Oleh: Hesti Rosita Dwi Putri (Alumnus Program Studi Magister Desain, Institut Teknologi Bandung, serta peraih Nusantara Dissertation/Thesis Writing Grant 2020 yang diselenggarakan oleh Nusantara Institute dan Bank Central Asia)
Songket Palembang telah dikenal sejak zaman Kerajaan Sriwijaya (650–1377). Tradisi dan keahlian menenun dan membuat songket ini terus berlangsung hingga sekarang. Proses menenun dengan menggunakan alat tradisional ini menjadikan songket sebagai produk unik serta memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Salah satu daerah sentra penenun songket terletak di desa Muara Penimbung, kabupaten Ogan Ilir. Desa ini memiliki rumah limas yang digunakan secara khusus sebagai “Galeri Kampoeng Tenun” yang memiliki beragam motif songket. Hanya saja sangat disayangkan, sedikit sekali pengrajin songket, khususnya penyukit, yang tertarik untuk meneruskan tradisi menyukit. Hal ini disebabkan karena terlalu sulit dan rumit untuk mengerjakannya. Jika tidak disikapi dengan baik, bukan hal yang mustahil jika suatu saat kabupaten produsen songket tersebut mengalami krisis penyukit dan pada akhirnya akan berdampak pada minimnya produksi songket.
Tulisan ini bermaksud mengkaji faktor penyebab sepinya minat masyarakat untuk menjadi penyukit. Hasil penelitian lapangan (fieldwork) yang saya lakukan menunjukkan bahwa salah satu faktor utama yang menyebabkan minimnya minat publik untuk belajar menyukit karena tidak ada kategorisasi motif songket yang bisa mempermudah masyarakat, khususnya pemula, untuk belajar menyukit. Penelitian ini menggunakan sejumlah teknik pengumpulan data (data gathering) seperti survei kuisioner, pengamatan partisipatif (participant observation), wawancara, dan konversasi (obrolan) langsung dengan para penyukit dan pengrajin songket di Ogan Hilir.
Oleh karena itu, saya berpendapat, mapping, pemetaan (assessment) dan klasifikasi motif songket (misalnya motif kategori mudah, sedang, dan sulit) perlu dilakukan untuk mempermudah bagi pemula yang ingin mempelajari cara menyukit.
Menurut catatan sejumlah sejarawan, tradisi tenun dan songket tidak murni hasil kreasi masyarakat “pribumi” Nusantara. Para pedagang Arab, India dan China juga turut berkontribusi memperkenalkan pembuatan kain tenun. Dengan demikian, tradisi songket dan menenun merupakan perpaduan dari berbagai kebudayaan. Songket tersebut, menurut Suwati Kartika dalam buku Kain Songket Indonesia, ditenun menggunakan benang sutera kemudian diwarnai dengan menggunakan warna yang terang seperti merah, hijau, biru, ungu dan sebagainya.
Kerajaan Sriwijaya yang menganut Buddhisme dan berpusat di Palembang memiliki peran sentral dalam memperkenalkan dan menyebarkan tradisi tenun dan songket di Nusantara, khususnya Sumatra. Berdisi sejak abad ke tujuh Masehi, Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan makmur di Sumatara, Nusantara, atau bahkan Asia Tenggara.
Kerajaan ini memiliki kekayaan bumi yang melimpah sehingga tidak mengherankan jika banyak orang asing–saudagar, sarjana, pelayar, pelancong dan lainnya–dari berbagai kawasan seperti Tiongkok, Timur Tengah, Asia Selatan, dlsb yang singgah disini. Para orang asing tersebut kemudian memperkenalkan keterampilan, pengetahuan, seni, selain barang dagangan bagi para pedagang untuk dijual atau ditukar dengan barang-barang lain. Di Sriwijaya, mereka juga belajar dan membeli/menukar barang-barang lokal maupun dari daerah lain. Sistem tukar-menukar budaya material maupun nonmaterial sudah menjadi hal lumrah di zaman dulu.
Sriwijaya sendiri dikenal sebagai produsen atau penghasil emas yang diekspor ke berbagai negara, termasuk Siam dan Thailand. Emas tersebut kemudian ditukar dengan, misalnya “benang emas” 14 karat. Inilah yang menjadi cikal bakal masyarakat Palembang mengenal kain songket yang bersamaan dengan masuknya sutera dari Tiongkok.
Ada pula sarjana yang berpendapat bahwa songket pertama kali diperkenalkan sejak Kerajaan Palembang (1455–1659) dan kemudian Kesultanan Palembang Darusalam (1659–1823). Pada masa itu, songket–yang masih dalam bentuk selendang atau kemben dalam bahasa lokal–biasanya digunakan oleh raja dan kerabat keraton. Baru pada tahun 1900-an, songket dibuat sebagai kain.
Saya berpendapat songket sudah ada sejak kerajaan Sriwijaya. Pada mulanya masyarakat Palembang telah mengenal tenun ikat, kemudian berkembang menggunakan benang emas sebagai hiasan motifnya. Demikian menurut pendapat Yudhi Syarofie dalam buku Songket Palembang. Hanya saja pada waktu itu masih dikenal sebagai “kain tenun” dengan menggunakan benang emas.
Songket Kampoeng Tenun Ogan Ilir
Pada waktu penelitian lapangan, saya mengambil sampel songket di Galeri Kampoeng Tenun Ogan Ilir. Sampel songket ini kemudian saya klasifikasi menjadi empat kelompok, yaitu (1) songket yang paling lama pengerjaannya, (2) songket yang paling cepat pengerjaannya, (3) songket yang paling mahal, dan (4) songket yang paling murah.
Songket yang paling lama pengerjaannya adalah jenis songket lepus berakam dan tawur (lihat Gambar 1). Songket jenis ini dikerjakan dalam waktu 1,5 sampai dengan 3 bulan untuk pembuatan satu set songket. Sedangkan songket yang paling cepat pengerjaannya adalah jenis songket lepus (lihat Gambar 2) yang memiliki satu warna sehingga membuat harga songket ini relatif murah dibanding dengan songket lainnya (harga sekitar 1-1,5 juta rupiah untuk satu set songket).
Adapun mahal dan tidaknya songket ditentukan oleh bahan atau benang pewarna alam yang digunakan untuk menenun serta kerumitan. Semakin mahal harga bahan dan semakin rumit pembuatan songket, maka harga songket akan semakin mahal. Begitu pula sebaliknya.
Klasifikasi struktur motif songket di Kampoeng Tenun Ogan Ilir ini berdasarkan hasil survei quisioner yang dibagikan kepada 20 responden yang berprofesi sebagai pengrajin songket dan 4 diantaranya memiliki keahlian menyukit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi motif yang paling mudah terletak pada bagian badan kain dan yang paling sulit pada bagian kepala kain.
Menurut penyukit, pada bagian motif badan kain, motif tawur dianggap lebih mudah dibuat dibanding motif lepus. Tetapi menariknya, responden lain (penenun) berpendapat, motif lepus yang memiliki satu warna justru dianggap lebih mudah dibanding motif lain.
Perbedaan respon antara penyukit dan penenun pada pemetaan atau kategorisasi badan kain tersebut disebabkan adanya perbedaan teknik pada proses pengerjaan. Jika pada saat proses penyukitan motif lepus memiliki struktur pola yang banyak dan pengulangan yang padat sementara motif tawur memiliki struktur pola yang lebih sedikit serta pengulangan yang tidak padat, selain berjarak. Oleh karena itu, pada waktu penyukitan, motif yang memiliki struktur pola yang banyak dan padat dikerjakan dalam waktu yang relatif lebih lama.
Hal ini tentu saja berbeda pada saat proses menenun dimana motif lepus dengan menggunakan satu warna lebih mudah dan cepat dikerjakan dibanding motif tawur yang mengharuskan proses cuban (penyambungan benang pakan pada motif) atau sulam sehingga proses menenun motif tawur membutuhkan waktu yang lebih lama.
Informasi dan kategorisasi ini penting untuk dibuat dan diketahui masyarakat banyak diluar penenun dan penyukit sehingga memudahkan mereka untuk belajar menenun dan lebih-lebih menyukit. Jika animo masyarakat tinggi untuk belajar menyukit (dan juga menenun), maka tradisi songket yang sangat kaya dan tak bernilai warisan leluhur Nusantara ini bisa terus jaya dan lestari di masa mendatang. [NI]