Beranda Publikasi Kolom Mencari Harmoni Religius dalam Kultur

Mencari Harmoni Religius dalam Kultur

1222
0
Keterangan foto: Gereja Fajar Hidup, Wailela, Ambon

Stanley Khu (Pengajar antropologi Universitas Diponegoro)

Selama ini, secara umum, diskusi tentang harmoni antar umat beragama hampir selalu berkutat pada dialog antar agama; dengan kata lain, isu harmoni religius dipahami secara internal, dari dalam ranah religius itu sendiri. Dialog semacam ini tentu saja sangat baik dan kondusif, terutama bagi masyarakat majemuk seperti Indonesia. Tapi, kita semua tahu bahwa kemajemukan Indonesia tidak hanya dalam koridor religius belaka, tapi juga mencakupi aspek kultural (baca: multikultural). Kedua hal ini – religi dan kultur – sama-sama berperan dominan dalam perikehidupan individu Indonesia.

Dari sini, barangkali kita bisa bertanya: apakah ada kemungkinan bagi kultur untuk turut berpartisipasi dalam penciptaan serta pemeliharaan harmoni antar umat beragama? Pertanyaan ini mengajak kita untuk membayangkan sebuah peranan yang lebih konstruktif dari kultur, alih-alih fungsinya sebagai peneguh identitas sebagaimana lazimnya dipahami.

Di Indonesia, ada banyak kultur atau tradisi yang faktanya menjalankan fungsi yang diasumsikan sebagai domain eksklusif dialog antar agama. Misalnya, salah satu institusi yang memastikan keberlangsungan harmoni religius orang Ambon adalah pela.

Pela adalahsebuah sistem persekutuan tradisional yang mengikat dua atau lebih desa secara mutual tanpa menghiraukan afiliasi religius tiap desa. Secara historis, sebagian besar pela dibentuk untuk mengakhiri konflik internal di era kolonial (baca: sebagai upaya perlawanan kolektif melawan rezim kolonial), ataupun dalam situasi non-konflik di mana satu pihak mengalami bencana alam dan pihak lain mengulurkan bantuan. Rekan-rekan dalam pela berkewajiban menolong satu sama lain pada masa krisis atau saat salah satu pihak sedang terlibat dalam proyek besar semisal pembangunan sekolah dan rumah ibadah rekannya dari agama lain. Ketika individu memasuki teritori dari rekan pela-nya, dia juga berhak mengambil makanan hasil panen untuk kebutuhan pribadinya (Bräuchler, 2009).

Inilah kiranya yang menuntun Bartels (2010) untuk menyebut sistem pela sebagai ‘agama etnik’ orang Ambon, yang merupakan cara lain untuk menggambarkan signifikansi pela sebagai penyatu unit-unit desa skala kecil yang terdefinisikan secara eksklusif berdasarkan batasan teritorial mereka. Dengan kata lain, menyebut pela sebagai ‘agama etnik’ adalah sama dengan membayangkan sebuah harmoni yang didasarkan pada leluhur yang diklaim bersama (secara komparatif, Konfusianisme dalam kasus orang Cina bisa dibayangkan dengan logika serupa).

Institusi seperti pela semakin terasa urgensinya di zaman modern saat ini. Sebagai sebuah zaman yang terobsesi untuk merasionalisasi agama dan selalu bergidik ngeri tiap kali mendengar istilah-istilah seperti ‘dogma’ dan ‘doktrin’, zaman modern adalah antitesis dari segala yang tradisional, kultural, kuno, dan lampau. Tapi, sebagaimana telah dianalisis secara profetik oleh Weber, modernitas tidak hanya memuluskan organisasi dan manajemen kerja, tapi juga mengurung kita dalam kerangkeng besi yang mencerabut makna dari kehidupan sehari-hari.

Keterasingan yang disebabkan oleh makna-makna hidup yang tercerabut, pada gilirannya, menuntun pada kebangkitan kembali agama, atau lebih tepatnya: fundamentalisme religius. Situasi ini bisa dibaca sebagai cara manusia dalam menanggapi ambivalensi yang inheren dalam modernitas. Terutama dalam kasus Indonesia, kuasa Orde Baru yang selama berdekade-dekade merapalkan mantra ‘pembangunan ekonomi’ telah dengan kentara menunjukkan betapa riskannya upaya mengistimewakan modernitas. Tumbangnya Orde Baru, yang lantas diikuti oleh konflik religius berdarah di daerah seperti Maluku, adalah contoh konkretnya.

Menjelaskan akar konflik dengan jawaban semisal “agama memang penyebab konflik” akan menjadi cara menjawab yang malas dan, terlebih-lebih, ahistoris, karena mengabaikan fakta tentang tiadanya konflik sejenis di masa lalu dan fakta tentang persatuan penduduk Maluku dalam menentang penjajahan bangsa Eropa.

Sebagai tambahan, jawaban semacam ini luput menimbang kemungkinan bahwa konflik religius adalah produk dari modernitas. Jika konflik religius memang merupakan produk, atau minimal, efek samping dari modernitas yang ambivalen, maka jalan keluar dari ambivalensi ini mestilah dicari dalam sesuatu yang berada di luar kondisi ini. Inilah yang persisnya dilakukan oleh kelompok radikal-fundamentalis. Tapi pencarian ini, ironisnya, menunjukkan watak modern dari kelompok yang bersangkutan. Misalnya, obsesi untuk membaktikan diri pada apa yang tekstual – yang berujung pada ancaman penghancuran situs-situs bersejarah semisal makam Nabi atau Candi Borobudur (sesuatu yang faktanya memang pernah diupayakan, meski gagal) – pada dasarnya tidak berbeda dengan ambisi modernitas untuk mempreteli kehidupan dari beban-beban masa lalu.

Bagi kedua kubu, dunia beserta isinya harus bisa, dan wajib, dipahami dengan seobjektif mungkin, tanpa merujuk pada tafsir personal manusia masa lalu yang telah ‘mencemari’ kebenaran dengan subjektivitas keliru mereka. Dengan kata lain, kebenaran diyakini sebagai sesuatu yang bebas atau kebal dari historisitas dan konteks (selaku lawan dari ‘teks’).

Tapi, di sini kita bisa bertanya: objektif menurut siapa? Landasan bagi pertanyaan ini sederhana: objektivitas mustahil eksis tanpa subjek yang berusaha merumuskannya. Memaksakan pemahaman bahwa subjektivitas dan objektivitas adalah dua ranah yang terpisah satu sama lain adalah sama dengan mengabaikan terobosan-terobosan teoritik dari para pemikir kontemporer semisal Bourdieu atau Latour, dan hanya akan membawa kita mundur lagi dari upaya memahami dunia.

Solusi lain bagi pencarian solusi di luar kondisi modernitas adalah mencarinya di ranah tradisi (sering pula disebut adat). Dalam ranah ini, apa yang benar tidaklah ditentukan berdasarkan sebuah abstraksi yang terputus dari perikehidupan manusia; alih-alih, sesuatu adalah benar sebab ia senantiasa berkelindan dalam alur kehidupan sekelompok manusia dari masa ke masa. Dalam konteks ini, kita bisa berargumen bahwa tradisi selalu bercorak etnik: ia dipraktikkan oleh satu kelompok manusia dalam batas-batas geografis-kultural tertentu dan mengandaikan pemahaman kolektif-empatik yang dibagi bersama di antara individu-individu dalam kelompok ini.

Institusi seperti pela jelas tidak berlaku bagi orang non-Ambon, tapi kiranya tidak akan sulit untuk menemukan institusi sejenis dengan nama berbeda dalam kebudayaan lain, di mana, misalnya, seorang Muslim akan membantu rekan Kristennya untuk membangun gereja atau memastikan keberlangsungan upacara religius yang dijalaninya. Dalam konteks yang lebih makro (atau: nasional, di mana nasion/bangsa dibayangkan sebagai suatu etnisitas dalam cakupan pembayangan yang lebih pervasif), institusi semacam ini dikenal di Indonesia sebagai gotong-royong.

Sebagai kesimpulan, kita bisa menyatakan bahwa meski tradisi tidak mengklaim universalitas hukum-hukum alam, tradisi bersifat universal karena bisa ditemukan dalam tiap masyarakat manusia, dan corak universal inilah yang mengandung potensi besar dalam menjawab problema konflik-konflik religius. [NI]

Referensi:

Bartels, Dieter. 2010. “The Evolution of God in the Spice Islands: Converging and Diverging of Protestant Christianity and Islam in the Moluccas During the Colonial and Post-Colonial Periods.” In Susanne Schröter (ed.), Christianity in Indonesia: Perspectives of Power, 225-258. Berlin: LIT Verlag.

Bräuchler, Birgit. 2009. “Cultural Solutions to Religious Conflicts? The Revival of Tradition in the Moluccas, Eastern Indonesia.” Asian Journal of Social Sciences 37 (6): 872-891.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.