Oleh: Nurfadillah (Pengajar Universitas Sawerigading Makassar)
Identitas gender dalam masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan dapat dikatakan sangat kompleks dan plural. Identitas Gender tersebut terdiri dari lima gender yang diakui oleh masyarakat Bugis. Dua identitas gender utama merupakan gender dominan yang lazim dikenal di lapisan masyarakat adalah pria dan wanita yang dalam bahasa Bugis dikenal dengan istilah oroane dan makkunrai.
Tiga gender lainnya dalam tradisi masyarakat Bugis Bugis dikenal dengan istilah calabai (laki-laki yang bertabiat seperti perempuan), calalai (perempuan yang bertabiat seperti laki-laki, dan paling sedikit diketahui) dan Bissu (gabungan dari semua gender).
Namun, yang akan saya ceritakan di sini adalah kisah dari seorang calalai, seorang perempuan tua yang sedang duduk sendiri di lego-lego, (sebuah teras/bangunan bagian depan pada rumah panggung orang Bugis) yang saya temui perdana sejak 2018 silam dan masih sering saya kunjungi hingga kini layaknya seorang cucu yang bertemu dengan sang nenek. Dia tinggal sendiri di rumah panggung yang sederhana tanpa suami dan anak.
Selayang Pandang Calalai
Calalai adalah perempuan tetapi sifat dan perilakunya yang dianggap oleh masyarakat menyerupai laki-laki. Dia juga merupakan satu-satunya Bissu perempuan sekaligus Sanro (dukun). Calalai biasa juga disebut perempuan maskulin yang jumlahnya sangat sedikit, perempuan yang mendapat sebutan calalai di suku Bugis adalah Sanro Nisa. Orang-orang menyebutnya dengan panggilan itu, bahkan bisa dikatakan dia adalah satu-satunya calalai yang masih tersisa.
Sebutan Sanro sendiri berarti dukun atau tabib, biasanya orang-orang yang memiliki masalah seperti sakit akan datang kesana untuk berobat. Cukup dengan membacakan mantra-mantra dan doa disertai kepulan asap kemenyan atau diberikan air, maka seseorang akan sembuh dari penyakit yang dideritanya. Bahkan yang memiliki masalah terkait hubungan rumah tangga agar tetap langgeng juga pernah berkonsultasi dengan Sanro Nisa. Oleh karena itu, dia sering disebut dengan sebutan Sanro Nisa.
Sanro Nisa tinggal di Kanaungan, salah satu desa yang ada di Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Menjadi Calalai harus yang sudah mengalami menopause dan tidak lagi menstruasi. Seperti Sanro Nisa yang sekarang telah berumur sekitar 68 tahun dan ditasbihkan menjadi calalai pada saat usianya 40 an tahun melalui mimpi yang dikirimkan oleh leluhurnya.
Calalai juga tidak boleh menikah dan harus senantiasa menjaga kesucianya. Hal tersebut juga adalah bagian dari penyucian jiwa untuk dekat dengan tuhan dengan jalan Ascetisme atau (Zuhud) seperti orang-orang sufi (Pelras: 2006). Meski tidak menikah tetapi menurut Sanro Nisa, calalai memiliki pasangan/suami Dewata yang hadir pada waktu-waktu tertentu seperti pada saat mereka ingin tidur. Pasangan Dewata yang digambarkan oleh Sanro Nisa tidak bisa dilihat, namun bisa mereka rasakan kehadirannya (Bissu Nisa: 2022).
Mengawali Dialog Melalui Sirih dan Pinang
Setiap tamu yang datang ketika ingin berkonsultasi baik itu masalah kehidupan sehari-hari bahkan penyakit, biasanya akan ditawari untuk mangngolo (mengahadap) ke Palakka, yakni sebuah tempat tidur atau singgasana yang ditempati untuk menyimpan Arajang yakni benda-benda pusaka. Untuk sekedar permisi dan mengutarakan kedatangannya, namun tidak semua tamu yang datang diperlakukan sama dalam hal ini diizinkan masuk ke dalam kamar tempat Arajang Sanro Nisa.
Ada alasan tertentu bagi Sanro Nisa untuk tidak mengijinkan tamunya masuk ke tempat tersebut. Menurut Sanro Nisa tidak semua orang yang datang berkunjung ditawari untuk melihat Arajang meskipun tamunya meminta. Ia harus mendapatkan wangsit atau tanda-tanda untuk mengijinkan para tamu masuk ke dalam kamar Arajang dan saya beruntung bisa diijinkan masuk ke dalam kamar tersebut.
Berbicara perihal Arajang, tempat itu terletak di sebuah ruangan seperti kamar yang berada di tengah ruangan antara ruang tamu dan dapur. Sebelum memasuki kamar itu terlebih dahulu tamu harus menyiapkan beberapa lembar daun sirih, buah pinang, dupa atau lilin. Sirih dan pinang adalah simbol penghormatan dan pembuka komunikasi dalam sebuah ritual. Jika sirih diterima oleh pemilik rumah, pertanda kita sebagai tamu diterima dan dapat melanjutkan komunikasi. Sedangkan menyalakan lilin dan dupa sebagai penerang merupakan simbol dari kehidupan.
Namun, jika syarat-syarat tersebut tidak dapat dipenuhi maka bisa digantikan dengan uang yang tidak ditentukan berapa nominalnya atau seikhlasnya. Kemudian diberikan langsung kepada Sanro Nisa, yang nantinya akan digunakan untuk menyiapkan komposisi ritual tersebut. Ketika syarat itu terpenuhi maka Sanro Nisa akan membacakan mantra kemudian mengenalkan para tamu dengan pusakanya. Hal ini disebut lissu ata (penghantar untuk berkomunikasi). Sayapun memenuhi syarat yang dia minta dan menyimpan sirih dan pinang dalam sebuah piring yang telah disipkan kemudian dibawa masuk ke dalam kamar.
Kemudian saya mengikuti Sanro Nisa menuju kamar Arajang sambil mengucapkan salam sembari memasuki kamar tersebut. Hal pertama yang saya lihat adalah dua ranjang besi yang dihiasi dengan kelambu berwarna merah terang, dan merah muda dengan pancaran cahaya lampu yang redup. Ranjang pertama di bagian atas berisi benda pusaka seperti keris, peci tradisional Bugis yang biasa digunakan oleh raja dan keturunannya yang disebut dengan Songko Recca, payung raja, air dalam sebuah botol, tasbih, dupa, batu-batuan dan beberapa benda dengan nama-nama asing yang tidak pernah saya dengar ataupun saya jumpai sebelumnya.
Sedangkan di bawah ranjang ada baskom besi ukuran kecil berisi air, dan pernak-pernik keramik yang berbentuk kerang laut ukuran besar, ada piring untuk sesaji serta aroma kemenyan dan dupa yang dibakar memenuhi ruangan sempit itu. Di dalam kamar juga terdapat gendang, dan bendera merah putih yang menghiasi kamar tersebut.
Ranjang yang kedua pun hampir sama isinya, pusaka-pusaka itu memang erat kaitannya dengan spiritualitas kaum Bissu (pendeta Bugis kuno). Bentuknya bermacam-macam, baik itu batu-batuan, senjata, alat pertanian atau bahkan buah-buahan. Istimewanya, menurut Sanro Nisa benda-benda ini didapatkan dari petunjuk gaib kepada calon pemilik pusaka serta berasal dari nenek moyangnya.
Semua benda-benda tersebut merupakan benda keramat, selain mendapat petunjuk melalui mimpi, hampir semua benda yang ada di kamar itu diperoleh dari setiap daerah yang berbeda-beda, dengan kisah yang beragam dan tentunya penuh perjuangan untuk mendapatkannya. Adanya pembagian peletakan benda-benda di atas ranjang maupun di bawah ranjang, menunujukan bahwa dunia ini terbagai menjadi dunia atas dan dunia bawah.
Sekilas memang terlihat seperti paham yang masih kental dengan unsur-unsur animisme dan dinamise, tetapi itu hanyalah sisa-sisa kepercayaan lama. Sanro Nisa dengan tegas mengakui kepercayaanya adalah agama Islam dan meyakini Allah SWT sebagai tuhannya. Sanro Nisa juga tetap melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim, seperti salat, puasa dan meskipun sifat atau prilakunya terlihat maskulin, tetapi ketika salat dia juga tetap memakai mukenah seperti perempuan pada umumnya.
Pakaian yang digunakan sehari-hari juga sopan, dengan pakaian putih dan memakai sarung serta kerudung putih untuk menutupi rambutnya yang sudah mulai memutih. Menjadi misteri bagaimana keberlanjutan seorang calalai sebagai perempuan terakhir penjaga Arajang yang tumbuh bukan berdasarkan generasi atau keturunan, melainkan melalui panggilan spiritual dari leluhur dan para Dewata (sebutan Tuhan bagi kepercayaan lama orang Bugis). Calalai adalah bagian dari keragaman gender yang harus kita beri ruang untuk tetap hidup, karena merupakan bagian dari sejarah peradaban Suku Bugis.
Referensi