Muhammad Syawal Djamil (Pegiat Komunitas Beulangong Tanoh & Pengajar Sekolah Sukma Bangsa)
“Raseuki di gampong bak ujoeng naleung, raseuki di kota bak ulee ureung” [Rezeki orang di Kampung pada ujung rumput, rezeki orang di Kota pada isi kepala orang]
(Hadih maja Aceh)
Merantau merupakan salah satu bentuk migrasi yang dilakukan oleh manusia-manusia di dunia. Jika kita kaji berbagai literatur sejarah perjalanan kehidupan manusia, maka dapat diketahui bila bangsa–bangsa terdahulu dalam mempertahankan hidupnya mereka memiliki budaya untuk berekspansi dari satu belahan bumi ke belahan bumi lainnya.
Ekspansi memiliki makna yang tak jauh berbeda dengan perjalanan meninggalkan daerah asal yang disebut merantau. Di level dunia internasional, etnis Tionghoa (China) dikenal sebagai bangsa yang paling gemar merantau, di mana hampir di tiap negara di dunia pasti dijumpai etnis China.
Sementara di level nasional dalam negeri, kita menjumpai beberapa daerah yang masyarakatnya memiliki budaya merantau sangat kuat, seperti pada suku Minang, Bugis, dan Madura. Ketiga suku ini mendominasi di berbagai kota besar di Indonesia, dan rata-rata masyarakatnya memiliki profesi hidup dengan berdagang.
Di Aceh, orang Pidie yang dikenal memiliki budaya merantau kuat. Merantau bagi orang Pidie merupakan simbol bagi independensi dan kedewasaan masyarakatnya. Belum dianggap mandiri dan dewasa seorang anak Pidie, bila ia belum merasakan bagaimana hidup “merantau”. Karena itulah, jangan heran jika anak muda Pidie ketika tamat dari pendidikan di jenjang SMA, mereka berduyun-duyun meninggalkan daerah asalnya menuju daerah luar.
Filosofi “Jak U Timu”
Pada hakikatnya, orang Pidie (juga masyarakat Aceh), mendefinisikan merantau sebagai bagian mencari kehidupan ke daerah lain. Oleh karena demikian, terdapat dua tipe merantau yang dikenal oleh orang Pidie. Pertama, “jak u timu” (pergi ke timur) dan yang kedua “jak u barat” (pergi ke barat).
Jak u timu memiliki makna merantau untuk mencari penghasilan atau dimotivasi oleh faktor ekonomi. Sementara jak u Barat memiliki makna merantau untuk mencari ilmu atau pengetahuan agama.
Budiarti dalam bukunya, sebagaimana dikutip oleh Agus Budi Wibowo, mengungkapkan perbedaan tipe merantau ke arah timur (jak u timu) dengan merantau ke arah barat (jak u barat) yang dikenal oleh masyarakat Aceh. Tipe rantau pertama, merantau ke timur merupakan rantau berjarak jauh, sehingga kaum laki-laki hanya pulang ke kampung setiap beberapa tahun. Sifat rantau ini hanya sementara, sehingga mereka tidak membawa istri dan anak-anaknya di daerah perantauan.[1]
Tipe rantau kedua, merantau ke Barat yaitu merantau ke pesantren muncul karena pengaruh ulama. Ulama menawarkan suatu alternatif bagi laki-laki untuk merantau dengan jarak dekat agar seseorang laki-laki (suami) mempunyai hak terhadap istri dan anak-anaknya karena mereka tidak meninggalkan kampung halaman.
Berkenaan dengan merantau ke pesantren, menurut Snouck Hurgronje (1906: 26), kata belajar ke pesantren berarti sama seperti meudagang sesungguhnya, yang berarti menjadi orang asing yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Seseorang tidak dapat menjadi ulama dengan belajar di daerah kelahirannya, tanpa ke luar kampung dan mencari tempat tepat untuk menjadi ulama.
Konon, orang Aceh mengatakan bahwa tidak akan pernah ada seorang laki-laki pun yang menjadi alem tanpa ke luar kampung untuk merantau ke pesantren. Karenanya, setiap orang Aceh harus ke luar dari daerahnya untuk menjadi orang yang dihargai di daerahnya sendiri.
Nah, karena semangat merantau yang luar biasa itu hanya dimiliki oleh orang Pidie, acapkali orang Pidie dihubungkan dengan orang Minang yang menjadi suku mayoritas di Padang, Sumatera Barat. Orang Minang memiliki budaya merantau yang kuat pada masyarakatnya. Tak sedikit orang Minang yang melakukan perantauan hingga ke mancanegara dan mereka berhasil disana. Orang Pidie juga demikian, jangkauan rantaunya tidak lagi dibatasi oleh kabupaten atau provinsi, tapi melewati negara hingga lintas benua.
Di Australia, banyak orang Aceh yang sukses dengan bisnisnya, dan ketika ditanya tempat asal kelahirannya mayoritas didapati berasal dari Pidie. Di Eropa, seperti Swedia, Norwegia, juga demikian; banyak dijumpai orang Aceh yang rerata memiliki kampung halamannya di Pidie. Dengan demikian, semangat merantau orang Pidie memiliki level yang sama dengan orang Minang di Sumatera Barat atau bahkan dengan etnis China.
Dilabel “Cina Itam”
Sebahagian orang menyimpulkan kuatnya semangat merantau pada orang Pidie yang memiliki kesamaan dengan orang Cina, itu disebabkan karena dulu orang Pidie memiliki agama Hindu (sebelum masuknya era Islam) yang jika dikaji sama dengan agama yang dianut oleh mayoritas orang Cina, yakni Hindu. Bahkan, ada banyak kebiasaan yang seolah menjadi budaya orang Pidie memiliki kemiripan dengan orang Cina, seperti menyukai permainan sabung ayam, dan lain sebagainya.
Tersebab beberapa kesamaan ini, pada orang Pidie disematkan label “China Hitam”. Makna China hitam ini merujuk kepada tradisi orang Pidie yang dominan perantau yang sama dengan Cina, namun secara karakteristik fisiknya berbeda dengan orang China. Orang China memiliki warna kulit cerah atau putih, sedangkan orang Pidie memiliki warna kulit yang gelap atau hitam. Disamping itu, label ini diperkuat oleh fakta terkait prestasi orang Pidie yang dianggap menyamai prestasi kesuksesan orang China di bidang ekonomi dan perdagangan.
Generasi Pidie terkenal pada masyarakat banyak sebagai sebagai orang yang sukses di perantauan. Tidak hanya sebagai pedagang atau pengusaha, namun juga di bidang birokrasi pemerintahan sebagai seorang politisi yang mendapat kedudukan penting. Tercatat dalam sejarah beberapa politisi dari Pidie yang berhasil menempati posisi strategis di bidang pemerintahan level nasional seperti Alm. Hasballah (menkumham era Gus Dur).
Jika ditelisik secara mendalam budaya meninggalkan kampung halaman (red merantau) pada orang Pidie ini didasari oleh beberapa faktor, yang meliputi faktor agama, faktor ekonomi, faktor budaya, faktor sosial dan faktor politik.
[1] Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Bappeda Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 27 edisi 2000.