Oleh: Moch. Anil Syidqi
Pelaku Seni
Era disrupsi merupakan suatu era terjadinya inovasi dan perubahan besar-besaran, yang secara mendasar mengubah semua sistem dan tatanan yang ada ke cara-cara baru. Di era ini, kebanyakan orang telah mengalihkan sebagian besar aktivitas dan kegiatannya, yang semula bisa dikatakan manual menjadi serba internet dan digital; belanja lewat e-commerce, kirim-terima uang menggunakan ATM, membaca koran secara online (tidak lagi lembaran kertas), siaran televisi beralih ke sistem digital, tak terkecuali juga berkesenian.
Pada kesenian Angklung Banyuwangi, misalnya, para pelaku dan penggemar memanfaatkan internet dan media digital sebagai sarana penyebarluasan informasi tentangnya (angklung) ke platform-platform yang tengah tenar (antara lain YouTube, Whatshapp, dan Facebook).
Dengan merebaknya internet dan teknologi digital pula, barangkali saat ini apresiasi Angklung nisbi menjadi lebih mudah. Ketika di suatu tempat (bahkan yang jauh dari lokasi kita berpijak sekalipun) berlangsung pementasan Angklung, kita dapat menyaksikannya hanya lewat beranda media sosial (Facebook dan Instagram misalnya), status WhatsApp, live streaming YouTube (jika ada), ataupun meminta rekan kita di lokasi untuk mendokumentasikan, lalu dikirim ke WhatsApp kita – meskipun dengan kekurangan-kekurangan yang ada. Bahkan, tampaknya semua kesenian pun sama. Sedemikian itu peran teknologi bagi kehidupan kita.
Bila dibandingkan dengan dahulu (sebelum maraknya penggunaan internet oleh masyarakat Indonesia), situasinya relatif runyam dan menyulitkan. Butuh effort (usaha) lebih untuk itu. Menyaksikan pementasan Angklung harus datang ke lokasi. Artinya, tidak ada opsi lain. Siang-siang terik berbondong-bondong datang menunggangi motor, dan berdiri berdesak-desakan. Yang parah kala sedang jauh (merantau), sangat mungkin sekali melewatkan banyak pementasan kelompok Angklung kesayangan.
Sebelum membahas persoalan di atas lebih lanjut, kiranya kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa itu Angklung Banyuwangi, dan bagaimana kisah historis tentangnya.
Angklung (Banyuwangi): Jenis, Pengertian, dan Kilas Sejarah
Di banyak tempat di Indonesia, Angklung memiliki karakteristik dan nama berbeda. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah: bahwa pada prinsipnya semua Angklung (atau dengan sebutan lain) merupakan instrumen berbahan dasar bambu.
Beberapa jenis Angklung di Indonesia, antara lain angklung Sunda, angklung Reyog, calung Banyumas, serta rindik dan jegog Bali. Angklung Sunda berbentuk kotakan-kotakan kecil berisi dua buluh bambu bernada sama setiap kotaknya. Angklung pada kesenian Reyog sekilas mirip dengan angklung Sunda, pun sama-sama dimainkan dengan cara digoyang.
Istilah calung digunakan oleh masyarakat seni Banyumas dan sekitarnya. Calung Banyumas memiliki bentuk hampir menyerupai alat musik gambang pada gamelan Jawa. Sementara, di Bali terdapat rindik dan jegog, yang memiliki bentuk fisik dan cara main sejenis dengan instrumen angklung Banyuwangi (dipukul atau di-tabuh).
Angklung, bagi masyarakat seni Banyuwangi memiliki dua pemahaman, yaitu: 1) Angklung sebagai instrumen, dan 2) Angklung sebagai ensembel. Pertama, Angklung sebagai instrumen. Artinya, penuturan istilah Angklung dimaknai sebagai sebuah instrumen berbahan dasar bambu – dengan bilahan atau tabung bambu yang disusun sedemikian rupa di atas rancak kayu, mulai nada rendah hingga tinggi.
Kedua, Angklung sebagai ensembel memiliki makna bahwa penuturan istilah Angklung oleh masyarakat seni Banyuwangi dipahami sebagai sebuah ensembel atau serancak alat musik yang terdiri atas instrumen (alat musik atau ricikan) selentem, saron, peking, kendang, gong, ketuk, dan instrumen angklung itu sendiri.
Secara genetik, Angklung Banyuwangi adalah pengembangan dari kesenian Angklung Paglak. Kesenian ini merupakan jenis kesenian Angklung yang dipergelarkan di atas paglak (gubug tengah sawah) dengan ketinggian sekurangnya 2-5 meter. Barangkali sebab itulah disebut dengan Angklung Paglak.
Dahulu kala, Angklung Paglak berfungsi sebagai hiburan para petani semasa musim tanam dan panen padi. Selain itu, Angklung Paglak dijadikan pula sebagai media pengusir hama khususnya burung pipit, dan merupakan simbol undangan untuk masyarakat sekitar sawah agar segera datang membantu proses pemanenan padi. Sedangkan sekarang, Angklung Paglak lebih difungsikan sebagai musik penyambutan dalam acara-acara tertentu saja.
Pengembangan Angklung Paglak menjadi ensembel Angklung Banyuwangi terjadi sekitar tahun 1921. Ketika itu, Mbah Druning, seniman asal Bali yang menetap di Banyuwangi menambahkan alat musik dari Bali, seperti selentem, saron, dan ketuk ke dalam ensembel Angklung Paglak – yang saat itu hanya terdiri atas sepasang angklung (The Dynamics of Traditional Art “Angklung Caruk” Banyuwangi Regency 1999-2018, Jurnal Historica: Oktober 2019).
Dari sanalah kemudian berkembang beragam kesenian angklung di Banyuwangi, antara lain Angklung Bali-Balian, Angklung Caruk, Angklung Daerah, dan Angklung Dwi Laras, dengan perbedaan ciri dan karakteristik masing-masing.
Saatnya Merambah ke Ranah Digital
Pada zaman sekarang, fleksibilitas kiranya jadi sebuah ciri dan karakteristik yang dikedepankan dalam segala aspek kehidupan. Oleh sebab itulah kemudian, banyak inovasi-inovasi produk yang mengedepankan sisi fleksibilitas ini. Misalnya, telepon genggam atau gawai.
Benda tersebut diciptakan sebagai terobosan alat komunikasi terbarukan yang lebih fleksibel dibandingkan dengan pendahulunya (pesawat telepon) yang susah dibawa ke mana-mana. Demikian pula halnya dalam dunia seni, khususnya Angklung Banyuwangi.
Selain fleksibilitas, di era internet dan digital ini, Angklung Banyuwangi juga dituntut jadi produk seni yang mudah diakses, dikemas semenarik mungkin, dan melek teknologi. Semua itu bertujuan agar konsumen atau penikmat seni dapat dengan mudah mengapresiasi dan menikmati konten atau produk seni di mana dan kapan saja.
Tak hanya dari segi penonton atau penikmatnya, Angklung Banyuwangi juga dapat diatur sedemikian rupa agar lebih efektif dan efisien sedari proses produksi. Menata manajemen latihan (terkait durasi per latihan, serta ketepatan waktu dalam memulai dan mengakhiri latihan), jangka waktu produksi, dan efektivitas proses, karena semua hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap psikologis dan produktivitas para seniman pelakunya.
Sementara itu, adanya MIDI (Musical Instrument Digital Interface) atau musik digital dapat mempermudah dan menjadi solusi untuk meminimalisir dana produksi yang terkadang menghambat proses berkesenian. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada, MIDI boleh dipertimbangkan bagi para pelaku seni Angklung yang aktif berkreasi.
Dapat dicoba pula merambah ke aplikasi-aplikasi musik kekinian, antara lain Spotify, Pandora, dan iHeartRadio, untuk menjangkau kalangan pasar yang lebih luas. Kemasannya hanya berupa audio, tanpa gambar. Rekaman-rekaman audio lawas dapat pula diolah ulang, lalu diunggah.
Berkaitan dengan pengolahan ulang (make over), saya teringat ucapan Gondrong Gunarto (komposer gamelan asal Kota Solo). Di satu momen diskusi acara Parade Gamelan 2022 Provinsi Jawa Timur, Gondrong disuguhi sajian lagu dan gending Banyuwangen (Angklung Banyuwangi). Usai mendengarkan salah satu sajian ia berkata, “Jika sajian ini (tampilan lagu tradisi) dijual ke orang bule, saya rasa sudah cukup laku. Tetapi, bila targetnya adalah anak-anak muda kita, perlu sedikit sentuhan akan laku, karena musik Banyuwangi sudah berkarakter kuat.”
Dengan sejumlah upaya di atas, barangkali akan turut menderek eksistensi kesenian Angklung Banyuwangi. Sebab di era sekarang ini, suatu hal apa pun dapat dengan mudahnya viral. Semakin merebaknya konten-konten tentang Angklung Banyuwangi, dibarengi dengan pengemasan yang baik dan menarik, bukan tidak mungkin pada akhirnya jangkauan apresiatornya turut melebar dan menjalar cepat ke banyak kalangan (muda sampai tua).