Beranda Publikasi Kolom Gatholoco: Kitab Lelaki Sejati

Gatholoco: Kitab Lelaki Sejati

9472
0
Oleh: Aryono (Kolomnis historia.id)
Setelah mendapatkan izin dari Maharaja Suksma Wisesa, Gatholoco meninggalkan kerajaan Jajar untuk berpetualang. Ayahnya memperingatkan putra satu-satunya untuk berhati-hati terhadap lawan yang akan dia hadapi, Perjitawati, yang tinggal di gua Terusan. Gatholoco hidup dengan madat, minum, dan berjudi, didampingi punakawannya, Dermagandhul.

Gatholoco bertemu dengan tiga guru pesantren yang sedang mengajarkan ilmu agama kepada murid-murid mereka. Para kiai ini meremehkan penampilan Gatholoco, si buruk rupa. Ketika tahu namanya, semua tertawa, menganggap nama itu jorok, haram. Gatholoco lalu menerangkan arti namanya: gatho kepala dan loco alat untuk menggosok. “Itulah laki-laki sejati.”

Para kiai ini meremehkan penampilan Gatholoco, si buruk rupa. Ketika tahu namanya, semua tertawa, menganggap nama itu jorok, haram. Gatholoco lalu menerangkan arti namanya: gatho kepala dan loco alat untuk menggosok. “Itulah laki-laki sejati.”

Perdebatan pun terjadi. Dari soal nama merembet masalah ilmu, sifat keilahian, Islam, alam semesta, dan sebagainya. Akhirnya Gatholoco memenangi perdebatan.

Gatholoco adalah tokoh dalam Suluk Gatholoco, khasanah sastra Jawa yang kontroversial karena dinilai anti-Islam. “Serat Gatholoco ini adalah sebuah bentuk sastra peralihan dari masa Majapahit ke masa Islam. Suasana kala itu menggambarkan betapa banyak orang mengagungkan syariat,” ujar Damardjati Supadjar, guru besar Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Damardjati kurang setuju pandangan bahwa suluk itu bukanlah sindiran kepada umat Islam namun pepenget (pengingat) bagi mereka yang mengagungkan syariat. “Padahal semestinya tak berhenti di sini saja. Setelah syariat yang informatif, masih ada bentuk lebih lanjut yaitu tarekat yang transformatif, hakekat yang konformatif, dan pada akhirnya akan berpuncak pada makrifat yang illuminatif, yang mencerahkan,” ujarnya. “Dalam Jawa, Jiwa kang Kajawi mencakup syariat, tarekat, hakekat, dan makrifat. Sejalan dengan Serat Wedhatama yang mengulas sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa.”

Senada dengan Damardjati, Heru Nurcahyo, yang tesisnya di Center of Religious and Cultural Studies UGM tentang Gatholoco diterbitkan jadi buku berjudul Jalan Jalang Ketuhanan, suluk ini tidak anti-Islam, bukan pula Jawa chauvinistic. “Justru ia hadir untuk menuntaskan pemahaman mengenai Islam itu sendiri,” katanya.

Kontroversi yang Menyertai

Pada Februari 1872, Carel Poensen, misionaris Belanda yang menghabiskan hampir 30 tahun di Kediri, Jawa Timur, mendiskusikan karya ini dengan beberapa asistennya, orang Jawa Kristen. Bagi Poensen, dari sudut pandang sastra, karya ini kurang berharga. Tapi menilik semangatnya, penulis karya itu menyodorkan konsepsi mengenai akhlak dan kebajikan, yang sayangnya tanpa kearifan dan kesopanan. “Bahkan ia kerapkali membuat kami muak, karena dia tak menahan diri dari melakukan hal-hal yang paling sepele untuk publikasi, dan dengan cara yang menjijikkan masuk ke detail tentang hal-hal yang tak layak disebutkan.”

Poensen khawatir dengan dampaknya bagi pembaca. Selain vulgar, isinya mempermalukan umat Islam, orang-orang yang membawanya ke Jawa, dan “kaum putihan” yang pada 1870-an meperkenalkan reformasi Islam. Dia pun berusaha agar karya itu tak menyebar ke mana-mana.

Menurut Merle Calvin Ricklefs dalam Polarising Java Society: Islamic And The Other Visions 1830-1930, ada dua karya lainnya yang berkaitan dengan suluk ini dan juga mengajukan argumen anti-Islam: Babad Kedhiri dan Serat Dermangandhul. Ketiganya, muncul pada dekade tanda-tanda kebangkitan Islam di Jawa, menyebut konversi agama Jawa ke Islam sebagai kesalahan peradaban. Ricklefs memperkirakan, satu atau lebih priyayi di Kediri menyusun sebuah pandangan baru dan tak lazim mengenai Islamisasi di Jawa pada awal 1870-an.

Belum jelas siapa penulis Suluk Gatholoco ada kapan persisnya. Phillipus van Akkeren, misionaris di Jawa Timur, memperkirakan terbit pada 1830 yang isinya mencerminkan reaksi luas di kalangan kelas melek huruf di Jawa atas kegagalan total kepemimpinan politik Islami Diponegoro. GWJ Drewes, seorang orientalis Belanda, melihat kesamaan suluk itu dengan Serat Dermagandul dan Babad Kedirί –yang menceritakan kejatuhan kerajaan “Hindu-Buddha” Majapahit akibat koalisi Islam yang dipimpin Demak, sekira 1878. Senada dengan Ricklefs, Benedict Anderson, seorang Indonesianis, berdasarkan deskripsi tentang madat di pedesaan Jawa yang tampaknya sesuai dengan keberadaan sistem pertanian-opium, memperkirakan tahun 1860 atau bahkan awal 1870-an.

Suluk Gatholoco beredar dalam bentuk naskah pada 1883 dan kali pertama diterbitkan secara terbatas sebagai buku di Surabaya pada 1889. Ketika terbit, tak ada reaksi publik yang bermusuhan. Namun, respon tajam tajam muncul ketika pada Januari 1918, suratkabar berbahasa Jawa Djawi Hiswara, organ Sarekat Islam cabang Surakarta, menerbitkan sebuah artikel yang memfitnah Nabi Muhammad sebagai pemabok dan pemadat, berdasarkan bagian dalam Suluk Gatholoco. Sejumlah aktivis Islam yang dipimpin HOS Tjokroaminoto meresponnya dengan membentuk Tentara Kangjeng Nabi Muhammad.

Muncul pula kecaman dari pers pribumi, unjuk rasa di Surabaya dan 42 lokasi di seluruh Jawa, serta desakan agar pemerintah kolonial menuntut editor Martodharsono dan penulis artikel Djojodikoro. Tapi kontroversi itu kemudian mereda, digantikan isu lainnya.

Sejak itu, Suluk Gatholoco beredar di bawah tanah. Tak ada penerbit yang mau ambil risiko menerbitkannya; takut dicap murtad atau penyebar pronografi.

Pada 1951, Philippus van Akkeren menerbitkan teks utuh Suluk Gatholoco untuk kali pertama, lengkap dengan terjemahan dan analisisnya. Judulnya Een gedrocht en toch de volmaakte mens: A Monster, Yet the Perfect Man, diterbitkan Penerbit Excelsior di The Hague. Di Indonesia, setahun sebelumnya, terbit Balsafah Gatholotjo oleh Tanaya (juga ditulis R Tanojo). Kemudian muncul Balsafah Gatolotjo: Ngemot Balsafah Kawruh Kawaskitan karya Prawirataruna, diterbitkan Penerbit S. Mulija, Solo, pada 1958.

Sejak 1963, berdasarkan UU No 4/PNPS/ 1963, pemerintah melarang Suluk Gatholoco. “Semua bentuk dan versi Serat Gatholoco dilarang pemerintah, karena isinya anti-Islam dan porno,” ujar Heru Nurcahyo.

Lelaki Sejati

Setelah berdebat dengan tiga kiai, Gatholoco melanjutkan perjalanan. Dia menuju Gunung Indragiri dan berjumpa dengan Perjitawati. Kembali dia berdebat dan menang. Akhirnya Gatholoco diundang masuk ke gua, “berhubungan seks” lewat kemampuan puisi metaforanya.

serat tersebut bukan untuk memuja seks, melainkan untuk menunjukkan bahwa ujian syariat terberat adalah seks.

Banyak orang menganggap Suluk Gatholoco lebih nakal ketimbang Serat Centhini, bahkan porno. Ia juga membenarkan dan menganjurkan hubungan seks sebagai salah satu cara “berdialog” dengan Tuhan, salah satu pengaruh Tantra. Selain itu, beberapa tokoh di sekitar Gatholoco punya nama yang berkonotasi dengan seksualitas; dari Demagandhul hingga kelima istri Gatholoco.

Damardjati Supadjar menyebut serat tersebut bukan untuk memuja seks, melainkan untuk menunjukkan bahwa ujian syariat terberat adalah seks. “Gatholoco hendak menyampaikan pesan yang berjenjang, dari tingkat dasar hingga tinggi. Saat ini seks sudah menjadi keluar jalur. Seks digunakan secara sembarangan,” ujarnya.

Bagi Ben Anderson, aktivitas seksual dalam Suluk Gatholoco memiliki tujuan tunggal: “prokreasi dari Gatholoco baru, embiro Lelaki Sempurna, siap satu hari menggantikan ayahnya dalam perang agama di Jawa,” tulisnya dalam “Professional Dreams: Reflections on Two Javanese Classics” dalam Language and Power.

Namun, lanjut Anderson, Gatholoco tak cocok dengan model tradisional pahlawan Jawa; prajurit-ksatria yang anggun, resi petapa yang bijak, Muslim yang saleh ataupun raja yang budiman. Gatholoco dan penulisnya juga sama sekali tak berminat pada daftar dan keberagaman ajaran yang mereka tampilkan.

”Hanya ada satu pengetahuan yang dianggap penting –pengetahuan mistis tentang Lelaki Sejati– dan Gatholoco memaparkan kerumitannya dan mempertahankannya dengan penuh kemarahan dan kasar, kebijaksanaan yang liar dan urakan.[]

Sumber: historia.id

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini