Oleh Nur Syam (Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya)
Jihad pernah menjadi diksi yang diharamkan oleh pemerintah. Jihad dianggap sebagai lawan negara. Jihad merupakan upaya untuk menggulingkan pemerintah yang sah. Melalui Komando Jihad, maka pemerintah dapat melakukan represi terhadap gerakan-gerakan Islam dan mendorong Gerakan Islam yang bercorak bawah tanah.
Hingga sekarang, kata jihad masih menjadi momok bagi sebagian orang. Dan penyebabnya tentu adalah kata jihad yang dipakai oleh sejumlah kaum ekstrimis dan teroris untuk menggambarkan tindakan nekadnya, yaitu melakukan pengeboman atas tempat yang dianggapnya sebagai lambang pengaruh barat di Indonesia. Kata jihad lalu identik dengan kekerasan dan perang.
Memang harus dipahami jika kata ini menjadi momok, sebab memang penafsiran atas jihad adalah perang ofensif. Jihad digunakan untuk menggambarkan perlawanan atas pemahaman agama yang tidak sesuai dengan tafsirannya. Kata jihad lalu dikaitkan dengan konsep thaghut, yaitu anggapan bahwa terdapat sekelompok orang atau pemerintah yang bertindak untuk mengarahkan umat kepada kemungkaran. Di antara instrumen untuk jihad dewasa ini adalah peledakan diri dan orang sekitarnya atau disebut juga sebagai bom bunuh diri.
Fenomena bunuh diri (suicide) pernah diungkapkan oleh Emile Durkheim dalam bukunya yang fenomenal yaitu “Suicide”. Kata suicide ini dikaitkan dengan tindakan menyimpang dari solidaritas sosial. Semakin tinggi solidaritas sosial semakin rendah potensi bunuh diri, dan semakin rendah ikatan solidaritas sosial semakin besar peluang tindakan bunuh diri. Kemudian secara konseptual, kata bunuh diri bisa dikonsepsikan lebih abstrak sebagai perilaku menyimpang. Teori Durkheim ini tidak bisa digunakan untuk menjelaskan tindakan bom bunuh diri di kalangan penganut ideologi kekerasan. Bom bunuh diri melibatkan pemahaman atas ajaran agama yang diyakini kebenarannya.
Tindakan “Supra Rational Choice“
Saya menawarkan konsep yang kiranya relevan untuk memahami tentang tindakan meledakkan diri sendiri dan orang lain yang dijadikan sasaran. Tindakan peledakan diri di dalam konsepsi umum dinyatakan sebagai bom bunuh diri. Konsep tersebut adalah “supra rational choice” atau secara konseptual adalah pilihan tindakan yang dilakukan oleh seorang individu untuk melakukan tindakan yang masuk akal bagi dirinya sendiri dan tidak bagi orang lain. Basis tindakan ini adalah keyakinan atas nama agama atau atas nama kekuatan gaib yang diyakini kebenarannya.
Mereka yang melakukan peledakan diri sendiri atau bom bunuh diri adalah mereka yang mendasarkan tindakannya pada tafsir agama, bahwa membela keyakinan agamanya merupakan tindakan jihad di jalan agama. Jihad dimaknai sebagai perang melawan kekuasaan yang diyakininya sebagai kekuasaan yang dhalim, kekuasaan yang mengajak kepada kemungkaran, dan kekuasaan yang diyakini sebagai kekuasaan yang kafir dan wajib diperangi.
Perang dapat dilakukan secara bersama-sama dan bisa dilakukan secara sendirian. Mereka meyakini bahwa meledakkan diri sendiri untuk tujuan perang di jalan Allah merupakan jihad yang diyakininya sebagai kebenaran. Apalagi juga diyakini bahwa begitu bom itu meledak dan dirinya tercabik-cabik secara fisik, maka rohnya langsung dijemput oleh para bidadari surga yang mengantarkannya untuk menghadap kepada Tuhan sebagai orang yang mati syahid.
Yang sungguh tidak masuk akal bagi kebanyakan orang adalah bagaimana mereka mendalami ajaran agama dalam coraknya yang seperti itu. Ketiadaan ketakutan macam apa yang mendasari mereka melakukan hal-hal seperti itu dan keberanian macam apa yang juga mendorongnya untuk meledakkan bom bagi dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Di antara dalil agama yang diyakininya adalah isy kariman au mut syahidan. Hidup mulia atau mati syahid. You only life once and you only die once. Atau disingkat yodo atau yolo. Slogan yang dijadikan sebagai simbol akan keberanian untuk melakukan peledakan pada diri sendiri dan orang lain di sekitarnya.
Memahami atas tindakan bukan perilaku para pengebom (bomber) dimaksud, tentu sejumlah logika bisa dikemukakan.
Pertama, Tindakan jihad melalui peledakan diri sendiri dan orang di sekitarnya merupakan pikiran rasional yang berbasis pada keyakinan adi kodrati atau keyakinan akan kebenaran yang bersumber dari ajaran agama. Melakukan peledakan diri sendiri merupakan bukti kepatuhan untuk berbuat yang diyakini sebagai kebenaran. Mereka berkeyakinan sedang membela Allah.
Kedua, Mereka melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Ada berbagai macam cara untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, tetapi cara yang paling efektif adalah melalui mati syahid. Hidup mulia atau mati syahid. Membela Allah tidak bisa dilakukan dengan pasir, batu, semen satu truck, tetapi membela Allah harus dengan perang sebagaimana Nabi Muhammad SAW menjalani perang sebanyak lebih dari 80 kali. Angkat senjata, ledakkan bom, dan perang adalah cara tercepat agar menjadi mati syahid dan jaminannya adalah surga.
Ketiga, jaminan kehidupan di dalam alam akherat yang bahagia diyakini sebagai kepastian dengan melakukan perang, angkat senjata atau bahkan meledakkan diri sendiri dan orang kafir. Meledaknya diri sendiri hanyalah sebuah cara untuk membunuh orang kafir. Sama halnya dengan mati di medan laga atau peperangan melawan orang kafir. Siapapun yang melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan tafsir ajaran agamanya, maka dianggapnya kafir dan harus dibunuh. Pemikiran mereka bahwa tujuan menghalalkan segala cara. Membunuh orang kafir harus dilakukan meskipun dirinya juga harus mati. Bagi mereka hal ini merupakan mati syahid.
Konsep supra rational choice ini yang kiranya bisa menjelaskan tentang tindakan peledakan diri sendiri atau bom bunuh diri. Bagi kebanyakan orang yang selama ini menggunakan rational choice, maka tindakan kaum bomber tentu tidak masuk akal. Tetapi bagi mereka tidak ada sesuatu yang tidak masuk akal, sebab yang dijadikan pedoman bukan rasio semata akan tetapi sesuatu yang berada di atas rasio, yaitu kematian di jalan Tuhan. Mereka merupakan orang yang tidak takut mati, sebab mati adalah kepastian. Dan dari pada mati biasa saja, maka lebih baik mati syahid dengan cara meledakkan diri sendiri dan orang di sekitarnya.
Mereka tidak mau memahami bahwa melakukan tindakan mati syahid dengan berperang adalah kala suasananya memang sedang perang untuk membela kebenaran berbasis ajaran agama. Akan tetapi untuk negara Indonesia yang bukan darul harb atau wilayah perang seharusnya tidak dilakukan dengan tindakan berperang. Jika di Afganistan di masa lalu, atau Irak dan Suriah di masa lalu bisa saja konsep perang itu digunakan, akan tetapi bagi negara dan masyarakat yang damai seperti di Indonesia seharusnya tidak ditafsirkan untuk berperang melawan musuh atau kaum kafir.
Jadi tindakan bom bunuh diri tetap saja sebagai tindakan yang bisa dinyatakan sebagai extra ordinary crime karena dilakukan pada sebuah negara dan masyarakat yang damai. Bukankah negara Indonesia ini memenuhi syarat sebagai negara darus shuluh atau negara yang damai sesuai dengan pemahaman banyak pihak. Wallahu a’lam bi al shawab.
Keterangan: esai ini semula diterbitkan di portal Nur Syam Centre