Oleh: Purnawan Andra (alumni School of Humanities & Social Science, Universiti Sains Malaysia, kini bekerja sebagai Pamong Budaya Ahli Pertama pada Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek)
Selama ini kita memahami tari sebagai presentasi tubuh yang bergerak. Sebenarnya tubuh tari (sebagai realitas panggung) adalah sebuah refleksi virtualitas yang tidak sesederhana realitasnya, yaitu badan. Ia merupakan medan kompleks representasi gerak, imaji, kreasi serta simbolisasi nilai dan makna yang ingin disampaikan.
Tubuh tari memiliki arti sebagai anatomi, artikulasi, ataupun ideologi sekaligus. Tubuh tari menjadi sebuah ruang inter-relasi antara ketubuhan dan lingkungannya, sebuah konstruksi sosial dan kultural.
Pada saat yang sama, perubahan merasuki berbagai sendi kehidupan, mengubah berbagai pola hubungan, termasuk tari sebagai sebuah komunikasi seni. Jin-Kang Sue, penari, koreografer dan Direktur Artistik Balet Nasional Korea, dalam pesannya pada peringatan Hari Tari Internasional 29 April tahun ini, menyebut bahwa kondisi pandemi ini membuat kita memikirkan kembali arti āmenariā dan āpenariā.
Di masa lalu, tari adalah sarana ekspresi dan komunikasi utama melalui gerak tubuh; menjadi performance art yang menggugah jiwa dan menginspirasi penonton. Tarian dibuat dari momen-momen fana, yang membuat para penari bergerak. Namun, Covid-19 telah membatasi bahkan menghalangi seni tari dalam bentuk aslinya.
Virtualitas
Seiring berkembangnya teknologi, terlebih di masa pandemi, sajian komunikasi seni (tari) saat ini tidak lagi (hanya) muncul dalam ruang waktu yang terbatas, tapi juga menerabas berbagai medium baik itu moda, wahana, basis ekspresi hingga bentuk presentasinya. Platorm digital mengubah konfigurasi moda komunikasi dan membuka alternatif ruang untuk beradaptasi serta mengekspresikan gagasan dan imajinasi artistik. Pandemi menyatukan kehidupan tari melalui mekanisme jaringan digital.
Meskipun masih menyimpan catatan, ruang maya menjadi wahana terbuka pengembangan ide dan gagasan kreatif baru. Tari mulai menjelajah lebih jauh pemanfaatan arena virtual untuk menemukan artikulasi artistik yang baru dan sesuai dengan platform yang ada.
Hal ini menjadi salah satu upaya dan pembuktian kemampuan seni dalam beradaptasi menghadapi kenyataan dan permasalahan jaman. Artinya bukan aspek digital dan virtualitas yang mengatur hasil ekspresi seni, tapi kita bisa membacanya sebagai suatu kenyataan bahwa karya seni mempunyai kemampuan yang bersifat terbuka, lentur dan luwes dalam bentuk perwujudan artistiknya.
Persoalan ini bukan satu-satunya yang mampu melahirkan pengalaman estetik, tapi mendukung lahirnya sensasi dan sublimitas yang lain, yang baru. Merleau Ponty melalui teori kebertubuhan manusia menyebut bahwa ātubuh dan segenap kebertubuhan adalah cara kita berkomunikasi dengan waktu dan ruangā, artinya tubuh kita menyediakan persepsi didalam ruang dan waktu di manapun, tak terkecuali di ruang virtual di masa pandemi ini (Afianto, 2020).
Pandemi ini membuka pemahaman dan konsepsi baru bagi berbagai bentuk ekspresi seni. Definisi-definisi terkait dengannya perlahan mengabur dalam arus virtualitas yang digunakan selama ini. Yang terjadi adalah perubahan fundamental terkait persepsi kita mengenai tari. Tubuh yang telah berefleksi dan berkontemplasi dengan keadaan, yang telah menjelajah dalam konteks dan teknik yang semakin dalam, bisa bergerak lebih jauh sebagai ekspresi artistik.
Hal ini karena praktik ketubuhan dalam karya tari adalah praktik yang negosiatif dan berlangsung terus menerus. Tubuh tari adalah ruang dialog yang mempertemukan pelbagai pengaruh yang bersifat kultural ataupun kekinian, seperti halnya merespon pandemi yang terjadi. Dengannya, tubuh tari sesudah pandemi telah mempunyai bekal untuk menjadi tubuh yang lebih berkualitas secara teknik juga cerdas dan bernas mewacanakan ekspresinya.
Proses
Sesudah proses refleksi yang dilakukan semasa pandemi, penari perlu memahami benar bagaimana konsep kinestetik mestinya selalu dijadikan titik tolak wacana dan studi pada proses kekaryaannya. Karena bagaimanapun, tubuh adalah modal dan media utama dari sebuah karya tari.
Eko Supriyanto (2018) menyebut penari memulai dialog tubuh, melakukan kontrol organik ketubuhan untuk memahami elemen dasar gerak tubuhnya. Ia perlu melakukan penjelajahan menelusuri netralitas tubuh yang tidak lagi mengacu pada vokabuler tari tradisi tertentu. Ia menyelami diri lebih dalam untuk menemukan identitas pribadi dan keunikan dari masing-masing individu, dan kemudian merajutkan pendekatan fisikal dan kinestetik untuk mencapai sebuah gagasan dalam menciptakan karya.
Pengetahuan dan pengalaman inilah yang kemudian diolah secara terus menerus, dipertanyakan, dielaborasi ke dalam konsep, dimaterialisasi kedalam bentuk gerak, diintervensi, ditantang signifikansinya melalui serangkaian reinterpretasi, dilatihkan dan akhirnya ditampilkan dalam sebuah eksekusi koreografi yang matang. Dengan demikian keberhasilan seorang penata tari dalam menggarap karya membutuhkan keterampilan, luasnya pandangan dan kekayaan alam jiwanya. Bekalnya adalah spontanitas dan daya intuisi, keterampilan menata bentuk, pemahaman akan prinsip dan kemampuan untuk merumuskan makna (Sal Murgiyanto, 2012).
Pandemi ini menegaskan bahwa perkembangan tari kontemporer Indonesia perlu berjalan dalam sebuah sistem infrastruktur kultural yang kokoh agar mampu mencapai kualitas dan kedalaman wacana dan pemikiran demi cerdas dan bernasnya karya yang dihasilkan melalui ekspresi teknik ketubuhannya.
Pandemi mengajarkan bahwa kita membutuhkan imajinasi budaya untuk menumbuhkan daya adaptasi dan kreasi ekspresi dan moda yang dibutuhkan dalam berekspresi. Selama ini kita terbiasa berpikir tentang budaya yang terkait dengan masa lalu, dengan konservasi, transmisi, dan pewarisan tradisi masyarakat tertentu. Tetapi budaya juga memiliki wajah yang mengarah ke masa depan: kebudayaan yang maju, yang terwujud dari penemuan yang prospektif.
Yang utama adalah terus menggulirkan wacana tentang dampak seni bagi masyarakat, yakni bagaimana praktik seni dapat menjaga kelangsungan dan mendorong kohesi sosial. Jin-Kang Sue menyebut, pada masa setelah terjadi pandemi pes (Black Death) di Eropa pada abad 14, lahir Giselle, (Giselle, ou les Wilis), karya balet romantis dalam dua babak. Karya ini tampil di Opera Paris pada tanggal 28 Juni 1841 dan mendapat apresiasi yang luar biasa dari khalayak. Ia tampil di seluruh Eropa juga seluruh dunia untuk menghibur dan menyemangati orang-orang pasca Black Death.
Penonton yang sedih, kesepian dan haus akan simpati mendapat suntikan energi dari para penari. Para penari adalah harapan bagi hati mereka dan memberi keberanian untuk mengatasi pandemi yang terjadi. Pandemi ini telah memberi ruang dan waktu bagi kita untuk melakukan hibernasi, juga sebagai ruang kreasi yang lebih optimal bagi seni pertunjukan, khususnya tari. [NI]
Keterangan: sebagian teks dan gagasan di artikel ini pernah diterbitkan oleh Kompas