Oleh: Aris Setiawan (Etnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta)
Akhir-akhir ini, masyarakat dunia seni pertunjukan, terutama gamelan, gaduh memperbincangkan beberapa potongan video yang memperlihatkan perilaku sinden mutakhir. Sinden adalah vokalis dalam karawitan Jawa, yang terkenal lembut dan sayu. Namun, dalam video itu nampak seorang sinden pada pertunjukan wayang kulit sedang terlibat komedi dengan seorang pelawak. Tiba-tiba musik jaranan berbunyi, dan sang sinden berdiri, menari, lalu naik ke punggung pelawak. Paha putih sang sinden terlihat jelas.
Sambil berjoget kegirangan, sang pelawak bersorak suka cita. Karena dirasa sudah terlalu lelah memanggul tubuh sinden, pelawak itu menurunkannya, dan sontak celana dalam sang sinden kelihatan. Semua penonton tertawa, dalang ikut bergembira. Sinden itu mendapat penghormatan atas prestasinya mampu naik ke punggung pelawak dengan memakai jarik batik ala perempuan Jawa terhormat. Tawa di atas panggung berujung cacian dan hujatan bertubi-tubi di tengah publik.
Sementara dalam video lain, seorang sinden nampak memanjat tiang panggung (rigging stage) yang tinggi menjulang. Ia laksana Tarzan, bergelantungan di pohon. Ia masih memakai pakaian lengkap selayaknya seorang sinden. Ia bernyanyi, kemudian pantatnya digoyang maju mundur. Padahal bisa dipastikan, saat ia jatuh misalnya, tulang-tulangnya akan remuk. Kenekadan itu dilakukan tanpa pengaman sama sekali.
Ironis memang. Sebegitu memprihatinkan dunia kepesindenan di tanah Jawa akhir-akhir ini. Sinden yang dalam realitas sejarahnya adalah seorang musisi karawitan sebenarnya tak memiliki kuasa berlebih pada tubuhnya selain pada kemampuan vokalnya. Ada semacam transformasi perubahan yang signifikan dalam diri pesinden saat dunia kini lebih mendambakan citra visual (tontonan), sehingga urusan kualitas suara bisa dikesampingkan.
Posisi
Dalam panggung pertunjukan gamelan di Jawa, kita tahu, bahwa posisi duduk sinden memang di depan, sejajar dengan instrumen rebab, gender, dan bonang. Itu karena sinden termasuk bagian dari āinstrumen garapā, instrumen yang memiliki posisi dalam membentuk alur melodi gending selayaknya instrumen sejenis seperti rebab, gender, dan bonang. Apabila sinden tidak ada, maka kehadirannya dapat diwakili oleh instrumen melodi lain, sebutlah rebab misalnya.
Oleh karena itu, sinden adalah satu-satunya instrumen garap yang cara membunyikannya dengan olah vokal, sementara instrumen melodi lain digesek (rebab) dan ditabuh (gender). Seorang penikmat gamelan tidak menikmati sajian instrumen secara parsial, atau sendiri-sendiri, sebutlah misalnya hanya menikmati suara sindenannya saja, atau suara kempulnya saja. Namun penikmatan dilakukan secara menyeluruh, membulat, utuh, yakni gabungan antara satu bunyi instrumen dengan instrumen lainnya.
Oleh karena itu karya gamelan disebut sebagai gending, bukan lagu, nyanyian, atau bahkan musik. Gending adalah capaian musikal tertinggi yang dapat dihadirkan dari keseluruhan permainan gamelan. Gending adalah bunyi gamelan yang saling jalin-menjalin, mengisi kekosongan ruang, melengkapi, dan bermuara pada satu kesepahaman yang sama: rasa estetik.
Pada bahasa yang lebih sederhana, dalam memainkan instrumen gamelan, ada empati yang harus terus dijaga, yakni untuk tak menjadi paling menonjol di antara yang lain. Wataknya yang demikian menyebabkan pemain gamelan tidak memiliki kuasa berlebih untuk menjadi paling ādilihatā dan paling superior. Mereka memainkan gamelan dalam suasana khudus, sayu, dengan ekspresi wajah yang āflatā.
Mereka tidak diijinkan untuk tersenyum, memperlihatkan ekspresi wajah bergembira ria, tertawa, juga sebaliknya sedih dan menangis. Tubuh mereka membeku, untuk sebanyak-banyaknya mengurangi gerakan badan, persis seperti seorang pandita yang sedang bertafakur, semedi, dan bertapa.
Bukan Penyanyi
Tidak terkecuali sinden. Ia memang seorang vokalis, namun bukan penyanyi. Penyanyi senantiasa menjadi pusat pertunjukan. Ia tampil terdepan, sehingga kualitas wajah penyanyi menjadi āharga jualā tersendiri. Penyanyi itu harus cantik, dan akan lebih sempurna jika diimbangi dengan bentuk tubuh seksi.
Namun sinden tentulah tidak demikian. Ia memakai busana sebagaimana perempuan Jawa lawas yang anggun. Jarik yang dikenakannya sengaja membatasi langkah dan geraknya agar tetap dalam koridor yang dianggap patuh dalam ukuran norma-norma budaya.
Sinden menjadi representasi tentang emansipasi perempuan Jawa, di kala kuasa kultural seringkali menempatkannya sebagai āsosok belakang layarā yang hanya hidup di dapur dan kamar, namun lewat gamelan mereka dapat menunjukkan eksistensi dan citra dirinya yang lain. Sinden adalah simbol perlawanan, dekonstruksi wacana atas tubuh perempuan di Jawa.
Sinden tampil dengan kuasanya yang ādalam ekosistem gamelanā dijunjung sebagai perempuan tahu adab dan norma. Karena ia bukan penyanyi yang harus memoles wajah secantik mungkin dan tubuh seseksi mungkin. Ia cukup berbekal suara indah. Dalam konteks yang demikian, sinden tidak dituntut untuk memahami lirik atau arti dari teks musikal yang disenandungkannya.
Sekali lagi, karena ia bukan penyanyi, ia cukup menyuarakan lirik (tembang), dan tidak ada beban lebih dalam menyampaikan pesan yang terkandung dalam lirik itu kepada audiens. Tembang itu ditulis dalam bahasa Jawa yang kompleks, rumit, dengan lapis-lapis makna di dalamnya. Sementara lirik dalam nyanyian musik pada umumnya haruslah mudah dipahami dan dicerna. Berangkat dari hal itu, wajah sinden juga tidak memiliki kuasa dalam bermain mimik, tertawa, sedih, dan tersenyum.
Tiba-tiba, dalam diktum waktu yang mendamba segala hal berbau konfliktual dan viral, sinden tercerabut dari akar tradisinya. Sinden bermetamorfosis sebagai penyanyi, merias wajah dan tubuhnya menjadi lebih menarik di depan mata-mata lelaki penonton. Ia tampil paling depan dengan polesan make-up paling menor. Ia berdiri, berjoget sensual, dan melakukan atraksi-atraksi yang oleh sebagian kalangan dianggap ātidak beradabā.
Dalam pertunjukan-pertunjukan gamelan dan wayang kulit, nama-nama pesinden menjadi pikat tersendiri dalam menarik antusias penonton. Sinden-sinden yang sedang viral digandrungi untuk dihadirkan, ditonton dengan penuh tawa dan tepuk tangan. Bahkan sinden juga harus pandai membanyol, pandai merayu, dan pandai menarik simpati penonton. Sementara sinden-sinden yang memegang teguh prinsip dan adab kebudayaannya tak laku, tak dikenal, dan hanya menjadi āetalaseā kajian dalam penelitian-penelitian ilmiah.
Dunia sinden sekarang harus tampil spektakel, glamour, dan gaduh. Hari ini kita melihat paha putih pesinden, pantat yang bergoyang, atraksi manjat tiang panggung, dan naik punggung pelawak, barangkali sebentar lagi kita juga akan melihat sinden kayang, salto, dan jumpalitan di atas panggung pertunjukan di Jawa, entah wayang atau juga klenengan.
Penonton tertawa lepas penuh sorak sorai, mereka diperbincangkan, dihujat, namun tak menyurutkan atensi publik untuk kembali menanggapnya. Apapun muaranya adalah kepentingan ekonomi, kendatipun dalam banyak perbincangan diungkapkan: āKebudayaan adalah benteng terakhir sebuah peradabanā. Ah ternyata itu hanya jargon dari tukang-tukang yang melankolis, tak rela kebudayaannya hancur hanya karena urusan paha dan pantat sinden. Aduh!!
Pada dasarnya sinden itu tidak boleh berdiri , dulu ada dalang yg tudak membolehlan sindennya berdiri. Sekarang sudah membolehkan. Berbeda dengan ledhek yg bisa menyajbyi sambil berjoget.