Oleh: Sumanto Al Qurtuby (Founding Director Nusantara Institute)
Sejak Pak Harto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan dan Indonesia memasuki zaman baru yang sering disebut “era reformasi,” berbagai sarjana, ilmuwan sosial, dan pengamat studi keindonesiaan, baik dalam maupun luar negeri, membincangkan tentang redupnya budaya toleransi agama di Tanah Air.
Menurut mereka, masyarakat Indonesia yang dulu dikenal sebagai masyarakat toleran dan ramah tiba-tiba berubah menjadi intoleran dan beringas. Untuk menunjukkan bukti-bukti intoleransi dan keberingasan masyarakat Indonesia itu, mereka kemudian menyajikan sejumlah data dan fakta tentang kekerasan komunal antarkelompok serta tindakan anti-minoritas agama dan sekte di sejumlah daerah.
Tidak bisa dipungkiri, wajah Indonesia dewasa ini memang diwarnai oleh sejumlah aksi kekerasan kolektif, intoleransi, dan gerakan anti-pluralitas. Tetapi, harap diingat juga, itu bukan satu-satunya fakta dan pemandangan yang terjadi di Tanah Air.
Masih banyak fakta dan pemandangan lain yang menggembirakan. Hanya saja sayangnya sebagian besar media, sarjana, ilmuwan dan pengamat sosial kurang begitu bergairah membahas atau menyajikan fakta-fakta harmoni, toleransi dan pluralisme agama di masyarakat.
Ada sejumlah alasan tentang hal ini. Pertama, tema-tema perdamaian dan toleransi agama dianggap datar-datar atau biasa-biasa saja serta kurang gereget dan kurang menarik minat pembaca dan publik pada umumnya. Dengan bahasa lain, kurang laku di pasaran atau tidak layak jual.
Kedua, sebagian besar donor riset di negara-negara Barat, baik pemerintah maupun swasta, lebih tertarik dengan topik-topik tentang gerakan-gerakan kekerasan, terorisme, intoleransi, anti-pluralisme, dan seterusnya, yang dianggap berpotensi mengancam sistem dan nilai-nilai demokrasi, kebebasan sipil, liberalisme, hak asasi manusia, kapitalisme, dan sebagainya.
Para donor ini pada umumnya kurang tertarik dengan tema-tema tentang kohesi sosial, peacebuilding, toleransi agama, atau kerja sama antarkelompok agama di masyarakat. Mau tidak mau, para akademisi dan periset harus menyesuaikan “pesan sponsor” kalau ingin proyek risetnya didanai.
Dari tahun ke tahun saya perhatikan banyak para sarjana, ilmuwan, maupun mahasiswa doktoral di negara-negara Barat yang melakukan riset di Indonesia tentang topik-topik kekerasan dan intoleransi agama tadi yang dilakukan oleh sejumlah kelompok Islam radikal dan intoleran.
Menariknya, dalam menggali informasi, data, bukti, dan fakta tentang kekerasan dan intoleransi agama itu, mereka bukan menggali langsung informasi dan data riset dari para aktor atau pelaku tindakan kekerasan dan intoleransi agama, melainkan bekerja sama dengan kelompok moderat, baik akademisi, aktivis, pemimpin ormas, maupun tokoh agama. Oleh mereka, kelompok moderat ini dijadikan sebagai “resource person” (sumber informasi) yang diwawancarai atau sebagai partner dan asisten riset. Dengan kata lain, kelompok moderat lokal ini hanya dijadikan sebagai kanal atau medium penelitian untuk menggali data di lapangan saja.
Lucunya atau ironisnya lagi, kelompok moderat di Indonesia juga “menikmati” dan riang-gembira dijadikan sebagai “kendaraan riset” tentang kekerasan, radikalisme, dan intoleransi agama di Tanah Air.
***
Apakah betul Indonesia kini telah menjelma menjadi negara intoleran dan anti-kemajemukan? Apakah benar masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, berubah menjadi masyarakat tertutup, konservatif, radikal, ekstrimis, dan intoleran?
Sependek pengamatan dan pengetahuanku, Indonesia masih di “jalur moderat”. Masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi toleransi dan pluralisme agama. Bahwa ada sejumlah kelompok sipil radikal dan intoleran memang benar. Bahwa ada sejumlah ormas yang membolehkan aksi-aksi intoleransi dan kekerasan memang valid. Bahwa ada sejumlah daerah yang memiliki “rapor merah” dalam hal toleransi, perdamaian dan pluralisme agama memang sahih. Tetapi itu tidak bisa dijadikan sebagai ukuran untuk menilai masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Sangat tidak akurat jika menilai masyarakat Indonesia secara keseluruhan yang berjumlah mencapai lebih dari 261 juta jiwa ini dari perspektif sekelumit kelompok radikal. Sangat tidak valid jika mengevaluasi negara Indonesia yang memiliki sekitar 514 kabupaten dan kota serta 82.353 desa dan kelurahan (data Kementerian Dalam Negeri tahun 2015) dari sudut pandang segelintir “daerah intoleran” seperti sebagian wilayah Jakarta atau Bekasi.
Belum lama ini saya pernah memosting di akun Facebook saya tentang rencana melakukan riset tentang daerah-daerah di Indonesia yang memiliki reputasi baik dalam menjaga toleransi agama serta mempunyai catatan sejarah sangat rendah dalam hal kerusan komunal berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan. Sengaja saya menanyakan kepada “jamaah” Facebook tentang daerah mana saja di Indonesia yang masyarakatnya masih toleran dan menjunjung tinggi kehidupan harmoni antaragama.
Diluar dugaan, postingan saya itu mendapat balasan dari ribuan pengguna Facebook yang sangat antusias dengan “proposal riset” saya sambil menunjukkan berbagai kawasan di Indonesia yang masih menjaga tradisi harmoni dan budaya toleransi. Hampir merata: dari Aceh di ujung barat dan Lombok di tengah sampai Maluku dan Papua di ujung timur, masih banyak sekali daerah yang tidak terinveksi oleh virus-virus kekerasan dan intoleransi yang ditebarkan oleh sejumlah kelompok sektarian dan intoleran.
Bahkan di wilayah Jakarta/Bekasi sendiri yang selama ini dicitrakan sebagai “daerah intoleran”, terdapat sebuah kawasan seperti Kampung Sawah yang sangat menjunjung tinggi harmoni dan relasi antaragama sehingga tidak heran kalau daerah ini disebut sebagai “kampung Bhineka Tunggal Ika” lantaran banyak tempat ibadah dan umat beragama yang tinggal di dalamnya.
Indonesia memiliki sejarah sosial panjang dan sudah “tahan banting” menghadapi berbagai serbuan kelompok intoleran agama yang sudah ada sejak beberapa abad silam (lihat berbagai studi yang dilakukan oleh sejarawan Merle Ricklefs seperti Islamization and Its Opponents in Java atau A History of Modern Indonesia). Sejak zaman dahulu, masyarakat Indonesia juga sudah terbiasa hidup dalam kemajemukan (agama, etnis, bahasa dan seterusnya), dan karena itulah motto negara ini adalah Bhineka Tunggal Ika.
Meskipun ada sejumlah orang, karena motivasi ideologi atau doktrin agama tertentu misalnya atau terpengaruh oleh jenis keislaman tertentu, kemudian berubah menjadi intoleran, sebagian besar masyarakat di Indonesia masih itu merawat tradisi toleransi agama. Lihatlah kehidupan di desa-desa dan berbagai daerah diluar Jakarta, bagaimana masyarakat berbagai kelompok agama hidup membaur tetapi tetap memelihara, menjaga, dan mempertahankan keunikan serta menghormati keragaman masing-masing sebagai warisan leluhur dan nenek moyang mereka.
Meskipun sejumlah ormas agama ekstrim dan intoleran bermunculan di sejumlah daerah, mereka hanya berhasil mengelabuhi sekelumit pengikut saja. Mereka gagal menarik simpati dan merekrut mayoritas publik agama di Indonesia karena pada dasarnya masyarakat Indonesia lebih menyukai hidup dalam toleransi, pertemanan, perdamaian, dan harmoni ketimbang dalam intoleransi, permusuhan, kekerasan, dan konflik yang hanya akan merugikan dan membawa bencana semua pihak. Wallahu a’lam.
Keterangan: artikel ini sebelumnya pernah diterbitkan oleh Liputan6.