Oleh: Vikry Reinaldo Paais (Mahasiswa CRCS UGM 2021)
Kekristenan hadir di Nusantara bukan pada ruang kosong, melainkan mengisi tempat yang sudah dihuni oleh agama-agama yang lain—termasuk sang tuan rumah, agama leluhur. Pada abad ke-16, kekristenan Barat datang seiring dengan kolonialisme Eropa. Gesekan pun tak terelakkan dan efeknya sampai sekarang masih bisa kita rasakan.
Gagasan kekristenan Barat yang dibawa oleh para misionaris awal sangat eurosentris: segala kebudayaan di luar Eropa ditolak. Segala sesuatu yang bersifat lokal dan pribumi dianggap sebagai “kekafiran” dan merupakan bentuk “penyembahan iblis”(End, 1987). Hal ini berimbas pada pengrusakan tempat-tempat yang dianggap sebagai situs penyembahan agama leluhur. Siapa pun yang kedapatan melakukan penyembahan akan dihukum. Polarisasi pun terjadi antara mereka yang menganggap diri sebagai “anak-anak Allah” dan mereka yang dicap sebagai “anak-anak iblis”, antara “terang” vs “kegelapan” (Patty, 2019).
Dalam perspektif seperti ini, para misionaris akan dianggap sebagai penyelamat dari kegelapan (Baca: Kristenisasi dan Modernisasi Meminggirkan “Agama Batak” ). Satu-satunya cara agar terhindar dari stigma kekafiran adalah dengan konversi ke Kristen. Bentuk pemaksaan indentitas agama inilah yang kemudian disebut “kristenisasi”. Pengoloni memandang agama leluhur sebagai “ladang” pengabaran Injil yang berujung pada upaya sistematis pengonversian agama.
Di luar paradigma keselamatan, kristenisasi agama leluhur juga bertalian dengan narasi politis yang terkait dengan akses pengetahuan dan fasilitas. Konversi ke Kristen artinya konversi kepada perkembangan, kemajuan, serta aksesibilitas. Artinya, ada fasilitas yang diberikan ketika menjadi Kristen ketimbang bertahan pada agama leluhur. Narasi diskriminatif ini secara banal menempatkan agama leluhur sebagai “belum beradab” dalam kehidupan sosial maupun kepercayaan.
Praktik konversi semacam ini merupakan bentuk subordinasi agama yang bersifat eksklusif dan hierarkis. Kristen—sebagai agama para pengoloni—ditempatkan sebagai kepercayaan yang paling benar dan modern. Sebaliknya, agama leluhur mendapat stigma sebagai kepercayaan yang sesat dan primitif. Stigma tersebut mencengkeram begitu kuat, bahkan ketika para bangsa kolonial itu sudah angkat kaki.
Keberagaman, Inklusivitas, dan Teologi Kontekstual
Seiring dengan meluasnya kekristenan ke berbagai penjuru dunia pada abad ke-19, mulai muncul kesadaran bahwa keberagaman—yang berakar dari perbedaan—merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat disangkal. Mengutip Titaley (2013), perbedaan itu tidak dapat ditentukan oleh kehendak manusia. Artinya, perbedaan adalah hal kodrati dan tidak dapat diintervensi. Demikian juga pluralisme agama. Menolak keberagaman agama berarti menolak kodrat manusia, sebab agama berakar dalam peradaban manusia.
Pergumulan inilah yang membuat gereja-gereja mulai membuka pintu penerimaan terhadap agama leluhur. Teologi Kristen yang eurosentris dan sangat tekstual ternyata kurang sesuai dengan konteks beragama di Indonesia. Gereja pun mengupayakan reinterpretasi terhadap teologinya melalui kontekstualisasi. Dialog teks-konteks ini kerap diistilahkan melalui beragam terminologi, misalnya teologi inkulturasi, teologi indigenisasi, teologi lokal, atau teologi kontekstual—istilah terakhir ini yang paling dikenal di kalangan teolog. Semua terminologi tersebut mengasumsikan paradigma teologi Kristen yang melebur dengan konteks tempat ia bertumbuh.
Lattu (2020), dalam tulisannya Teologi Tanpa Tinta, memberikan kritik terhadap teologi Kristen yang cenderung terpenjara dengan teologi tekstual. Frasa “teologi tinta” mengasosiasikan paradigma teologi yang cenderung tekstual atau berpusat pada kitab suci semata. Padahal, menurutnya, teologi seharusnya juga kontekstual. Maka dari pada itu, dibutuhkan “teologi tanpa tinta” yaitu teks-teks yang juga bersumber dari pengetahuan publik yang hidup—kerap diistilahkan sebagai folklor.
Di Nusantara praktik kontekstualisasi ini bisa ditemukan dengan penyebutan Yesus dalam berbagai nama lokal, misalnya, Tete Manis di Maluku, Gusti di Jawa, To Membali Puang di Tana Toraja; atau penyebutan Tuhan Allah sebagai Upu Lanite di Maluku, Hatalla dalam Masyarakat Kristen Kaharingan, Uis Neno dalam masyarakat Timor, dan lain sebagainya. Bentuk kontekstualisasi seperti ini menjadikan teologi Kristen dinamis dan masyarakat adat menjadi rekan atau cermin gereja dalam menemukan identitas kontekstualnya (Sinaga, 2019). Sebagai rekan, agama leluhur tidak lagi diposisikan lebih rendah ketimbang agama Kristen. Sebaliknya, melalui agama leluhur, kekristenan justru diperkaya teologinya.
Seberapa Inklusifkah Teologi Kontekstual?
Kendati gagasan teologi kontekstual memungkinkan kekristenan berelasi dengan agama leluhur, tetapi secara praksis tampaknya tidak sepenuhnya demikian. Harus diakui bahwa teologi kontekstual yang inklusif itu tidak serta-merta mengartikan bahwa relasi keduanya ada pada pengertian yang setara. Kecenderungannya adalah menerima eksistensi adat tapi mengeksklusi penganut agama leluhur—padahal keduanya merupakan suatu kesatuan. Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah teologi kontekstual benar-benar merepresentasikan inklusivitas?
Sampai di sini, tampaknya paradigma eurosentris belum sepenuhnya terdekolonisasi. Tantangan terbesar saat ini adalah eksklusivisme beragama yang berimbas pada bentuk subordinasi. Secara praksis, gereja masih mempertahankan eksklusivisme agama yang cenderung menegasikan kepercayaan lain sebagai suatu kebenaran karena doktrin kebenaran diklaim hanya miliknya sendiri. Bagi Paul Knitter (2008), eksklusivisme mewakili pandangan dominan umat Kristen yang memandang bahwa Kristus bertentangan dengan agama-agama. Narasi-narasi kekristenan yang berkembang seperti Yesus satu-satunya jalan keselamatan dan kebenaran, atau amanat agung Yesus Kristus, seolah memberi legalitas “kristenisasi” agama leluhur. Knitter (2005) menegaskan, semboyan reformasi “hanya oleh iman” dan “hanya oleh Kristus” menjadi penghalang pengakuan terhadap agama lain. Di sisi lain, doktrin tekstual juga masih menjadi paradigma yang dominan—karenanya melawan atau mengkritisinya adalah tabu. Hal ini mengingatkan pada salah satu gagasan doktrin Katolik yang eksklusif, yaitu extra eclessia nula salus, yang artinya ‘di luar gereja tidak ada keselamatan’.
Klaim superioritas kekeristenan atas agama leluhur semacam ini tentu saja masih sangat hierarkikal. Agama leluhur atau masyarakat adat seolah-olah hanya digunakan sebagai objek untuk memperkaya teologi Kristen. Para penganut agama leluhur masih saja terstigma, terdiskriminasi, dan tidak bebas melaksanan praktik keagamaan di rumahnya sendiri. Padahal, di berbagai konteks, umat kristiani bisa hidup berdampingan dengan penganut agama leluhur dalam suatu narasi keberkaitan antara Kristen dan adat, antara Injil dan adat.
Karenanya dalam relasinya dengan agama leluhur, doktrin tekstual-eksklusif perlu direinterpretasi demi menemukan jalan tengah yang nondiskriminatif. Jika tidak, kekristenan masa kini lagi-lagi akan terjebak dalam neokolonialisme terhadap pemeluk agama leluhur. Neokolonialisme yang dimaksudkan adalah kolonisasi pengetahuan dan keberagamaan. Bagaimanapun, diperlukan upaya dekolonisasi guna melepaskan diri dari kekangan logika kolonialitas (Mignolo, 2007).
Gereja (baca: kekristenan) seharusnya menyadari eksistensi dan relasinya dengan agama leluhur. Narasi-narasi yang menyubordinasi agama leluhur sudah seharusnya diganti dengan narasi-narasi yang lebih pluralis—bukan lagi dengan klaim membabi-buta otoritas kekristenan lebih tinggi ketimbang agama leluhur atau masyarakat adat. Dengan kata lain, jika dialektika gereja dan masyarakat adat masih saja didominasi oleh otoritas gereja, maka teologi kontekstual yang terjadi sama saja dengan menabur garam di air laut.[]
“Tulisan ini pertama kali terbit di situs web CRCS UGM dan diterbitkan ulang di sini atas seizin CRCS.”