Frengki Nur Fariya Pratama (mahasiswa magister Universitas Diponegoro dan salah satu peraih Nusantara Academic Writing Award 2023)
Diwiwiti wiwitan sega gurih jangan gori/ Iwak ingkung dibuntel ron jati nenuwun sejati/ Dewi Sri dipapag disuwuni berkah/ Gemah ripah loh jinawi/ Sesaji uba rampe dicawiske/ Ben rega gabah mundhak//
(Paksi Band-Panen Raya)
Padi dan welas asih Dewi Sri memang lekat dalam imajinasi masyarakat Jawa. Tak heran, lantunan harap kepada ibu bumi (Dewi Sri) sebagai penopang kehidupan selalu melangit. Layaknya penghormatan anak kepada ibunya, welas asih itu diwujudkan dengan beragam ritus kultural prosesi panen padi.
Terasa kurang jika harapan doa atau ujub masyarakat Jawa berbentuk materil. Berupa seperangkat simbol-didaktis yakni ubarampe atau sesaji ritus panen padi. Bentuk semiotis dari manifestasi rasa hormat, syukur, dan harap yang berusaha dimunculkan. Memang satmata. Namun keberadaannya begitu melekat dengan kultur masyarakat Jawa.
Frans Magnis Suseno menyebutnya sebagai numinus. Sebuah etika satmata yang disandarkan pada “cahaya” adikodrati pemersatu manusia dan alam (Suseno SJ, 1984, pp. 85–86). Kesadaran masyarakat Jawa prihal keberadaan semesta lain (mikro dan makro kosmos) yang harus selaras. Hubungan yang bukan sekadar eksploitatif namun timbal-balik. Sama-sama menghormati untuk saling menerima dan memberi. Layaknya hubungan ibu dan anak.
Ritus panen padi juga nampak melatari salah satu lagu Paksi Band berjudul Panen Raya. Ritus itu bernama wiwit. Tradisi petani untuk berterimakasih kepada Dewi Sri yang konon dipercaya sebagai sosok dewi kesuburan. Sang penjaga, pemberi pangan, penyebar berkah, bahkan dipercaya bibit-kawit padi ada di bumi. Ibu dari tanaman padi.
Saking sakralnya, banyak ritus kultural lain mengenai proses tanam padi. Mulai dari masa tanam hingga padi masuk lumbung semuanya disambut dengan seremoni-kultural. Dimulai saat petani membajak sawah, petani dilakukan upacara bedhah-bumi (Suyami; Nurhajari, 1998, p. 109). Lalu, petani pun mulai menanam bibit padi di petak sawah yang telah dibajak. Saat akan menanam itupun ada slametan wiwit tandur (ibid).
Petani pun mulai merawat padi hingga tumbuh besar. Memastikan pengairan sawahnya cukup, memberi pupuk, menyingkirkan rumput liar di sela tanaman padi, memastikan dari wereng atau hama sejenisnya, hingga muncul biji hijau padi. Tibalah masa petani menunggu biji padi hingga menguning dengan sabar. Masa tunggu panen dengan pasrah meskipun sedikit gelisah.
Saat biji padi telah kuning keemasan, petani mulai mewaspadai burung-burung kecil yang acap kali ikut mencicipi jerih payah petani. Jika tak berlebih, pastinya petani tak risau. Sebab, berbagi rezeki adalah sebuah keharusan antar makhluk hidup. Ketertarikan burung-burung kecil itu sekaligus menandakan padi akan siap panen. Sebelum tiba waktu panen, tak lupa petani melakukan upacara wiwit atau methik (ibid).
Upacara methik ini dilakukan dua kali. Pertama, ada upacara yang dilakukan petang hari disebut upacara mbundheli. Bundheli adalah prosesi mengikat atau mengelompokan batang padi yang esok hari akan dipanen. Ada pula upacara nylamper yakni pemetikan padi pengantin atau penyisihan bakal bibit padi yang akan digunakan pada masa tanam berikutnya. Bakal bibit padi yang berbatang diklabang (kepang) tiga seperti rambut seorang anak gadis.
Kemudian, hasil panen padi pun dibawa ke lumbung. Sebelum masuk lumbung, petani pun melakukan upacara munggah lumbung. Yakni proses disimpannya hasil keringat petani menggarap sawah (ibid, 111). Lalu, Padi pengantin dalam prosesi nylamper sebagai bakal bibit dimasukan ke senthong tengah atau pasren/patanen. Padi pengantin itu diibarat sepasang pengantin yakni Dewi Sri dan Raden Sadana yang melekat dengan mitologi padi.
Banyak versi cerita mitos terkait Dewi Sri dan Raden Sadana. Dalam lain versi, cerita Sri-Sadana yang bertekan ingin menjadi Dewa-Dewi mereka diharuskan untuk lelaku kesengsaraan. Dewi Sri diubah menjadi ular Sawah sedangkan Raden Sadana menjadi burung sriti (Suwondo, 1998, pp. 69–70). Dua hewan rantai ekosistem sawah yang membantu melindungi hama.
Setelah semua proses terkait tanam-menaman padi selesai, upacara terakhir adalah bersih desa. Ritus seremonial agak besar yang melibatkan seluruh masyarakat desa beserta sesepuh desa. Ritus ini berkenaan dengan wujud terimakasih kepada dhanyangan yang menjaga desa.
Cerita mitos Dewi Sri yang sangat melekat kuat dan mendasari beragam ritus pertanian itu memang banyak tertulis dalam manuskrip. Ada Serat Cariyor Dewi Sri, Serat Manikmaya, Serat Pustakaraja Budhawaka, serat Sejarah Ageng Nungsa Jewi, Serat Sejarah wiwit Nabi Adam lan Babu Kawa Tumurun Ing Ngarcapada, dan beragam mitos di dalam maupun luar pulau Jawa. Namun, apakah romantisme padi dengan Dewi Sri itu masih menjadi prioritas pikiran petani?
Lagu Panen Raya nyentil paradok kehidupan petani zaman kiwari. Sawahe jembar-jembar/ parine lemu-lemu/ petani tuwa-tuwa// Lirik itu memuat paradoksal mengenai luasanya sawah yang hanya dikelola petani lanjut usia. Terlihat regenerasi tidak berjalan baik.
Sentilan nasib hasil panen pun diungkapkan. Kegembiraan petani memetik hasil tanamnya harus patah berkeping. Pasalnya, harga padi hasil panen anjlok akibat permainan tengkulak. Neng mbulak petani sorak-sorak/ Jebulane diglathaki tengkulak/ Rega gabah ora sida mundhak//
Hanya itu? Tidak. Permasalahan regenerasi petani dan permainan tengkulak dalam lagu digambarkan lebih mirisdengan datangnya beras kulak dari manca (beras import). Sungguh komplit cerita nasib petani yang ditampil dalam lagu Panen Raya-Paksi Band.
Dewi Sri dan ritus kultural memang sengaja dipaparkan sedari awal untuk mengingatkan sekaligus mengkritisi kejadian kiwari nasib petani. Gaung kekayaan budaya Indonesia, apalagi budaya pangan yang sering dikampanyekan dalam jargon terasa paradoksal. Dewi Sri sebagai alam numinus lama-kelamaan hengkang dari benak. Tergilas tekanan demi tekanan yang aduhai menggemaskan.
Lalu, kelindan tanya pun bergaung “apakah ritus itu masih dilestarikan?”
Petani pun menjawab “Pangapunten, traktornya kehabisan solar, pompa airnya kehabisan token listrik, pupuknya sedang mahal, dan beras persediakan makan sudah menipis.”
Romantisme Dewi Sri tak mampu lagi membendung keselarasan alam dan manusia, yang tertekan realitas zaman. Pertanda Ibu bumi tak sekramat masa silam.
Daftar Bacaan
Suseno SJ, F. M. (1984). Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Jawa. Gramedia.
Suwondo, T. (1998). Mitos Dewi Sri pada Masyarakat Jawa. Jurnal Kebudayaan, VII(14), 63–76.
Suyami; Nurhajari, D. R. A. R. (1998). Kajian Nilai Budaya Naskah Kuna Cariyos Dewi Sri. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.