Ahmad Zainul Hamdi (Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag RI)
“Pendidikan itu bukan hanya tentang prestasi akademik.” Bagi para guru atau orang-orang yang bergerak di bidang pendidikan, statemen tersebut tentu bukan barang baru. Dijamin mereka telah hapal di luar kepala. Bahkan saat tidur pun mereka bisa menggumamkannya.
Sayangnya, masalahnya bukan terletak pada seberapa nglonthok hapalan kita. Tapi, seberapa serius kita menurunkannya menjadi kebijakan dan program. Seberapa sungguh-sungguh kita membangun dunia pendidikan dengan kesadaran bahwa prestasi akademik bukanlah the ultimate goal.
Jika kita amati, pendidikan kita saat ini semakin terasa menempatkan prestasi akademik sebagai satu-satunya prestasi yang layak dibanggakan. Mari kita lihat pemujaan prestasi akademik mulai TK hingga perguruan tinggi. Seluruh gegap gempita selebrasi akademik adalah untuk merayakan capaian atau nilai akademik.
Saat duduk di bangku pertama sekolah dasar, tema dan standar perayaan akademik adalah kecakapan calistung. Di setiap awal tahun akademik, sekolah-sekolah mulai SD hingga SLTA memasang baliho besar-besar di depan sekolah yang bertuliskan nama-nama siswanya yang diterima di sekolah menengah pertama/atas/perguruan tinggi unggulan. Pamer baliho seperti ini sekarang seakan telah menjadi kewajiban. Tidak hanya di depan sekolah, bahkan di sudut-sudut jalan, persis baliho caleg atau parpol.
Sebegitu mainstream-nya hingga kita melupakan bahwa ada sisi lain dari diri peserta didik, siswa atau mahasiswa, yang juga perlu diperhatikan. Apa itu? Jawabnya adalah kesehatan.
Menurut mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) sekalgus Mensesneg, Pratikno, kesehatan adalah angka pengali. Hal ini disampaikan di depan seluruh pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) dalam acara Rapat Koordinasi Pimpinan PTKN yang sengaja dikemas secara kasual dan “nyantai” (24/8/2023).
Menurutnya, seseorang boleh memiliki IPK 4, tapi jika nilai kesehatannya 0, maka 4 x 0 sama dengan 0. Namun, jika seseorang memiliki nilai akademik 2, tapi nilai kesehatannya 4, dia mendapatkan nilai 8 (2 Ă— 4 = 8). Tetap lebih baik dari orang pertama. Tentu saja yang ideal adalah nilai akademik 4 dan kesehatan 4 sehingga nilai totalnya adalah 16.
Untuk lebih memahami kesehatan sebagai angka pengali, mari kita membayangkan seorang mahasiswa yang IPK-nya sempurna, tapi dia pecandu narkoba. Lalu, untuk apa kesempurnaan IPK-nya? Apa yang bisa dimanfaatkan masyarakat dari seorang sarjana ber-IPK 4 tapi pecandu narkoba? Nilai akademik sesempurna apapun tanpa didukung oleh tubuh yang memungkinkannya untuk memanfaatkan ilmunya hanya akan berakhir sia-sia. Â
Kesehatan di sini tentu saja tidak hanya kesehatan jasmani, tapi juga ruhani. Di sini aspek moral menjadi sangat penting dalam dunia pendidikan. Moralitas juga adalah angka pengali bagi prestasi akademik. Sehebat apapun seseorang dalam prestasi akademik, jika moralitasnya kosong (0), maka hasil akhirnya adalah nol.Â
Pada sebuah kesempatan, Menteri Agama, Gus Yaqut Cholil Qoumas, berkata dengan nada sedikit ironi, jika disuruh memilih antara mahasiswa pintar tapi tidak bermoral dengan mahasiswa bodoh tapi bermoral, dia akan memilih yang kedua. Tentu saja, beliau lebih memilih mahasiswa cerdas sekaligus bermoral. Yang terakhir ini tidak perlu dijelaskan lagi.
Alasan yang diberikan adalah karena jika mahasiswa itu bodoh tapi bermoral, dia tidak akan merusak orang lain. Moralitasnya akan menjaganya dari kemungkinan untuk melakukan tindakan-tindakan jahat. Sementara, kebodohannya akan menutupnya dari kemungkinan melakukan kejahatan yang canggih. Kalau pertahanan moralnya jebol, paling banter dia akan menjadi pencuri kelas teri yang mudah ditangkap.
Namun, jika seorang mahasiswa itu cerdas tapi tidak bermoral, daya rusaknya akan sangat dahsyat. Dia tidak memiliki pertahanan moral sehingga dia mudah melakukan tindakan-tindakan jahat. Kecerdasannya memungkinkannya mendapatkan kedudukan penting di masa depan, yang kewenangannya menyangkut kehidupan orang banyak. Jika orang bodoh yang jahat mungkin hanya akan menjadi pencuri kelas teri, orang cerdas tak bermoral akan menjadi koruptor kelas kakap. Kejahatannya memiliki daya rusak yang jauh melebihi orang bodoh yang tak bermoral.
Lalu, mari kita beralih pada isu radikalisme di kalangan siswa dan mahasiswa. Orang yang memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku ekstrem pada dasarnya juga memiliki kesehatan ruhani nol, atau bahkan minus. Jika kita membiarkan ideologi radikalisme atau ekstremisme ini memasuki kepala dan hati para mahasiswa kita, seberhasil apapun kita dalam mentransfer pengetahuan ke mahasiswa hingga mereka mendapatkan IPK terbaik, kita sebetulnya tengah mempersiapkan malapetaka di masa depan.
Pengetahuan di tangan orang-orang bermoral akan melahirkan tindakan-tindakan mulia menyelamatkan kehidupan. Tapi, ilmu pengetahuan di tangan orang-orang ekstrem akan melahirkan pembodohan dan pembohongan yang disofistikasi, pencanggihan kebencian, permusuhan, penyebaran hoaks, konflik, bahkan pembunuhan massal.
Begitulah arti penting kesehatan dalam pendidikan. Sehebat apapun prestasi akademik, kebermanfaatannya bagi kemanusiaan mempersyaratkan kesehatan si pemilik pengetahuan. Bahkan, kesehatan bisa menjadi faktor yang sangat menentukan. Orang yang kesehatan ruhaninya minus (tak bermoral) tapi cerdas bisa lebih berbahaya dari orang bodoh sekalipun sama-sama tak bermoral. Orang bodoh yang bermoral lebih baik daripada orang pintar yang tak bermoral. Pada akhirnya, yang kita impikan adalah siswa atau mahasiswa dengan prestasi akademik membanggakan sekaligus kesehatan jasmani prima dan ruhani yang mulia.
Catatan: tulisan ini semula diterbitkan di arina.id
Pendidikan agama kita juga sibuk urus kognitif.