Oleh: Hasyim Asy’ari (Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, 2022-2027)
Setiap kali musim hujan, cerita tentang banjir dan rusaknya jalan di sepanjang pantai utara (pantura) bagian timur Jawa Tengah menjadi klasik. Keluhan pemakai jalan tentang rusaknya ruas jalan di pantura timur menghiasi berita sehari-hari media massa tiap musim hujan tiba. Jalan rusak akibat banjir hampir selalu menimpa ruas jalan yang menghubungkan Semarang-Demak-Kudus, Semarang-Grobogan lewat Mranggen, maupun Semarang-Grobogan lewat Demak-Godong, dan juga jalur Kudus-Pati-Juwana-Rembang.
Jangankan pada musim hujan, di luar musim hujan pun ruas-ruas jalan itu juga selalu bergelombang, rawan longsor atau amblas, dan labil. Otoritas pemelihara jalan agaknya setiap tahun harus menganggarkan biaya untuk mengembalikan fungsi jalan agar selalu dapat dilintasi, walau upaya itu sekedar untuk menutup lubang-lubang jalan, bukan untuk membuat jalan terjaga kestabilannya.
Tentu saja kondisi ini mengundang pertanyaan, mengapa ruas jalan sepanjang pantura timur Jawa Tengah rawan banjir, bergelombang dan labil? Tulisan ini hendak memberikan penelusuran sejarah singkat untuk menjelaskan kondisi rawan banjir di ruas jalan pantura timur Jawa Tengah itu.
Pulau Muria
Fakta yang agak mengejutkan dan selama ini belum terlalu mengemuka adalah bahwa Gunung Muria dahulu adalah sebuah pulau yang terpisah dengan Pulau Jawa. Antara Pulau Muria dengan Pulau Jawa sebelum abad ke-17 dahulu dihubungkan oleh sebuah selat. Fakta ini diungkapkan dalam kajian-kajian yang dilakukan oleh H. J. De Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1985); Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (1996a, 1996b); dan Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005).
Ketika menggambarkan ekologi letak Demak, dua sejarawan dari Belanda De Graaf dan Pigeaud (1985 : 37) menulis, “Pada zaman dahulu Distrik Demak terletak di pantai selat yang memisahkan Pegunungan Muria dari Jawa. Sebelumnya selat itu rupanya agak lebar dan dapat dilayari dengan baik, sehingga kapal-kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas itu untuk berlayar ke Rembang. Tetapi sudah sejak abad ke-17 jalan pintas itu tidak lagi dapat dilayari setiap saat.”
Selanjutnya De Graaf dan Pigeaud (1985 : 37) menyebutkan, “Pada abad ke-17 selama musim hujan orang dapat berlayar dengan sampan lewat tanah yang tergenang air, mulai dari Jepara sampai Pati di tepi Sungai Juwana. Pada tahun 1657 Tumenggung Pati mengumumkan bahwa ia bermaksud menggali saluran air baru dari Demak ke Juwana, hingga Juwana akan dapat menjadi pusat perdagangan. Boleh jadi ia menginginkan memulihkan jalan air lama, yang satu abad yang lalu masih dapat dipakai.”
De Graaf dan Pigeaud (1985 : 38) menggambarkan, “Jepara terletak di sebelah barat pegunungan, yang dahulu adalah pulau (Muria). Jepara mempunyai pelabuhan yang aman yang (semula) dilindungi oleh tiga pulau kecil. Letak pelabuhan Jepara sangat menguntungkan bagi kapal-kapal dagang yang lebih besar, yang berlayar lewat pantai utara Jawa menuju Maluku dan kembali ke barat. Pada abad ke-17, ketika jalan pelayaran pintas di sebelah selatan pegunungan ini tidak lagi dapat dilayari dengan perahu-perahu yang lebih besar karena telah menjadi dangkal oleh endapan lumpur, maka Jepara menjadi pelabuhan Demak.”
Masih menurut De Graaf dan Pigeaud (1985 : 38), “Yang menjadi penghubung antara Demak dan daerah pedalaman di Jawa Tengah ialah Sungai Serang (dikenal juga dengan nama-nama lain), yang sekarang bermuara di Laut Jawa antara Demak dan Jepara. Sungai itu pada abad ke-18 masih tetap dapat dilayari dengan perahu-perahu dagang yang agak kecil, setidak-tidaknya hingga Godong (sekarang wilayah Kabupaten Grobogan, penulis).”
De Graaf dan Pigeaud (1985 : 157) berani berspekulasi bahwa “…daerah hulu Sungai Lusi atau Serang, yang sekarang bermuara di Laut Jawa di sebelah selatan Jepara. Mungkin dahulu kala sungai ini bermuara di sebuah selat yang dangkal, tempat Demak, Pati, dan Juwana, yang memisahkan Pulau Muria dan daratan Jawa.”
Kajian sejarah lainnya dilakukan oleh sejarawan Perancis Denys Lombard (1996a : 37) menyebutkan, “…di sebelah timur Semarang di mana terletak Gunung Muria (1.602 m), sebuah gunung api yang sudah tidak aktif lagi dan dulu merupakan sebuah pulau.”
Denys Lombard menggambarkan bahwa kota-kota di sepanjang pantura timur Jawa Tengah seperti Demak, Jepara, Kudus, Pati, Juwana dan Rembang adalah pusat perniagaan laut yang ramai pada abad ke-16. Lebih lanjut Denys Lombard (1996b : 52) menuliskan, “Daerah kunci Pesisir pada waktu itu terletak kira-kira di bagian tengahnya, sebelah-menyebelah selat yang ketika itu masih memisahkan Gunung Muria dari tanah daratan Jawa dan yang merupakan jalan lintas alami tempat kapal-kapal dapat berlabuh. Pusat perekonomian, politik dan keagamaan adalah kota Demak yang diperintah Pangeran Trenggana (1504-1546).”
Masih tentang Pulau Muria, Denys Lombard (1996b : 15) menulis, “…pada tahun 1940 Orsoy de Flines mulai suatu penelitian sistematis di daerah perbukitan Grobogan yang terbentuk dari endapan-endapan tersier, antara Semarang dan Blora. Pada zaman dulu, saat Gunung Muria masih berupa pulau, letak bukit-bukit di sekitarnya berdekatan dengan laut. Sekarang letak daerah tersebut agak jauh dari tepi laut, dan di situlah ia menemukan sejumlah besar keramik dari abad ke-8, ke-9 dan ke-10.”
Berdasarkan studi-studi sejarah terdahulu, Denys Lombard bahkan berani berspekulasi bahwa daerah genangan air terusan dari pantai mencapai daerah Kuwu di wilayah Kabupaten Grobogan. Denys Lombard (1996b : 15) menyebutkan, “Pada tahun 1967 R. Soekmono membicarakan kembali beberapa kesimpulan dari laporan Orsoy de Flines dan mencoba menelusuri kembali tepi pantai lama, dan meyakini bahwa Kota Medang kuno yang sering disebut dalam berbagai prasasti abad ke-9 dan ke-10 dan yang masih dikenang dalam beberapa dongeng, terletak di tepi Sungai Lusi, di selatan bukit-bukit Grobogan, dekat Desa Kuwu sekarang.
Di situlah agaknya terletak kota pelabuhan itu, di bagian dalam suatu muara yang dapat dimasuki kapal, tetapi letaknya jauh dari bangunan-bangunan suci dataran Kedu. Untuk mendukung hipotesis yang menarik itu, yang baru dapat dibenarkan setelah diadakan penggalian secara sistematis di daerah itu, Soekmono mengingatkan sebuah kutipan dalam Xin Tangshu mengenai “sumber air asin alami” yang menyangkut He-ling. Perlu diketahui bahwa satu-satunya sumber air asin alami di seluruh Pulau Jawa hanya terdapat di Kuwu, di dekat Sungai Lusi, tempat para petani sekitarnya mengambil garamnya sampai sekarang.”
Jalan Raya Daendels
Kajian yang lebih mutakhir tentang kondisi di sepanjang jalan raya pantura timur Jawa Tengah dilakukan Pramoedya Ananta Toer pada tahun 1995 dan diterbitkan pada tahun 2005 tentang Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Pram (2005 : 7) menulis, “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, membentang 1.000 kilometer sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Sejak dapat dipergunakan pada 1809 telah menjadi infrastruktur penting, dan untuk selamanya.” Jalan Daendels dibangun dalam kurun waktu kurang lebih 1 tahun (5 Mei 1808-1809), sebuah prestasi yang luar biasa untuk membangun ruas jalan yang panjangnya 1.000 kilometer, dan menurut sumber Inggris memakan korban rakyat kecil pribumi sebanyak 12.000 orang tewas karena kerja rodi membangun jalan ini.
Tentang pembangunan Jalan Raya Pos, Pram (2005 : 9) menyebutkan, “Jalanan ini memang termasuk terbaik dan terpanjang di dunia pada masanya. Sama dengan jalan raya Amsterdam-Paris. Nyatanya bukan Daendels yang bikin seluruhnya. Berabad lamanya bagian terbesar jalanan itu sudah ada. Daendels hanya memerintahkan melebarkan sampai 7 meter.”
Pram (2005 : 11-12) melukiskan jarak antara Jalan Raya Pos dengan garis pantai, “Yang ada, barang dua ratus meter dari Jalan Raya Pos, di utara alun-alun Rembang, adalah jangkar besi yang cukup besar berdiri miring, dipagari dengan kayu. Orang percaya, itulah jangkar salah satu dari 26 kapal armada Laksamana Besar Cheng Ho, yang berawak seribu orang setiap kapal, satu abad sebelum Belanda menjejakkan kakinya di bumi Jawa. Jangkar itu sendiri sampai kulihat terakhir pada penghujung tahun 30-an (kini jangkar itu terletak di kawasan wisata pantai Taman Kartini, persis di sisi utara jalan raya di tengah kota Rembang, penulis).
Sampai waktu itu aku percaya itu memang jangkar kapal armada Cheng Ho. Namanya dikenal di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa sebagai Dampo Awang. Tak pernah ada cerita lain yang menyangkal. Sebagai monumen ekologi ia menunjukkan bahwa tempat jangkar itu dahulu tujuh sampai tujuh setengah kilometer di lepas pantai yang cukup dalam. Bisa dipercaya, karena 15 sungai besar dan tanggung, 6 di antaranya sungai pantai, setiap musim hujan menuangkan lumpur dari lereng utara pegunungan kapur Jawa Tengah ke teluk ini. Demak, di seberang barat Semenanjung Jepara, dahulu ibukota kerajaan laut Demak, sekarang pun telah berada tujuh atau tujuh setengah kilometer dari pantai Laut Jawa karena pelumpuran.”
Kondisi tanah yang dihadapi Daendels, Pram (2005 : 26) menggambarkan, “Sedang waktu menggarap ruas Demak-Kudus memotong semenanjung Muria/Jepara, para pekerja berkaparan dalam meninggikan tanah di rawa-rawa Karanganyar (Demak, penulis) baik karena kelelahan, perlakuan keras, maupun malaria yang berabad menghantui wilayah Karanganyar. Malahan semasa mengerjakan ruas ini rawa-rawa Karanganyar sebagian merupakan tepian laut yang menjorok ke darat, lingkungan alam yang cocok jadi habitat buaya.”
Ketika pembangunan jalan raya Daendels sampai wilayah Demak, Pram (2005 : 93) menulis, “Dalam pembangunan jalan sampai ke Demak sejumlah besar sungai pantai kecil-mengecil menghadang para pekerja. Bahkan Demak sendiri dibelah oleh Kali Tuntang yang sedang-sedang saja besarnya.”
Lebih lanjut Pram (2005 : 94) menuturkan, “Sewaktu Daendels melanjutkan usahanya menghubungkan Semarang dengan Demak, medan yang sangat sulit menghadang. Bukan hanya karena tanahnya tertutup oleh rawa-rawa pantai, juga sebagian daripadanya adalah laut pedalaman, atau teluk-teluk dangkal. Untuk bisa membikin jalan kerja pengurukan menjadi pekerjaan pokok.”
Upaya Daendels memutar otak mencari strategi dalam menghadapi medan genangan air untuk pembangunan jalan raya, Pram (2005 : 94) menggambarkan, “Daendels juga diberitakan memerintahkan penggalian kanal di sebelah utara Jalan Raya Pos, bukan saja untuk mendapatkan tanah galian buat menimbun Jalan Raya Pos, juga dimaksudkan untuk menghubungkan Kali Serang di timur dengan Kali Tuntang di barat untuk lalu lintas air, semasa VOC dinamai “Prauwvaartkanaal”. Dengan penggalian sejumlah kanal lain untuk pembuangan air, Daendels boleh bangga berhasil dapat dikeringkan lebih kurang 36.000 bau rawa, yang diubah menjadi sawah.”
Namun demikian, simpul Pram (2005 : 94), “Baik selama dan setelah Daendels, banjir dan air genangan tetap mengancam wilayah rendah ini.”
Tentang Semarang yang selalu dihantui banjir, Pram (2005 : 87-88) menggambarkan, “Sejak dahulu, Semarang adalah daerah genangan Kali Garang. Untuk menyelamatkan kota yang berkembang di bidang ekonomi, industri, dan administrasi, Belanda memotong sungai ini sebelum memasuki kota dalam bentuk kanal banjir, menjurus lurus ke utara sampai ke laut, dinamai Banjir-kanal Barat, karena di timur kota juga digali yang lain, Banjir-kanal Timur, untuk membuang luapan Kali Gempol. Namun ruas Kali Garang yang memasuki kota tetap mengancam Semarang jadi daerah genangannya di musim hujan. Ruas sungai ini dinamai Kali Semarang. Secara periodik, biar pun telah ada kanal banjir di barat dan timur, Semarang tetap terkena banjir 30 tahunan.”
Dari sejumlah kajian sejarah tersebut, dapat diperoleh gambaran bahwa ruas jalan raya sepanjang pantura timur Jawa Tengah dahulu adalah daerah genangan air. Wilayah tersebut sebelum abad ke-17 adalah daerah perairan berupa selat yang menghubungkan Pulau Muria dengan Pulau Jawa. Ketika jaringan jalan raya Anyer-Panarukan yang dibangun Daendels melintasi Semarang-Demak-Kudus, daerah itu adalah rawa-rawa, bisa jadi hasil pengendapan selat setelah abad ke-17. Dengan kata lain, struktur tanah yang ada pada jalur Semarang-Demak-Kudus, Kudus-Pati-Rembang, dan Semarang-Demak-Grobogan adalah tanah muda yang belum benar-benar stabil, sehingga rawan banjir, bergelombang dan rawan amblas.
Pada akhirnya untuk “membendung” banjir dan rusaknya jalan di sepanjang pantura timur Jawa Tengah, maka sudah saatnya pihak yang punya otoritas memelihara jalan harus berpikir bahwa medan yang sedang dihadapi adalah “bekas selat” dan “rawa-rawa yang diuruk dan dikeringkan”. Dengan cara berpikir yang demikian ini, diharapkan pemeliharaan jalan raya pantura timur Jawa Tengah tidak lagi sekedar “tambal sulam”, namun lebih terencana dan terstruktur dengan didahului kajian-kajian sejarah kondisi tanah yang dihadapi. Sampai di sini maka tepatlah ungkapan Bung Karno “jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah”.
Catatan: tulisan ini pernah dimuat di Suara Merdeka