Oleh: R.M. Surtihadi (Staf Pengajar Program Studi Pendidikan Musik, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Peneliti Musik Eropa di Keraton Yogyakarta)
Delapan penari putra abdi dalem Mataya Kawedanan Kridamardawa yang terdiri dari empat penari inti dan empat penari ploncon menarikan tari kuna Beksan Panji Sekar ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) diiringi alunan Gendhing Rangu-rangu laras pelog pathtet nem berkumandang dari gamelan Keraton Yogyakarta Kanjeng Kyai Sangumulya bersama bunyi ansambel musik gesek para abdi dalem Musikan yang juga merupakan anggota dari Yogyakarta Royal Orchestra (YRO). Tari tersebut dipentaskan dalam rangka Revitalisasi Beksan kuna oleh Taman Budaya Yogyakarta pada 29 November 2022 lalu di Kagungan Dalem Bangsal Sri Manganti Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sinopsis beksan ini diambil dari cerita Panji dalam Wayang gédhog yang menceritakan peperangan antara Klana Jayalengkara dari tanah seberang atau Negara Bali melawan Jayakusuma atau nama lain dari Panji Sekar alias Panji Tohpati dari Negara Jawa. Ketika mendengar Jenggala Manik akan diserang Jayalengkara dari Kerajaan Bali, Prabu Lembu Amiluhur memerintahkan Jayakusuma mendatangi Negara Bali guna mencegah serangan tersebut. Setelah Jayalengkara dan Jayakusuma saling berhadapan peperangan-pun tak dapat dihindarkan antara keduanya (manuskrip berjudul Beksan Pethilan) (kode T3) koleksi Perpustakaan Kawedanan Kridhomardowo Keraton Yogyakarta.
Tata busana atau ageman penari Beksan Panji Sekar menyerupai busana penari Jajar pada Beksan Lawung Alus. Empat orang penari inti Panji Sekar mengenakan celana panji cindhe, lonthong cindhe, kamus, tim-ang, sampur, kalung sungsung, kelat bahu, kain bermotif parang barong alit gurdha, dan penutup kepala berupa ikat tepen berhias pita keemasan, sedangkan empat penari ploncon (penari yang melayani properti senjata) mengenakan celana panji hijau polos, lonthong hijau polos, kamus timang, sampur hijau, kalung sungsung, kelat bahu kain bermotif parang, dan penutup kepala berupa ikat tepen berhias pita dan bunga warna merah di tengah.
Jenis tarian ini disebut sebagai Beksan sekawanan yang ditarikan 4 penari putra alus dengan ragam gerak impur. Properti yang digunakan ketika adegan peperangan menggunakan senjata keris dan panah (jemparing). Setelah puluhan tahun tidak ditampilkan, pementasan Beksan Panji Sekar yang digelar pada era Sri Sultan Hamengku Buwono X ini iringan tarinya diinterpretasi kembali dengan menambah instrumen musik Eropa berupa instrumen musik gesek seperti biola, viola, cello, dan contrabass.
K.P.H. Notonegoro selaku penghageng Kawedanan Kridamardawa mempunyai ide menambahkan instrumen gesek pada gendhing iringan tari tersebut pada bagian lirihan beksan iringannya yang karakternya lebih lembut daripada instrumen tiup (brass section). Lebih lanjut K.P.H. Notonegoro menjelaskan bahwa meskipun terdapat perubahan pada struktur geraknya, ragam gerak pada tarian ini masih dipertahankan orisinalitasnya.
Urutan gendhing yang digunakan mengiringi Beksan Panji Sekar antara lain:
Ladrang Rangu-Rangu Laras Pelog Pathet Barang; Plajaran Laras Pelog Pathet Barang; Gendhing Kuwung-Kuwung Laras Pelog Pathet Barang, Kendhangan Lahela; Ladrang Kuwung-Kuwung Laras Pelog Pathet Barang; Ketawang Sri Melela Laras Pelog Pathet Barang. Gendhing yang dimainkan bersama antara gamelan dan ansambel musik gesek yakni gendhing Ladrang Rangu-rangu, dan gendhing Ladrang Kuwung-kuwung, karena pada gendhing-gendhing tersebut iringan beksan Panji Sekar berupa iringan lirihan yang lembut sesuai dengan karakter instrumen gesek.
Pola iringan yang dimainkan ansambel gesek semula disesuaikan dengan melodi gamelan Jawa (mbalung), namun setelah itu pengolahan melodi inti digarap dengan pola counter melodi yang saling mengisi antara melodi gamelan Jawa dan melodi gendhing yang dimainkan ansambel musik gesek. Dengan demikian terdapat unsur polifoni yang dirangkai dalam sebuah aransemen musik iringan tari Beksan Panji Sekar.
‘Menari’ dengan Biola
Para penari Beksan Panji Sekar menghayati gerak tarinya selaras dengan alunan musik pengiringnya. Gamelan Kanjeng Kyai Sangumulya berlaras pelog seolah bisa padu dengan bunyi ansambel musik gesek yang didominasi biola. Ansambel gesek (string ensemble) lengkap yang terdiri dari: biola 1, biola 2, viola, cello dan contrabass dapat bersinergi dengan bunyi gamelan Jawa. Gerakan pertama pada beksan ini dari awal sudah diiringi perpaduan gamelan dan ansambel gesek (string ensemble) yang seolah para penari ‘menari’ dengan instrumen biola.
Mengapa ‘menari’ dengan biola, karena jumlah instrumen biola yang mengiringi beksan ini lebih banyak dibandingkan dengan jumlah instrumen gesek lainnya. Bunyi campuran gamelan dan instrumen gesek pada bagian awal memainkan gendhing rangu-rangu dan bagian tengah dan akhir dengan gendhing kuwung-kuwung bersifat tenang dan bertempo lambat karena merupakan jenis gendhing iringan lirihan. Hal ini sangat sesuai dengan karakter gerakan penari putra halus beragam impur.
Kehadiran ansambel musik gesek (string ensemble) dalam wilayah iringan tari tradisional keraton bukan merupakan hal baru bagi jenis iringan tari Keraton Yogyakarta. Kehadiran ansambel musik Eropa berupa instrumen tiup (brass section) dan genderang sudah lebih dulu digunakan dalam iringan kapang-kapang tari Bedhaya yang musik iringannya dikenal dengan Gendhing Mares/Gati, juga pada Beksan Lawung Ageng menggunakan formasi iringan yang sama berupa (brass section dan perkusi/genderang).
Percampuran gamelan Jawa dan instrumen musik Eropa untuk iringan tari di Keraton Yogyakarta diketahui sejak era pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana V (1823-1855) terdapat instrumen musik tiup dan genderangan Eropa, sedangakan pada era Sri Sultan Hamengku Buwana VIII (1921-1939) ada penambahan instrumen musik gesek (Surtihadi, 2014). Sementara itu jika mencermati konstelasi musik Eropa di Keraton Yogyakarta dapat dibagi menjadi tiga konstelasi musik yakni: 1) Musik Militer atau musik untuk Keprajuritan Kraton, 2) Musik untuk mengiringi tari tradisional (campuran gamelan Jawa dan instrument musik Eropa), 3) Musik Orkestra memainkan musik-musik Eropa untuk menghibur tamu-tamu sultan.
Pada awalnya iringan tari dengan melibatkan ansambel musik Eropa dan gamelan Jawa ini tanpa merubah struktur gendhing yang dimainkan, karena ansambel musik Eropa tetap memainkan melodi/balungan gendhing dengan mengikuti pola ritme gamelan. Seiring perkembangan waktu saat ini, pada era Sri Sultan Hamengku Buwono X kehadiran ansambel musik Eropa baik ansambel tiup maupun gesek untuk iringan tari diaransemen ulang, dan struktur notasi musiknya tidak selalu mengikuti pola melodi pada gamelan.
Seperti yang terdapat pada gendhing-gendhing iringan tari keraton lainnya yang disisipi ansambel musik Eropa, contohnya gendhing mares/gati, dan gendhing-gendhing Beksan Lawung Ageng saat ini sudah berbeda pola garapan aransemennya, bahkan iringan tari pada Beksan Lawung Ageng ada penambahan instrumen cymbal untuk memperkuat karakter iringan tari dan fungsinya hampir sama dengan fungsi gong besar.
Interaksi musikal pada saat ini nampak dengan kehadiran Yogyakarta Royal Orchestra (YRO) milik Keraton Yogyakarta. Kehadiran YRO sejak tahun 2021 yang dilaunching di Pagelaran Keraton Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwana X saat itu, tidak hanya memainkan repertoar-repertoar standar Klasik Eropa, tetapi juga menampilkan lagu-lagu Nasional, dan lagu lagu daerah maupun lagu tembang dolanan anak yang dikemas dalam aransemen musik orkestra [NI].