Beranda Publikasi Kolom Gending Gamelan, Tontonan yang Tak Tertonton

Gending Gamelan, Tontonan yang Tak Tertonton

1007
Copyright: Southbankcenter.co.uk

Aris Setiawan (Etnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta)

Apakah klenengan gamelan itu sebuah tontonan-pertunjukan? Pertanyaan ini cukup menarik untuk dibaca lebih jauh. Pada satu waktu, di sebuah pendopo kampus seni, terdapat ujian resital atau konser gamelan yang menyajikan gending-gending klasik. Gending-gending itu disebut sebagai karya adi luhung, penyajiannya relatif lama, satu putaran karya (ditandai dengan bunyi gong) membutuhkan waktu panjang. Gending jenis demikian tidak membuncahkan suara menghentak, cenderung pelan, sayu, dan tentu saja kompleks.

Masyarakat karawitan Jawa biasa menyebutnya dengan kategori gending gedhe (gending besar), diciptakan oleh para empu, dipersembahkan pada raja yang sedang berkuasa saat itu. Gending-gending tersebut begitu agung dan memukau di zamannya.  Namun sayang, konser karawitan itu tak banyak ditonton. Jika pun ada, sebagian besar adalah mahasiswa seni karawitan, dan orang-orang di selingkarnya dengan jumlah yang relatif sedikit.

Menjelang konser itu dimulai, terjadi kecelakaan lalu lintas di samping pendopo kampus. Kecelakaan melibatkan pengendara sepeda motor dan mobil pick-up. Darah bercucuran dari kepala pengendara sepeda motor. Tiba-tiba banyak orang yang datang menonton, memotret, dan memvideokan. Satpam kampus bergerak cepat, dengan sigap ia berkata pada semua orang; “bubar-bubar, ini bukan tontonan”.

Apa yang bisa dipetik dari kedua peristiwa itu? Yang dianggap tontonan (konser gamelan) kok tidak menarik untuk ditonton, sementara yang bukan tontonan (kecelakaan) malah menarik untuk ditonton. Pada koteks yang demikian membawa kita untuk bertanya lebih jauh, kembali mempersoalkan apakah musik tradisi kita –klenengan– itu tontonan (atau dalam kategori yang lebih luas disebut: seni pertunjukan)?

Dengan menelisik sejarah, cukup sulit untuk menemukan fakta bahwa seni tradisi kita, terutama gending-gending gedhe itu bisa disebut sebagai tontonan atau seni pertunjukan. Logika sederhananya, pada musik gamelan tidak mengenal apa yang disebut sebagai “konser” atau pertunjukan mandiri selayaknya musik barat. Hampir semua gending gamelan senantiasa bertaut dengan peristiwa-peristiwa budaya masyarakatnya.

Sebutlah misalnya dalam kehidupan masyarakat keraton, gending gamelan dibunyikan pada peristiwa-peristiwa penting seperti: memperingati kelahiran atau penobatan raja, mengiringi raja keluar-masuk singasana, mengiringi tari-tarian, dan lain sebagainya. Jika terdapat momentum gending gamelan dimainkan secara personal atau mandiri, itupun dalam upaya membangun keutuhan peristiwa budaya lainnya.

Begitu pula dalam konteks masyarakat di luar tembok keraton, kehadiran gamelan senantiasa berhubungan dengan peristiwa atau seni pertunjukan lain seperti ludruk, wayang, ketoprak, ritual pernikahan, kithanan, bersih desa, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, tidak ada satu peristiwa yang dengan sengaja menghadirkan gamelan sebagai pertunjukan mandiri untuk ditonton, dinikmati tanpa bertaut dengan fakta budaya di baliknya.

Munculnya institusi pendidikan seni kemudian membawa gamelan sebagai peristiwa mandiri, yakni musik ansih, ditempatkan pada panggung, dinikmati oleh penonton selayaknya pertunjukan musik klasik di barat. Nama yang dimunculkan kemudian juga bukan lagi “klenengan gending-gending gamelan” namun “konser”, “resital”, dan sejenisnya. Hal itu dimaksudkan agar gending-gending gamelan itu dibaca terpisah dengan lingkup peristiwa budaya yang selama ini melekat padanya.

Namun demikian, kita juga dapat mempersoalkan lebih kritis tentang kriteria atau syarat sebuah seni (terutama musik tradisi) disebut sebagai tontonan serta pertunjukan. Hal itu menjadi penting untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan mendasar: kenapa yang disebut tontonan itu tak menarik untuk ditonton?

Seni Kontemplatif

Sebuah tontonan seringkali harus memenuhi prasyarat awal, yakni aspek keterkejutan dan menarik secara visual (karena ditonton, bukan didengar). Sementara sebaliknya, gending gamelan tidak ditampilkan dalam kuasa bunyi yang gemuruh, gaduh, dan tentu saja tak memiliki hasrat untuk atraktif dalam konteks visual.

Para musisi gamelan (disebut sebagai pengrawit) dituntut untuk tidak banyak bergerak, mereka hening dalam kediaman, terlihat mematung, sayu dan menunduk -menghadap instrumen musik yang dimainkannya-. Tubuh mereka membeku dalam lantunan musik yang dimainkannya. Jika ada satu satu dua pengrawit yang banyak tingkah (mengangguk-anggukkan kepala, tubuh bergoyang atau berjoget mengikuti irama musik selayaknya musik pop) maka ia dianggap salah, tidak memenuhi kaidah cara memainkan gamelan yang baik dan benar.

Ada unggah-ungguh yang harus dipahami, bahwa gamelan itu bertaut erat dengan norma dan etika budaya di mana ia hidup dan berkembang. Oleh karena itu, memainkan gamelan tidak cukup dengan menguasai aspek musikalnya saja, namun juga aspek keadaban dengan memperlakukan tubuh untuk tunduk dan terjinakkan.

Terlebih jika bergamelan itu bertali dengan peristiwa budaya dalam tembok keraton, ada semacam tanggungjawab besar tentang kesopanan dan keadiluhungan. Sementara gending yang dimainkan tidak menuntut sorak-sorai, berada dalam ruang yang “mengambang”, antara dinikmati atau sebatas didengarkan sambil fokus pada peristiwa utama (karena gending gamelan itu mengiringi, tidak hadir secara personal).

Oleh karena itu logika sederhana yang dipakai dalam menikmati gending-gending Jawa adalah pada batas antara sadar dan terkantuk. Penikmat gending-gending gamelan lazim memejamkan mata, tertunduk, sesekali hampir tertidur, namun pada saat yang bersamaan ia mengetahui jika ada permainan musikal instrumen yang salah. Dengan seketika ia terbangun, melihat musisi yang keliru dalam bermain. Berikutnya ia kembali terkantuk, dan begitu seterusnya. Matanya tertutup karena memang gending gamelan itu bukan tontonan.

Apa yang mau ditonton dari musisi yang beku, tak bergerak, kepala tertunduk sayu. Gending gamelan dengan gaya demikian diciptakan tidak dalam kapasitas untuk dipertunjukkan, namun sebagai media kontemplasi, menghaluskan budi, membangun empati, dan lebih penting lagi membentuk kesabaran. Baik musisi maupun penikmatnya harus sabar dalam mengolah rasa kemonotonan, pengulangan, tanpa gejolak musikal yang berarti. Kesabaran itu kompleks, untuk terus bertahan hingga sajian gending yang lama dan panjang itu berakhir.

Wajar kemudian di banyak kesempatan gending gamelan digunakan sebagai sarana terapi, bahkan jembatan dalam membangun sisi religiusitas yang mendekatkan manusia dengan tuhannya. Sisi religius ini dibangun dengan memainkan gending-gending tertentu, pada hari tertentu, malam hari dengan semua lampu atau pencahayaan dimatikan. Dalam suasana gelap gulita itu gending berdenting dengan syahdunya, dan hampir semua musisi terlibat pada pengalaman religius transendental yang personal.

Apa jadinya jika kuasa gending yang demikian kemudian dibingkai dalam konteks pertunjukan? Disajikan dalam gedung prosenium dengan kursi penonton yang tertata rapi, dibalut dalam suasana formal. Pertanyaannya, pada sisi mana tontonan (jika bisa disebut demikian) itu ditonton? Masihkah darinya dapat disebut sebagai “konser” atau bahkan “resital”? [NI]

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini