Beranda Publikasi Kolom Badut-Badut Tak Lucu

Badut-Badut Tak Lucu

1069
0

Oleh: Trias Kuncahyono (Wartawan Senior Kompas)

Di emperen sebuah rumah makan cepat saji, saya temui Ilyas Ramadhan (21), suatu siang ketika langit begitu biru dan matahari bisa begitu leluasa memanasi bumi, memanasi siapa saja. Matahari tak pernah pilih-pilih–kaya-miskin, laki-perempuan, tua-muda, pekerja kantoran-pekerja jalanan, bos-anak buah, majikan-upahan–semua sama: diberi sinarnya.

Ramadhan, tengah bersiap-siap untuk bekerja. Ia mencukupi kebutuhan hidupnya (juga untuk anaknya semata wayang yang masih balita) dengan menjadi badut berkostum mickey mouse; menari-nari ala kadarnya, di perempatan jalan, saban hari dari pagi hingga petang.

Di tengah terik matahari, di tengah kepungan asap motor dan mobil, terkaman debu jalanan, Ramadhan mencari rezeki, mengharapkan kebaikan hati orang lain, para pengemudi mobil dan pengendara motor. Kalau pas rezeki, sehari Ramadhan bisa membawa pulang Rp 100.000.

Dulu, sebelum memiliki kostum sendiri, penghasilan sebanyak itu masih harus dipotong Rp 30.000 untuk bayar sewa kostum. Tapi, sekarang sudah punya kostum sendiri. “Ini saya beli tiga-ratus limapuluh ribu rupiah,” kata Ramadhan yang hanya mengenyam pendidikan sampai SMP.

Sebelum jadi badut, Ramadhan menjadi tukang parkir. Tetapi, pandemi Covid-19, telah membuatnya kehilangan pekerjaaan itu. Sementara hidup terus berjalan, meski semua hal di sekitarnya berubah.  Banyak hal berubah. Banyak hal terjadi. Hidup terus berlalu. Dan, Ramadhan menjalaninya dengan penuh kesungguhan.

Anak muda beranak satu itu, bukan siapa-siapa: rakyat biasa. Bung Karno menyebutnya, “marhaen,” yang sekarang disebut sebagai wong cilik, rakyat kecil, rakyat jelata.

Wong cilik adalah sebuah istilah yang digunakan untuk membedakan status sosial dalam masyarakat Jawa. Dalam penggunaannya wong cilik selalu dikontraskan dengan istilah priyayi.

Mereka yang dimasukkan ke dalam kelompok wong cilik adalah buruh, petani gurem, buruh tani, para pekerja kasar semacam tukang batu, tukang parkir, tukang kebon, tukang becak, juga pedagang kecil. Pendek kata, mereka itu adalah  golongan masyarakat paling bawah, yang istilahnya powerless. Artinya, mereka tidak mempunyai kuasa atau kaum yang lemah dan tak berdaya sehinga mudah untuk dieksploitasi, dimanfaatkan, dan dimiskinkan.

Itulah wong cilikWong cilik yang miskin. Yang kehadirannya tidak menggenapi, dan ketidak-hadirinya pun tidak mengurangi. Keberadaannya tidak terpandang atau tidak diperhitungkan sedikit juga dalam masyarakat.

Itu sekarang. Tetapi sebentar lagi, kehadirannya akan sangat berarti. Ibarat kata, bila seratus kurang satu maka tidak akan genap seratus. Tak peduli yang nggenapi jumlah seratus itu miskin atau kaya. Pada saat itu, yang miskin dan yang kaya, sama: memiliki hak suara yang sama, yakni satu.

Begitu juga rakyat kecil yang lain seperti Ramadhan, yang baru punya harga ketika pemilu entah itu tingkat daerah atau nasional, dilaksanakan. Maka ketika “musim badut-badut politik” datang, mereka yang sebelumnya tutup mata terhadap wong cilik dan juga wong cilik yang miskin, berlomba-lomba menaruh perhatian dan peduli pada mereka.

Tetapi, pada saat yang bersamaan, mereka menebar pesona, mencari simpati dan bahkan belas kasihan dari wong-wong cilik, minta dukungan, membutuhkan suaranyaKetika “musim badut-badut politik” usai, usailah pula perhatian mereka pada wong-wong cilik. Ibarat kata, musim durian berakhir berganti musim mangga atau rambutan, atau buah yang lain. Begitulah siklusnya.

Mereka memang tidak  memakai  topeng beragam wajah yang lucu-lucu seperti  mickey mouse, joker, wajah harimau, hidung merah, kelinci, kera, punakawan dan sebagainya. Tapi, perbuatan, polah-tingkah, perilaku, dan omongan mereka lucu-lucu.

Kata Seno Gumira Ajidarma (2018), badut politik adalah kekonyolan karena yang membuat orang tertawa adalah kebodohannya. Bukan kebodohan manusia lugu, melainkan kebodohan manusia yang berusaha tampak pintar tapi gagal. Maka tawa yang lahir dari perilaku badut politik ini bukanlah tawa kebahagiaan yang wajib disyukuri.

Politik adalah kegiatan yang bertujuan untuk kebaikan dan kebenaran dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Politik tidak bertujuan untuk mencapai kepentingan sendiri atau kelompok saja, melainkan dan terutama kepentingan bersama sebagai bangsa. Maka itu, perlu etika dan moral dalam berpolitik agar makna dan tujuan politik tersebut tercapai.

Dengan kata lain,  politik dengan sejumlah prinsipnya seperti hormat terhadap martabat manusia, solidaritas, keadilan, kebebasan, kejujuran, dan tanggung jawab, tidak bisa dipisahkan dari moralitas. Maka mereka yang terjun dalam dunia politik karena tanggung jawab moral harus memiliki keberanian untuk menyuarakan kebenaran dan mengoreksi yang salah. Bahasa kerennya, berani meneriakkan suara kenabian.

Apakah “badut-badut politik” memahami tugas suci politik itu? Sebab, dengan semua itu, politik mengharuskan siapa pun yang terlibat di dalamnya untuk serius, pintar, dan cerdik. Jika tidak, panggung politik hanya akan menjadi panggung komedi. Komedi kehidupan yang hanya memancing orang tertawa, atau mungkin malah cemoohan. Sebab, lebih lucu ketimbang kostum mickey mouse yang dipakai Ilyas Ramadhan dan badut jalanan lainnya.

*Keterangan: tulisan ini semula diterbitakan di portal Trias Kuncahyono

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini