Oleh: Aris Setiawan (pengajar etnomusikologi di ISI Surakarta)
Polemik penggunaan pengeras suara di masjid kembali mencuat. Rumah seorang warga di Tangerang digeruduk warga gara-gara ia memprotes suara toa masjid yang dianggapnya terlalu keras (19/5/21). Sebelumnya, artis Zaskia Adya Mecca juga melayangkan protes cara membangunkan sahur disertai teriakan melalui pengeras suara toa masjid. Hal itu dianggap dapat mengganggu kenyamanan masyarakat, terutama yang tidak puasa dan beragama non-muslim.
Sahur dan azan dikumandangkan tidak saja dalam ikhtiar religius, tapi juga berhubungan dengan persoalan bunyi dan suara. Di bulan Ramadhan, kita seringkali menjumpai aktivitas membangunkan orang untuk sahur lewat pengeras suara masjid dengan keras, menjerit, bahkan gaduh atau bising.
Sebenarnya, Kementerian Agama telah mengeluarkan Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara Masjid, Langgar dan Musala. Suara yang dikeluarkan hendaknya memperhatikan lingkungan sekitar, dengan volume yang tidak menimbulkan bising dan berdengung sehingga dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid.
Sementara khusus suara azan, instruksi itu juga disebutkan bahwa muazin hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, syahdu, enak, serta tidak cempreng, sumbang dan terlalu kecil. Hal ini agar mampu memunculkan rasa simpati bagi yang mendengar.
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam artikelnya yang berjudul Islam Kaset dan Kebisingannya di Tempo 20 Februari 1982 memandang bahwa azan, bacaan Alquran, tarhim, sahur dan sederet pengumuman yang disampaikan melalui corong pengeras suara masjid semata muncul dari keinginan untuk menginsafkan kaum muslim agar berperilaku keagamaan lebih baik. Jauh dari ambisi untuk menganggu apalagi membuat kegaduhan di tengah kenyamanan hidup bermasyarakat.
Jika memang suara lantang tersebut tidak dapat diterima sebagai kebajikan (amar ma’ruf), bukankah minimal ia berfungsi mencegah kesalahan (nahi munkar) karena suara itu menggugah dan otomatis menyadarkan bahwa waktu sahur (ditandai bangun dari tidur) atau salat telah tiba. Namun, bagi Gus Dur, ada yang luput untuk dilihat bahwa bunyi itu tak semata diterima oleh telinga kaum muslim. Tapi seluruh manusia yang ada di sekitar lingkungan masjid. Adakalanya, mereka merasa terganggu kepulasan tidur, bukankah yang demikian juga akan berpotensi menjadi dosa?
Bunyi Kultural
Suara-suara yang dikeluarkan lewat pengeras suara masjid selama ini telah menjadi soundscape (bunyi lingkungan) yang sudah jamak kita temui. Kebisingan yang ditimbulkannya telah menjadi “peristiwa biasa” dalam konstruksi kebudayaan masyarakat Indonesia.
Anderson Sutton dalam dalam artikelnya, “Interpreting Electronic Sound Technology in the Contemporary Javanese Soundscape” pernah mengindikasikan jika masyarakat Indonesia seringkali menggambarkan citra diri dan eksistensinya lewat bising, riuh dan gaduh. Selain pengeras suara masjid, sebutlah misalnya hajatan di kampung-kampung, senantiasa menggunakan banyak pengeras suara dengan volume sangat keras. Kaca-kaca cendela di sekitarnya bergetar, jantung terasa berdegub lebih kencang. Sebisa mungkin rambatan suara itu dapat didengar dari radius terjauh, sehingga persepsi yang dibangun (lewat bunyi) bahwa pesta dan peristiwa itu berjalan meriah, megah, ramai dan sukses.
Suara atau bunyi itu sekaligus sebagai tanda “undangan” bagi masyarakat sekitar untuk datang, melihat dan menikmati acara yang ada. Kegaduhan bunyi, biasanya lewat pemutaran audio musik dangdut, bahkan sudah dibunyikan beberapa hari sebelum hajatan dimulai. Hal semacam ini hampir dapat dijumpai di hampir semua wilayah di Indonesia dan sudah menjadi kebiasaan yang jamak.
Atau lihat pula konvoi sepeda motor kala musim kampanye dan kelulusan sekolah tiba. Bunyi knalpot yang digeber sedemikian keras mencoba berkisah tentang eksistensi dan arogansi diri. Semakin gaduh dianggap semakin berhasil dan ditakuti, walau tak jarang menyakiti telinga masyarakat pengguna jalan lain. Bunyi dalam hal ini berupaya menjadi teror.
Sementara jika kita pergi ke kampung-kampung di pedalaman Jawa Timur, setiap hari kita akan disuguhi pemandangan suara azan dari masjid-masjid yang ada. Jarak masjid yang relatif dekat menjadikan suara azan saling bersahutan, keras dan gaduh. Namun uniknya, masyarakat setempat seolah menikmati pemandangan suara itu, sudah menjadi peristiwa yang dianggap biasa karena berlangsung intens dan hampir setiap hari.
Pendapat Anderson Sutton itu mengukuhkan jika pada satu waktu keramaian, bising dan gaduh menjadi bagian integral dalam pembentukan identitas kebudayaan. Tidak sedikit yang berpendapat suara gaduh kala membangunkan sahur justru mencerminkan wajah Islam ala Indonesia.
Aspek Kebudayaan
Di beberapa kasus, bahkan kebisingan itu dirindukan. Lihatlah kemudian kita seringkali menghidupkan televisi atau radio dengan suara keras, sementara telinga kita tidak secara fokus menikmatinya, bisa sambil mencuci, masak, membersihkan rumah dan lain-lain. Artinya, bunyi itu sengaja dihadirkan tidak untuk dihayati, namun sekadar ada guna menemani telinga, karena sepi dan sunyi bagi orang Indonesia adalah hal aneh dan asing.
Dalam konteks seni pertunjukan di Indonesia, keramaian dan kegaduhan bunyi juga dikonstruksi atau sengaja dibentuk untuk menambah citra diri sebagai pesta yang meriah. Lihatlah Sape Sono di Madura, Ngarot di Indramayu, Sekaten di Solo, Gordang Sembilan di Mandailing. Akan aneh rasanya jika menikmati Sekaten tanpa ada kegaduhan dan bising pasar malam, suara musik dangdut, bunyi mainan anak-anak, dan lain sebagainya. Atau melihat Sape Sono tanpa keriuhan bunyi saronen yang bertalu-talu memekakkan telinga. Dengan demikian, sejatinya budaya bising sudah menjadi “makanan” sehari-hari bagi masyarakat Indonesia.
Akan tetapi, kritik terhadap volume pengeras suara masjid sebenarnya bisa menjadi awal dan momentum yang baik untuk kembali mengoreksi dan mengatur polusi suara yang selama ini ada di sekitar kita. Serta dibutuhkan tinjauan yang jelas seberapa jauh bising pengeras suara masjid telah dianggap mengganggu?
Walaupun tidak sedikit masyarakat yang menganggap kebisingan itu sebagai soundmark (simbol suara), menempatkan masjid bukan semata tempat ibadah, namun juga menjadi penanda sekaligus eksistensi dari warna dan karakter Islam ala Indonesia. Oleh karena itu, merumuskan kebisingan di sekitar kita tak cukup dengan hanya dilihat dalam aspek “polusi suara” namun juga kebudayaan. [NI]
Maaf kepala saya sering pusing setelah mendengar toa tiap hari dimana mana, pagi siang sore malam. Terkadang ibu2 pengajian pake toa kenceng. Saya muslim tp tidak simpatik sama sekali dengan ajaran bising ini.