Beranda Publikasi Kolom Khilafah: Mimpi Kaum Ilusionis

Khilafah: Mimpi Kaum Ilusionis

2285

Oleh: Nur Syam (Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya)

Tidak bisa dipungkiri bahwa khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana jihad yang juga merupakan ajaran Islam. Namun demikian, bagaimana penerapan khilafah sebagai ajaran Islam untuk mengatur negara dan pemerintahan, maka terdapat gambaran penafsiran yang berbeda di antara para ulama.

Bagi kelompok formalis, maka penerapan ajaran khilafah adalah dengan menjadikan Islam atau ajaran Islam sebagai dasar negara dan pemerintahan, sementara  kelompok substansialis berpaham bahwa mengenai sistem pemerintahan atau negara tidak harus berdasar atas Islam akan tetapi yang secara tegas bahwa negara atau pemerintahan tersebut menjadikan Islam sebagai basis moralitas dalam mengatur negara.

Para pendiri bangsa memang terbelah di dalam keinginan mengimplementasikan tentang dasar negara. Ada yang menggunakan agama sebagai dasar negara dan ada yang menggunakan yang lain. Beberapa negara di Timur Tengah, seperti Saudi Arabia, UEA, Iran, Mesir dan lainnya menggunakan Islam sebagai dasar negara. Namun demikian, corak atau bentuk pemerintahannya juga bermacam-macam. Ada yang sistem mornarki dan ada yang sistem republik.

Misalnya Saudi Arabia yang mengambil bentuk pemerintah kerajaan sementara Mesir menggunakan system jumhuriyah (republik). Selain itu, misalnya Malaysia berdasar atas Islam tetapi menggunakan sistem monarki parlementer, sementara Indonesia menggunakan sistem republik dengan dasar negara Pancasila.

Khilafah adalah ajaran Islam dan pernah dipraktikkan di dalam sistem pemerintahan. Baik di zaman Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin negara, maupun Khulafaur Rasyidin juga menggunakan sistem khilafah. Jika Nabi Muhammad SAW secara otomatis menjadi pemimpin negara karena kewahyuannya, maka khulafur rasyidin dipilih oleh satu team yang disepakati oleh umat Islam pada waktu itu.

Hal yang jelas bahwa sistem khilafah itu pernah ada di dalam sejarah Islam, sebagaimana juga pada zaman pemerintahan Bani Umawiyah maupun Bani Abbasiyah bahkan hingga Bani Fathimiyah di Mesir, maupun kekhalifahan Turki Utsmani. Semua ini adalah penerapan sistem kekhalifahan yang beraneka ragam bentuk negaranya. Tetapi yang prinsip bahwa ada yang menggunakan sistem permusyawaratan dan ada yang berbentuk kerajaan. Semuanya sah di dalam sejarah  Islam. Semua pernah terjadi di dalam perkembangan umat Islam di dunia ini.

Jadi memang harus dibedakan antara dasar negara dengan bentuk negara. Di dalam sistem kekhalifahan yang pernah terjadi di dalam sejarah umat Islam, maka dasar negaranya adalah Islam tetapi bentuk negaranya bermacam-macam. Hal ini merupakan realitas sosial-politik yang memang pernah terjadi di dalam sejarah umat Islam. Khilafah adalah realitas di dalam ajaran Islam.

Islam yang mana yang dijadikan sebagai dasar negara, tentu saja adalah Islam hasil penafsiran dari para ulama yang berada di dalam negara dimaksud. Jadi Islam yang sudah ditafsirkan oleh para ulama. Makanya di dalam sebuah negara Islam juga terjadi berbagai penafsiran.

Mesir misalnya menghasilkan kelompok Ikhwanul Muslimin, yang akhirnya dilarang sebab berseberangan dengan penafsiran ulama yang mendukung pemerintahan di Mesir. Bahkan tokoh Ikhwanul Muslimin, Hasan Al Banna akhirnya juga terbunuh. Penggantinya adalah Sayyid Qutub yang ternyata lebih fundamentalis. Doktrin Sayyid Qutub adalah “Khalifah sebagai solusi”. Akhirnya  Sayyid Qutub  dihukum mati.

Hal yang unik tentu saja adalah Indonesia. Negeri ini tidak berdasar Islam dan berbentuk republik. Makanya di dalam sistem kenegaraannya, tidak dapat dinyatakan secara formalistis menjadi Islam sebagai dasar negara tetapi juga tidak bisa dinyatakan melepaskan sama sekali agama di dalam system penyelenggaraan negara.

Indonesia juga bukan negara sekular yang memisahkan antara agama dan negara, sebab agama bukan urusan privat tetapi urusan publik. Indonesia menganut publik religion and not  privat religion. Inilah keunikan Indonesia di dalam relasi antara agama dan negara. Sebagai konsekuensi atas agama publik, maka terdapat Kementerian Agama, yang memiliki tugas dan fungsi dalam mengatur relasi antar umat beragama dan juga pendidikan agama dan keagamaan. Jadi Kementerian Agama tidak mengatur agama, yang menjadi domain para ulama atau ahli agama, tetapi tugasnya adalah mengatur hubungan antar umat beragama.

Sebagai konsekuensi dari realitas religio-sosial politik ini, maka Indonesia disebut sebagai negara Berketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai basis atau moralitas di dalam mengatur negara. Ibaratnya adalah sekeping (koin)  mata uang, di satu sisi terdapat agama dan di sisi lain terdapat negara. Sebuah relasi yang tidak bisa dipisahkan karena saling membutuhkan atau relasi symbiosis. Berbeda dengan system secular, yang memang dua koin mata uang yang berbeda, atau sistem teokratis, satu koin dibolak balik sama saja.

Lalu, bagaimana dengan khilafah di negeri Indonesia? Sebagai negara yang sudah memilih dasar negara dan bentuk negara yang final, maka sebagai warga negara tentu harus meyakini bahwa pilihan atas Pancasila dan NKRI adalah pilihan rasional, dan bahkan pilihan spiritual. Pilihan rasional karena disadari bahwa negeri Indonesia adalah yang sangat plural dan multikultural, sehingga tidak bisa menjadikan salah satu agama sebagai dasar negara, dipastikan akan terjadi disharmoni antar satu wilayah dengan wilayah lain. Ada provinsi dengan mayoritas agama tertentu dan ada wilayah provinsi lain dengan agama yang lain.

Di dalam konteks ajaran khilafah maka mestilah dinyatakan bahwa khilafah pernah menjadi realitas historis dalam masyarakat Islam di masa lalu, sehingga tidak mungkin kita menghapus sejarah perkembangan Islam dan pilihan negara yang ditetapkannya. Oleh karena itu mengajarkan sejarah kekhalifahan tentu merupakan kebolehan. Janganlah dihapus sejarah Islam tersebut. Sebagai peristiwa sejarah juga terdapat bopeng-bopeng yang tidak juga bisa dihapuskan, selain yang mulus dan sangat baik. Sekali lagi mengajarkan sejarah kekhalifahan merupakan kebolehan.

Kemudian, apa yang tidak boleh?  Tentu saja adalah keinginan untuk menjadikan khilafah di sebuah negara yang sudah jelas dasar dan bentuk negaranya. Para pemimpi (ilusionis) masih terus menyatakan bahwa “khilafah adalah satu-satunya solusi”. Padahal sesungguhnya mereka juga tahu bahwa dengan memaksakan keinginan ini, maka yang terjadi bukan harmoni tetapi disharmoni. Jika sudah diprediksi seperti itu, maka apakah masih layak mereka meneriakkan slogan, “tegakkan khilafah”.

Marilah kita sebagai warga negara Indonesia berpikir ulang, bahwa pilihan para founding fathers negeri ini untuk menetapkan Pancasila dan NKRI bukan hanya berasal dari suara pikiran tetapi tetapi juga  suara hati. Wallahu a’lam bi al shawab.  

*Keterangan: artikel ini semula terbit di laman portal Nur Syam Centre

1 KOMENTAR

  1. Jika khilafah diangap mimpi.. mengapa Amerika begitu takut akan kebangkitannya.. jangan lupa, berangkat dari mimpi dalam rangka menyambut bisyarah dan janji Allah, insyaaAllah khilafah akan tegak, suka atau tidak suka bagi siapapun, karna tak akan ada yang akan mampu mengingkari..

    Karna khilafah ala minhaji nubuwah kedua itu diperjuangkan dengan keyakinan, bukan cuma hayalan tapi mimpi besar bagi kaum muslim yang mencintai Allah dan rasul mengemban warisannya.

    Jika ilusi mengapa ditakuti..
    Jika tak suka mengapa dikomentari
    Jika dianggap hayalan mengapa begitu menjadi beban

    Di Musnad Ahmad: 17680 – Telah menceritakan hadits kepada kami Sulaiman bin Dawud ath-Thayalisi, telah menceritakan hadits kepada kami Dawud bin Ibrahim al-Wasithi, telah menceritakan hadits kepada kami Habib bin Salim dari an-Nu’man bin Basyir, ia berkata: “kami duduk di masjid bersama Rasulullah saw, dan Basyir adalah orang yang mencukupkan bicaranya, lalu Abu Tsa’labah al-Khusyani datang dan berkata: “ya Basyir bin Sa’din apakah engkau hafal hadits Rasulullah saw tentang para pemimpin (al-umarâ`)? Maka Hudzaifah berkata: “saya hafal khutbah Beliau”. Maka Abu Tsa’labah pun duduk dan Hudzaifah berkata, Rasulullah saw bersabda:

    «تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكاً عَاضّاً فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكاً جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ» ثُمَّ سَكَتَ

    “Di tengah kalian ada masa kenabian, yang akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian dan akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian ada kekuasaan yang mengigit (mulkan ‘âdhdhan) dan akan ada tetap sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. kemudian akan ada kekuasaan yang memaksa (mulkan jabriyyatan) dan akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian”, kemudian Beliau diam.

    Di dalam Dalâ`il an-Nubuwwah oleh imam al-Baihaqi 2843 – telah memberitahu kami Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan bin Furak rahimahullah, telah memberitahu kami Abdullah bin Ja’far al-Ashbahani, telah menceritakan kepada kami Yunus bin Habib, telah menceritakan kepada kami Abu Dawud ath-Thayalisi, telah menceritakan kepada kami Dawud al-Wasithi, dan dia (Abu Dawud ath-Thayalisi) berkata: dan dia tsiqah. Dawud al-Wasithi berkata: aku mendengar Habib bin Salim berkata, Aku mendengar an-Nu’man bin Basyir bin Sa’din dalam hadits yang dia sebutkan, ia berkata; “Abu Tsa’labah datang dan berkata: “ya Basyir bin Sa’din, apakah engkau hafal hadits Rasulullah saw tentang para pemimpin (al-umarâ`)?” Dan Hudzaifah duduk bersama Basyir. Hudzaifah berkata; “aku hafal khutbah Beliau”. Maka Abu Tsa’lab pun duduk, dan Hudzaifah berkata: “Rasulullah saw bersabda:

    إِنَّكُمْ فِيْ النُّبُوَّةِ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا إِذَا شَاءَ، ثُمَّ يَكُوْنُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ تَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ، ثُمَّ تَكُوْنُ جَبْرِيَّةً تَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا، إِذَا شَاءَ أنَ ْيرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»

    “Sesungguhnya kalian ada di tengah kenabian, yang akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian, yang akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak. Kemudian akan ada (kekuasaan) yang memaksa (jabriyyatan) dan akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian”.

    Di dalam Musnad ath-Thayalisi 433 – (telah menceritakan kepada kami Dawud, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Dawud al-Wasithi, dan dia tsiqah. Ia berkata; “aku mendengar Habib bin Salim berkata: “aku mendengar an-Nu’man bin Basyir bin Sa’din berkata: “kami duduk di masjid bersama Rasulullah saw dan Basyir seorang yang mencukupkan bicaranya (sedikit bicara), lalu Abu Tsa’labah datang dan berkata: “ya Basyir bin Sa’din apakah engkau hafal hadits Rasulullah saw tentang para pemimpin (al-umarâ`)? Dan Hudzaifah duduk bersama Basyir. Hudzaifah berkata: “aku hafal khutbah Beliau”. Maka Abu Tsa’labah duduk dan Hudzaifah berkata: “Rasulullah saw bersabda:

    «إِنَّكُمْ فِي النُّبُوَّةِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكاً عَاضّاً، فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ جَبْرِيَّةً، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»

    “Sesungguhnya kalian ada di masa kenabian, yang akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian dan akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang mengigit (mulkan ‘âdhdhan) dan akan ada tetap sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada (kekuasaan) yang memaksa (-mulkan- jabriyyatan) dan akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian”.

    Dan di Ittihâf al-Khayrah al-Mahrah karya Syihabuddin Ahmad bin Abu Bakar bin Ismail al-Bushiri (w. 840 H):

    [4164/1] Abu Dawud ath-Thayalisi berkata: “telah menceritakan kepada kami Dawud al-Wasithi –dan dia tsiqah-, “aku mendengar Habib bin Salim, aku mendengar an-Nu’man bin Basyir bin Sa’din, dia berkata: “kami duduk di masjid (masjid Rasulullah saw) dan Basyir seorang yang mencukupkan ucapannya (sedikit bicara), lalu Abu Tsa’labah datang dan berkata: “ya Basyir bin Sa’din apakah engkau hafal hadits Rasulullah saw tentang para pemimpin (al-umarâ`) Dan Hudzaifah hadir bersama Basyir, Hudzaifah berkata: “aku hafal khutbah Beliau”. Maka Abu Tsa’labah duduk dan Hudzaifah berkata: “Rasulullah saw bersabda:

    «تَكُوْنُ فِيْكُمْ النُّبُوَّةُ مَا شَاءَ اللّهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُّمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، ثُمَّ تَكُوْنُ مَا شَاءَ اللّهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكاً عَاضّاً فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللّهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكاً جَبْرِيَّةً فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللّهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ» ثم سكت

    “Di tengah kalian ada masa kenabian, yang akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Kemudian akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang mengigit (mulkan ‘âdhdhan) dan akan ada tetap sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang memaksa (mulkan jabriyyatan) dan akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian”, kemudian Beliau diam”.

    saat kita bicara tentang Islam maka hujjah yg menjadi landasannya. bukan argumentasi yang merupakan pendapat seseorang biasa. tetapi hujjah itu haruslah dari alqur´an atau hadist.

    Kesimpulannya
    Jika ingin menyimpulkan sebuah kaum maka hiduplah diantara kaum itu, hingga engkau dapati titik terang yang jelas antara kebenaran kebatilan yg ada pada kaum itu.
    Jika ingin menyimpulkan atau titik kritisi maka belajarlah dahulu dengannya agar terlihat jelas antara kebenaran dan pembenaran.

    karna tulisan yang bapak buat hanyalah dalih untuk mencari pembenaran diantara titik kesalahann founding father, pengkhianatan dan kesepakatan dari para pejuang Islam, melahirkan negara sekuler yang menjadikan agama hanya wilayah pribadi bukan wilayah pengaturan, maka wajarlah jika yang wajib jafi mubah, yang haram jadi halal dalam aturan sbuah negara republik kesepakatan ini.

    Apakah belum sampai pada anda?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini