Setio Boedi (Ketua Majelis Jemaat GKMI Gloria Patri Semarang Periode 2021-2024)
Foto gereja yang tampak di tulisan ini adalah sebuah “gereja kenangan” masa kecilku (hingga kira-kira aku berusia 18 tahun). Aku memotretnya saat melintasi gereja ini, ketika libur Labour Day, 1 Mei 2024 lalu. Lokasinya di desa kelahiranku, yaitu Desa Banjarejo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Lokasi gereja dari pasar desa ke arah timur, bangunan ketujuh kiri jalan. Kalau pembaca pernah mendengar nama Pratama Arhan, pesepak bola timnas Indonesia yang namanya lagi moncer saat ini, rumah asalnya sekitar 3 KM dari gereja tersebut.
Gereja masa kecilku itu bernama Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI). GKMI adalah salah satu komunitas Mennonite di Indonesia, selain dua sinode lainnya, yakni Jemaat Kristen Indonesia (JKI) dan Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ).
GKMI pertama kali lahir di kota Kudus, makanya ada nama “Muria”-nya, pada 6 Desember 1920. Kemudian menyebar ke kabupaten dan kota-kota di sekitar Kudus seperti Jepara, Pati, Demak, Bangsri, Welahan, dan Tayu. Kemudian pada 5 November 1951, jemaat GKMI dibentuk di Blora.
***
Mungkin masyarakat Indonesia tidak banyak yang tahu mengenai komunitas Kristen Mennonite yang lahir (atau produk) dari gerakan Anabaptis pada abad ke-16. Nama Mennonite diambil dari nama tokoh agama pendiri gerakan ini, yaitu Menno Simons (w. 1561), seorang mantan pastor Katolik Roma dari Belanda.
Saat masih belia sampai remaja pun, aku tidak tahu tentang gerakan Anabaptis dan kelompok Kristen Mennonite. Baru belakangan saya mengenal Anabaptis dan Mennonite setelah kuliah di Semarang dan berjumpa dengan beberapa tokoh GKMI yang ternyata ada dua di antara mereka adalah mantan Presiden Mennonite World Conference (MWC), yaitu Pdt. Charles Christano dan Pdt. Mesach Krisetya (keduanya telah wafat).
Ceramah, kelas pembinaan maupun retreat ditambah dengan membaca berbagai literatur termasuk buku apik karya Sumanto Al Qurtuby yang berjudul Among the Believers:Kisah Hidup Seorang Muslim Bersama Komunitas Mennonite di Amerika” (2011) menolongku untuk semakin banyak mengenali Mennonite (dan Anabaptis). Dalam buku ini, Prof. Sumanto sendiri terkejut bahwa ternyata ada pengikut Mennonite di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 70.000 jiwa yang tersebar di berbagai penjuru Tanah Air dan terbagi dalam tiga kongregasi.
Dalam perjalanan bergereja GKMI Blora, ternyata ada umatnya yang tinggal di desa Banjarejo. Jarak Blora–Banjarejo adalah 12 Kilometer. Sekitar awal dekade 1960-an, dimulai dari beberapa orang bersama keluarganya itulah, diadakan ibadah.
Ada dua nama tokoh penting di GKMI Blora cabang Banjarejo ini yang ikut berperan dalam perintisan maupun dalam perjalanan bergereja di masa selanjutnya. Mereka adalah Tan Giok Sing (kemudian berganti nama Sundarsing, mengambil salah satu tokoh misi di India yang bernama Sadhu Sundarsingh) dan Liem Swie Hwat (kemudian berganti nama menjadi Suwandi). Mereka semuanya telah tutup usia.
***
Gedung GKMI Blora cabang Banjarejo ini, seperti tampak dalam gambar, masih megah meskipun catnya tampak sudah luntur, termakan usia. Halamannya tampak tak terawat. Di bagian depan ditanami singkong dan beberapa tanaman merambat.
Gereja ini sangat berkesan bagiku. Bahkan bukan hanya berkesan, tapi rasanya sangat bermakna dan berjasa. Sejak kecil aku mengenal Tuhan di dalam diri Yesus Kristus, ya melalui gereja ini.
Di gereja ini, aku berumat sejak balita. Sejak menjadi murid Sekolah Minggu (SM) sampai menjadi guru SM (tahun 1985). Beribadah sejak gedungnya masih papan sampai berubah menjadi tembok (dibangun 1980-an), sejak gedung gereja masih membujur timur ke barat sampai berubah utara ke selatan. Sejak masih pakai lampu petromak sampai lampu neon sebagai imbas listrik masuk desa.
Banyak peristiwa di sana yang masih terekam dengan baik dalam ingatan. Itulah sebabnya dalam salah satu bab dari buku Seks, Pernikahan dan Gereja yang kutulis tahun lalu (2023), berdasarkan peristiwa yang terjadi di gereja tua ini.
***
Salah satu kenangan indah di gereja ini adalah ketika masa-masa Natal, di saat kanak-kanak. Saat itu belum ada budaya pohon Natal dari plastik seperti sekarang yang banyak dijual di toko-toko ataupun mal. Saat itu, setiap awal Desember kami mencari dahan pohon cemara, yang kebetulan banyak tertanam di SD Negeri 1 Banjarejo. Tentu saja seizin kepala sekolah setempat. Kami meminta salah satu dahan atau ranting pohon cemara.
Kami pilih dahan yang lurus, yang bagus. Dan yang memungkinkan bisa didekor. Kami potong pohon tersebut dan bawa ke dalam gereja. Akhirnya “pohon cemara” itu berdiri dengan gagah di dalam gereja dengan dihiasi berbagai benda dekorasi.
Masyarakat sekitar gereja, yang semuanya Kristen tetap guyup. Toleransi sangat nyata. Saling menghormati. Ikut bergembira saat kami merayakan Natal. Sampai sekarang belum pernah kudengar ketegangan karena perbedaan agama terjadi di desaku. Karena memang semangat saling menghormati senantiasa terjaga.
***
Tetapi beberapa tahun terakhir, gereja masa kecilku ini tak difungsikan lagi sebagai tempat ibadah. Aku mendapatkan info bahwa beberapa umatnya yang masih ada dan setia, akhirnya kebaktian ke gereja Blora (gereja induk, di GKMI Blora). Kenapa hal ini bisa terjadi?
Sebagaimana yang banyak pula dialami oleh gereja-gereja di daerah pedesaan, yang pertumbuhan atau tepatnya keberlangsungannya banyak dipengaruhi oleh tren urbanisasi, hal ini juga dirasakan terjadi dan berdampak pada gereja masa kecilku, GKMI Blora Cabang Banjarejo.
Selain telah banyak jemaatnya yang sudah berpulang, banyak pula yang melakukan urbanisasi. Pindah ke kota. Termasuk salah satunya adalah diriku sendiri.
Sampai sekarang aku belum pernah mendengar ada protes dari masyarakat sekitar terhadap gedung ini, “Kenapa gedung ini tak dipakai untuk tempat ibadah?!”
Bila di tempat lain banyak yang sulit untuk berkumpul beribadah, rasanya eman (sayang) dan memprihatinkan sekali (apapun alasannya) ketika gedung ini tak lagi berfungsi seperti dulu lagi. Hatiku yang terdalam ada kerinduan, betapa indahnya ibadah puluhan tahun lalu jika bisa terjadi lagi di gereja tua ini. [NI]