Oleh: Akhmad Idris (Dosen Bahasa Indonesia di STKIP Bina Insan Mandiri Surabaya)
Kerajaan Majapahit merupakan satu di antara kerajaan besar di negeri ini. Saking besarnya, penentuan ibu kota maupun pusat kota ini masih saja menjadi perdebatan tanpa ujung. Banyak sekali candi maupun prasasti yang menjadi bukti-bukti kebesarannya, mulai dari yang banyak diketahui orang hingga yang sangat sedikit diketahui.
Sabtu (21/1) saya mengunjungi beberapa situs di Sidoarjo yang baru saja[1] ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Daerah. Satu di antara situs yang saya kunjungi adalah Candi Lemah Duwur. Candi ini diperkirakan sebagai peninggalan Kerajaan Majapahit. Meskipun menjadi tempat bersejarah dari kerajaan besar, tidak banyak orang yang tahu tentang keberadaan candi ini.
Hal ini disebabkan oleh lokasinya yang cukup terpencil dan di tengah area persawahan yang mungkin dianggap sebagai tempat petani berteduh atau malah dikira makam angker. Padahal, keterpencilan ini yang membuat candi ini terlihat unik. Selain unik, keterpencilannya juga mengundang pesona mistik menurut penduduk setempat. Kok bisa?
Tempat Healing, Tempat Peribadatan, Tempat Bersih Desa, hingga Sarang Ular
Candi Lemah Duwur terletak di Desa Pamotan, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Akses jalan menuju candi ini sebenarnya cukup baik (tidak makadam), namun lebar jalannya memang sedikit menyempit karena berada di area perkampungan. Selain itu, tak ada area parkir yang disediakan, sehingga jika membawa mobil atau sejenisnya akan kesulitan. Jika gowes atau bersepeda motor, sepedanya dapat diparkir di depan area candi yang telah dibuatkan jalan setapak berpaving karena candi berada tepat di tengah-tengah kompleks persawahan.
Di luar hal yang telah disebutkan, candi ini benar-benar sangat memesona. Area persawahan yang hijau, semilir angin yang sejuk, keberadaan dua pohon (yang sangat) besar seolah menjadi payung yang meneduhkan, serta kegagahan gunung Penanggungan menjadi kombinasi paripurna untuk menjadikan candi ini sebagai tempat healing yang ramah di kantong sejauh ini masih gratis.
Menurut Mas Didik Setiawan selaku juru pelihara candi ini, Candi Lemah Duwur merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit yang sudah ditemukan sejak zaman Hindia-Belanda. “Dulunya candi ini digunakan sebagai tempat peribadatan. Hal ini dapat dilihat dari letak area masuk candi yang menghadap ke gunung Penanggungan,” jelas Mas Didik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Bernbaum (2006) bahwa gunung memang memiliki sakralitas sendiri sebab mitos tentang gunung sebagai tempat bersemayam para dewa.
Penamaan Candi Lemah Duwur sendiri dilatar belakangi oleh letak area candi yang berada di atas dibandingkan dengan area sekitarnya. Lemah dalam bahasa Jawa berarti tanah, sedangkan Duwur berarti tinggi atau atas. Cukup masuk akal jika dulunya tempat ini dijadikan tempat peribadatan, karena letaknya yang paling tinggi dibandingkan dengan area di sekitarnya.
Bentuk candi ini sangat sederhana, yakni sebuah bangunan persegi empat yang sudah banyak mengalami keruntuhan. Mas Didik menyebutkan bahwa bangunan candi ini hanya tinggal separuhnya saja. Karena belum mengalami pemugaran oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, Candi Lemah Duwur dapat saya nikmati masih dalam bentuk aslinya disusun apa adanya.
Bata merah yang menjadi bahan dasar bangunan candi ini benar-benar berukuran jumbo. Standar ukuran batu bata merah adalah panjang 19 hingga 25 cm, lebar 9 hingga 13 cm, dan tebal 5 hingga 8 cm. Sementara bata merah Candi Lemah Duwur memiliki panjang 37 cm, lebar 24 cm, dan tebal 10 cm. Tak heran jika ketika kali pertama ditemukan, banyak beberapa penduduk yang mengambilnya untuk kepentingan pribadi. “Karena ini situs penting, penduduk menguruknya kembali dan digali lagi beberapa waktu sesudahnya untuk dijadikan tempat pelaksanaan bersih desa,” ungkap Mas Didik.
Mas Didik juga menambahkan bahwa sudah lama candi ini memang tak lagi dijadikan tempat pelaksanaan bersih desa, namun tidak lama sebelum ini sempat dijadikan tempat memohon doa kepada Sang Pencipta oleh penduduk sekitar gegara sawah diserang hama tikus. Sebenarnya bukan hanya tikus yang menghuni area ini, di sekitar Candi Lemah Duwur juga banyak saya temui lubang-lubang yang menurut Mas Didik merupakan lubang ular. “Karena berada di tengah sawah, saya sarankan kepada setiap pengunjung untuk berhati hati dengan keberadaan ular sendok atau kobra jawa. Banyak pengunjung yang menemui kulit ular sendok saat ke sini,” jelas Mas Didik.
Agaknya nasihat bijak itu memang benar, setiap hal indah selalu menyimpan sisi luka, begitu pula sebaliknya. Di balik keindahan panorama Candi Lemah Duwur, ada ular yang harus diwaspadai keberadaannya.
Mitos Ular dan Benda-Benda dari Emas
Ketika mengunjungi candi ini, saya juga sempat bertemu dengan seorang ibu-ibu yang hendak berangkat ke sawah. Saya sempatkan bertanya-tanya sekilas tentang Candi Lemah Duwur. Ibu ini menceritakan bahwa Candi Lemah Duwur dijaga oleh seekor ular besar yang dijuluki Ular Kendang. Tak hanya itu, katanya ia dulu sempat melihat ada keris bergagang putih di area pohon mangga dan pohon trembesi di komplek candi ini. “Selain itu, di sini juga ada bokormas (mangkuk emas) dan boneka kencana (emas juga),” tuturnya.
Mitos-mitos tersebut dikuatkan dengan keberadaan dupa di dekat batu kecil yang terlihat seperti tempat pelaksanaan ritual. Batu kecil tersebut terletak di bawah pohon mangga tua yang berada di area paling atas. Ibu-ibu tersebut juga menceritakan bahwa di hari-hari tertentu banyak orang-orang yang berziarah ke tempat ini dengan membawa semacam sesajen. Sisi mistik Candi Lemah Duwur memang sangat mudah terbentuk gegera lokasinya yang berada di tengah sawah juga keberadaan dua pohon tua yang menaunginya. Konon katanya, pohon-pohon tua memang sangat disukai oleh makhluk-makhluk tak kasat mata.
“Dulu ketika proses penyusunan batu bata candi ini, banyak masyarakat yang kepalanya pusing setelah selesai menyusunnya,” ujar ibu-ibu tersebut. Pada akhirnya, saya lebih sepakat dengan pandangan Roland Barthes (1991) dalam Mythologies bahwa mitos adalah laku percaya. Artinya, mitos memang bukan hal yang perlu dibuktikan benar atau salahnya, karena manusia bebas memilih percaya atau tidak bukan urusan mitos itu benar atau mitos itu salah, tetapi mitos itu kupercayai atau tidak.
Daftar Pustaka
Barthes, Roland. (1991). Mythologies. New York: The Noonday Press.
Bernbaum, E. (2006). “Sacred Mountains: Themes and Teachings”. Mountain Research and Development, 26(4), 304–309
Muchlison, Hendrik. (2023). Pemkab Sidoarjo Tetapkan 11 Situs dan Bangunan Jadi Cagar Budaya. Diakses di https://radarsidoarjo.jawapos.com/kota-delta/18/01/2023/pemkab-sidoarjo-tetapkan-11-situs-dan-bangunan-jadi-cagar-budaya/
[1] https://radarsidoarjo.jawapos.com/kota-delta/18/01/2023/pemkab-sidoarjo-tetapkan-11-situs-dan-bangunan-jadi-cagar-budaya/