai serta makna yang begitu mendalam. Oleh sebab itu akan dijelaskan nilai serta makna mendalam dari pohon passiliran. Saat ini Passilian sangat jarang ditemukan dan bahkan ada yang telah dijadikan sebagai lokasi obyek wisata dengan sebutan Baby Grave.
Pemahaman Serta Cakupan Simbol
Kata simbol berasal dari bahasa Yunani “symbollein” dimana kata ini memiliki arti mencocokan. Simbol diakui banyak menghubungkan dua entitas dimana kedua identitas tersebut disebut sebagai symbola. Kata tersebut kemudian lambat laun memiliki arti tanda pengenalan, dalam suatu pengertian yang lebih luas, untuk anggota-anggota sebuah masyarakat rahasia atau minoritas yang dikejar-kejar.
Sebuah simbol pada mulanya merupakan sebuah tanda, benda, atau sebuah kata yang digunakan untuk saling mengenali. Simbol bertujuan untuk menghubungkan serta menggabungkan. Dalam pengertian symbollein, simbol dapat menggambarkan ataupun mengingatkan atau menunjukkan kepada apa yang disimbolkan tersebut (F.W. Dillistone, 2006). Simbol-simbol merupakan kunci yang memungkinkan kita untuk membuka pintu yang menutupi perasaan ketidaksadaraan serta kepercayaan kita melalui penelitian yang mendalam (Yohana & Saifulloh, 2019).
Simbol memiliki peranan yang sangat penting dalam urusan-urusan manusia, dimana manusia menata realitas kehidupannya dengan simbol-simbol dan bahkan mengkonstruksi realitasnya dengan simbol (Firth, 2011).
Simbol-simbol ini dapat berupa kata, objek, hal, aksi, peristiwa, pola, orang, yang dapat menghadirkan, menyarankan, menandakan, menyingkapkan, mengkomunikasikan, mendatangkan, mengungkapkan, mengenangkan, mengarahkan, menunjukkan, menghubungkan, mengaitkan, nilai, prestasi, keyakinan, komunitas, konsep, institusi, keadaan.
Passiliran: Simbol Mistis dan Feminis bagi Masyarakat Toraja
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sesungguhnya ritual kematian di Toraja memiliki tingkatan tersendiri dan setiap tingkatan tersebut memiliki aturan serta proses yang akhirnya dijalankan atau dilakukan oleh manusia Toraja. Salah satu tingkatan ritual kematian ini juga berhubungan dengan ritual kematian dan pemakaman bayi. Orang Toraja mengenal tingkatan ini dengan sebutan Upacara Di Silli’.
Di Toraja terdapat salah satu pohon yang digunakan sebagai tempat melaksanakan tradisi ritual pemakaman dan pohon ini dikenal dalam masyarakat Toraja dengan sebutan Passiliran. Passiliran merupakan tempat yang digunakan oleh para penganut Aluk Todolo untuk memakamkan bayi-bayi yang baru saja lahir.
Ciri dari passiliran ialah suatu pohon besar yang dipenuhi dengan tambalan-tambalan (Nattye, 2021) karena pada dasarnya pohon yang akan ditempati untuk memakamkan bayi tersebut akan dilubangi dan ditutupi dengan ijuk sehingga itu terdapat tambalan-tamabalan yang dapat dilihat disetiap sisih pohon. Setiap lubang yang ditembal selalu menghadap kea rah rumah dari keluarga bayi yang telah meninggal.
Passiliran bagi Aluk Todolo merupakan suatu pohon yang digunakan para pemimpin kepercayaan yaitu Tominaa akan menyampaikan atau membawa persembahan di bawah pohon tersebut. Micea Eliade menjelaskan bahwa ritual atau pemujaan yang diberikan kepada pohon berasal dari perasaan manusia yang dalam, yang timbul dari simbolisme pohon. Karena pohon sebagai jembatan antara realitas spiritual yang tak terlihat dan realitas indrawi yang kasat mata.
Pohon merupakan simbol yang sempurna karena menyatukan semua tingkat realitas. Pohon menghubungkan langit dan bumi, materi dan roh, alam sadar dan alam bawa sadar, kenyataan serta mimpi (Eliade, 1957). Aluk Todolo memaknai secara mistis bahwa roh bayi yang masih suci dan bersih serta belum terkotori oleh kejahatan duniawi akan kembali lagi ke rahim ibunya melalui pohon Passiliran.
Paul Tillich mengatakan bahwa karakteristik suatu simbol itu figurative (memiliki kiasan), selalu menunjuk pada sesuatu yang melampaui dirinya sendiri, sesuatu yang tingkatannya lebih tinggi. Simbol memiliki suatu fungsi tidak dapat digantikan dengan sengaja maupun dengan sembarang. Â Kedudukan serta tindakan simbol merupakan penghubung baik antara manusia kosmis dan komunikasi lahir-batin (Tillich, 1964).
Pohon yang kebanyakan digunakan sebagai passiliran untuk tempat pemakaman bayi juga memiliki makna feminis, salah satu pohon tersebut ialah pohon Tarra. Pohon ini merupakan salah satu pohon yang memiliki getah segar seperti air susu. Aluk Todolo memahami bahwa getah putih dan segar yang keluar dari pohon yang digunakan sebagai tempat pemakaman akan menjadi asupan bagi bayi-bayi yang ada di dalamnya.
Carl G. Jung mengatakan bahwa pohon merupakan suatu simbol yang melambangkan diri manusia (androgini), melambangkan gender serta individualisasi, yang menunjukkan pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminim.
Begitulah yang dapat dilihat serta dimaknai dari Passiliran sebagai simbol seorang ibu yang memberi hidup bagi bayi-bayi melalui air susunya. Selain itu, passiliran juga merupakan metafora rahim seorang ibu yang memberi hidup, mengandung serta memberi makan karena seperti dikatakan sebelumnya bahwa passiliran akan menjaga dan membawa roh bayi untuk kembali ke dalam rahim ibunya.
Daftar Pustaka
Dillistone, F. W. (2006). Daya Kekuatan Simbol: The Power Of Symbol. Kanisius.
Eliade, M. (1957). The Sacred and The Profane: The Nature of Religion. A Harvest Book.
Firth, R. (2011). Symbols: Public and Private. Routledge.
Nattye, P. (2021). Toraja: Ada Apa Dengan Kematian? (B. Tallulembang (ed.)). Gunung Sopai.
Tangdilintin, L. T. (1981). Toraja dan Kebudayaannya. Yayasan Lepongan Bulan.
Tillich, P. (1964). Theology of Culture. Oxford University Press.
Yohana, A., & Saifulloh, M. (2019). Interaksi Simbolik Dalam Membangun Komunikasi Antara Atasan Dan Bawahan Di Perusahaan. WACANA: Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi, 18 (1), 122–130. https://journal.moestopo.ac.id/index.php/wacana/article/view/720/464