Ahmad Zainul Hamdi (Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Kemenag RI)
Ada orang yang menolak 1 Januari sebagai tahun baru. Banyak alasan di belakangnya. Sebagian menganggap bahwa penetapan 1 Januari sebagai tahun baru adalah kesewenang-wenangan bangsa Eropa. Sebagian mau menerima tapi menolak merayakannya. Sebagian bahkan meyakini bahwa tahun baru 1 Januari adalah bid’ah.
Berbagai sikap ini adalah hal biasa. Setiap kalender memiliki sejarah di belakangnya. Pertanian dan ritual adalah alasan paling kuno di balik lahirnya sebuah kalender. Bagi masyarakat kuno yang hidupnya sangat tergantung pada ketersediaan hasil pertanian, ketepatan menandai musim adalah urusan hidup dan mati. Pertanian ini juga terkait dengan praktik ritual kepada dewa atau dewi.
Setiap kebudayaan memiliki sistem kalendernya sendiri. Para sejarawan meyakini bahwa penanggalan telah diciptakan manusia sejak era Neolitikum atau Zaman Batu. Sekalipun demikian, kalender baru ada di Zaman Perunggu 3100 SM. Penduduk Sumeria di Mesopotamia adalah pembuat kalender pertama yang membagi satu tahun ke dalam 1 bulan, yang masing-masing berisi 29 atau 30 hari. Mereka menandai siklus waktu melalui bulan dengan menjadikan bulan purnama sebagai awal bulan. Ratusan tahun kemudian bangsa Mesir, Babilonia dan Romawi membuat sistem kalendernya sendiri.
Kalender Masehi yang yang berpatokan pada matahari sebagaimana yang banyak digunakan saat ini memiliki sejarah panjang. Kalender ini semula ditetapkan oleh Julius Caesar dari Romawi pada tahun 45 SM. Disebut Kalender Julian. Berabad-abad bangsa Eropa menggunakan kalender ini sampai Paus Gregorius XIII mengubahnya di tahun 1582.
Disebut Kalender Gregorian. Ketika masih menggunakan kalender Julian, ribuan tahun orang Eropa menandai awal tahun baru bukan di waktu yang sama sebagaimana yang mereka lakukan saat ini. Mereka memang mengawali tahun baru pada 1 Januari, tapi 1 Januari-nya bukan tepat di 1 Januari sebagaimana saat ini.
Bagaimana ini bisa terjadi?
Semua ini gara-gara Perayaan Paskah. Gereja Katolik sudah menetapkan bahwa Perayaan Paskah jatuh pada 21 Maret, yaitu tepat saat “vernal equinox” yang menandai titik musim semi. Equinox berasal dari bahasa Latin ‘aequus’ yang berarti sama dan ‘nox’ yang berarti malam. Equinox bisa diartikan sebagai fenomena dimana siang dan malam bumi memiliki panjang yang sama: 12 jam siang dan 12 jam malam.
Saat itu, bumi tidak terinklinasi terhadap matahari. Pusat Matahari berada di bidang yang sama dengan khatulistiwa bumi. Equinox terbagi menjadi dua: Maret dan September. Equinox yang terjadi di Maret disebut “vernal equinox” menandai datangnya musim semi. Equinox September disebut “autumnal” equinox menandai dimulainya musim gugur.
Masalahnya, pada masa Paus Gregorius XIII, jika menggunakan perhitungan sistem kalender Julian, Paskah tidak jatuh pada 21 Maret. Agar Paskah tepat di 21 Maret,, harus ada pemangkasan tanggal sampai 11 hari. Akibatnya, setelah tanggal 4 Oktober 1582 langsung melompat ke tanggal 15 Oktober 1582. Itu berarti tidak pernah ada tanggal 5-14 Oktober 1582.
Ketika saat ini ada sebagian orang yang mencurigai ada misi Kristenisasi di balik “tahun baru 1 Januari”, pemeluk Kristen Eropa lebih dulu mereaksinya. Ketika kalender Gregorian diperkenalkan keluar dari Roma, orang-orang Kristen Protestan di Eropa mencurigainya sebagai upaya Katolikisasi. Jerman-Kristen baru mengadopsinya pada 1700. Inggris-Kristen baru mengakui pada 1752. Bahkan gereja-gereja ortodoks masih ada yang tidak mau mengakui kalender Gregorian.
Di Inggris, pemberlakuan kalender Gregorian sampai melahirkan huru-hara. Ini terutama ketika Parlemen Inggris memutuskan melompat dari 2 September langsung ke 14 September. Para pemrotes meneriakkan tuntutan: “give us our 11 days.” Sebelum menggunakan kalender Gregorian, tahun baru di Inggris jatuh pada 25 Maret.
Jadi, kalau sekarang ada yang meng-haram-haramkan tahun baru 1 Januari, ya itu biasa saja. Intinya, setiap orang diperbolehkan membuat tahun barunya sendiri. Sejarah menunjukkan bahwa setiap kebudayaan memiliki sistem kalender sendiri. Setiap zaman memiliki caranya sendiri untuk menghitung waktu. Yang terpenting adalah apa yang akan kita perbuat di masa depan.
Matahari yang kita lihat dan rasakan pada 1 Januari adalah matahari yang sama. Bumi yang kita pijak pada 1 Januari adalah bumi yang sama. Udara yang kita hirup pada 1 Januari adalah udara yang sama. Segala hal yang ada di sekeliling kita pada 1 Januari adalah benda-benda yang sama. Saat bangun tidur pada 1 Januari, kita akan mengalaminya seperti hari-hari kemarin.
Tahun baru adalah kesepakatan kita untuk menandai sebuah putaran waktu. Tahun baru, apapun jenisnya, tidak memiliki makna di dalam dirinya sendiri. Kitalah yang memberi makna, apakah untuk tujuan ekonomi maupun agama. Tahun syamsiyah ataupun qamariyah adalah cara manusia untuk menandai perjalanan hidupnya. Waktu tidak memiliki siklus di dalam dirinya. Manusialah yang menandai adanya siklus. Manusialah yang menetapkan dari mana siklus ini dimulai dan di titik mana akan diakhiri.
G.K. Chesterton, seorang penulis Inggris kelahiran 1874, menyatakan: “The object of a New Year is not that we should have a new year. It is that we should have a new soul and a new nose; new feet, a new backbone, new ears, and new eyes. Unless a particular man made New Year resolutions, he would make no resolutions. Unless a man starts afresh about things, he will certainly do nothing effective.”
[Tujuan dari sebuah tahun baru karena kita harus memiliki tahun baru. Tapi, karena kita harus memiliki jiwa dan hidung baru; kaki baru; tulang punggung baru; telinga baru; dan mata baru. Jika seseorang saat tahun baru tidak membuat tekat untuk hidup lebih baik di tahun depan, tidak akan ada perubahan lebih baik di masa depan. Jika seseorang tidak mengawali hidupnya dengan padangan yang baru, dia tidak akan melakukan apapun dengan baik di masa depan].
Jadi, Selamat Tahun Baru 2023. Mari mengawali tahun baru dengan jiwa baru. Pastikan bahwa esok akan lebih baik dari hari ini dan kemarin.
*Keterangan: tulisan ini semula diterbitkan di portal Arrahim