Oleh: R.M. Surtihadi (Staf Pengajar Program Studi Pendidikan Musik, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Yogyakarta, Peneliti Musik Eropa di Kraton Yogyakarta)
Di Yogyakarta ada sebuah daerah bernama Musikanan yakni merupakan komunitas para musisi Kraton Yogyakarta pada masa kolonial Belanda. Saat ini daerah Musikanan biasa disebut Kampung Musikanan terletak di sebelah Timur Pagelaran Kraton Yogyakarta. Menurut Waditrawinata, istilah ‘Musikanan’ berasal dari kata musikan (Belanda), musician (Inggris) mendapat akhiran ‘an’ kemudian menjadi musikanan, yang berarti tempat tinggal para musisi kraton.
Pada era kolonial Belanda pemukiman abdi dalem pemusik kraton (pekerja musik kraton) ini tidak pernah sepi dari bunyi suara instrumen musik Eropa seperti flute, trombon, trumpet, saxophone, dan klarinet. Gambaran kehidupan musikal di Kampung Musikanan di atas menunjukkan bahwa secara turun-temurun sejak tahun 1900-an sampai dengan masa pasca kemerdekaan Indonesia terjadi aktivitas musikal secara berkesinambungan.
Seiring berjalannya waktu, pada saat ini suasana seperti di atas sangat jarang dijumpai, bahkan nyaris tidak ada aktivitas orang bermain musik di setiap sudut rumah yang memainkan instrumen musik, hal ini disebabkan karena situasi kondisi zaman yang telah berubah. Para musisi yang dulu pernah ada dan tinggal di kampung itu saat ini sudah tidak ada, namun generasi keturunannya pun juga banyak yang tidak tinggal di situ.
Saat ini nama Kampung Musikanan secara administratif masuk Kelurahan Panembahan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta. Luasnya seper-empat hektare, dibagi dalam tiga Rukun Tetangga. Penghuninya sekitar lima ratus jiwa tinggal di rumah-rumah tua bergaya joglo dan limasan. Jalan masuk ke kampung itu merupakan sebuah gang kecil yang lebih kurang hanya cukup untuk bisa dilewati pejalan kaki dan pengendara sepeda motor.
Data dan fakta membuktikan bahwa dari Kampung Musikanan ini banyak ‘melahirkan’ musisi-musisi handal yang merupakan keturunan maupun kerabat mantan para abdi dalem musikan kraton. Salah satu abdi dalem musikan yakni R. Wedono Prodjowaditra mempunyai keturunan dan kerabat seperti: F.A. Warsana, Waryadi, Mas Sardi, Idris Sardi, Suhardjo, Iramayadi, Yudhianto dan sebagainya.
Mereka mempunyai andil besar terhadap perkembangan dunia musik Barat di Indonesia, baik sebagai musisi maupun guru musik profesional. Beberapa guru musik dari Musikanan juga ada yang mempunyai kontribusi terhadap ‘lahirnya’ lembaga pendidikan musik formal milik pemerintah Republik Indonesia yakni Sekolah Musik Indonesia atau SMIND tahun 1952.
Walter Spies, Abdi Dalem Musikan, dan Kraton Orcest Djogja
Walter Spies seorang seniman multi talenta berkebangsaan Jerman datang ke Yogyakarta pada tahun 1923. Kehadirannya sangat berpengaruh khususnya terhadap perkembangan kehidu-pan musikal di Kraton Yogyakarta (Rhodius & Darling, 1980: 21). Dari Bandung ke Yogyakarta Spies akhirnya mendapat pekerjaan tetap sebagai Kapelmaster musik Eropa dan dirigen Kraton Orcest Djogja dengan gaji f. 100.00. per-bulan. Rhodius & Darling, (1980: 21).
Selama berada di Yogyakarta, Spies tinggal di rumah KRT. Jayadipura dan di sana ia belajar musik gamelan dan saling bertukar ilmu dengan Jayadipura, ia juga belajar musik gamelan di istana Sri Paku Alam VII.
Spies pernah melakukan eksperimen membuat komposisi musik Eropa yang terinspirasi gamelan Jawa. Ia berkolaborasi dengan para musisi asing yang pernah tinggal di Yogyakarta seperti: Jaap Kunst, Linda Bandara, Resink Wilkens, maupun seniman lokal (Jawa) seperti, Pangeran Suryoputro, Pangeran Tedjokusumo, Pangeran Brongto-diningrat, Pangeran Suryaningrat, R.M. Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) dan tentu saja dengan Jayadipura sendiri (Fibiona, 2018: 89-106).
Sebagai Kapelmaster dan dirigen Kraton Orcest Djogja, Spies hanya menjabat sela-ma tiga tahun (1924-1927). Setelah me-ninggalkan Yogyakar-ta Spies pergi ke Bali pada pertengahan tahun 1927, kemudian setelah itu ia kemudian melanjutkan kehidupannya sebagai seniman dan menetap di Bali menjadi pelukis dan koreografer (Rhodius & Darling, 1980: 21). Sepeninggal Spies dari Yogyakarta pada tahun 1927, jabatan dirigen Kraton Orcest Djogja digantikan oleh Raden Lurah Regimentsdochter I.
Pada tanggal 5 Agustus 1931 Raden Lurah Regimentsdochter I wafat, sebagai pengganti pimpinan Kraton Orcest Djogja yakni Raden Lurah Regimentsdochter II. Pada tanggal 11 Januari 1950 Raden Lurah Regimentsdochter II mendapat anugerah dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX berupa kenaikan pangkat dan nama baru yakni Raden Wedono Prodjowaditra (Edi Sukardi et al., 1982: 22).
Pada tahun 1974 Raden Wedono Prodjowaditra wafat dan sebagai penghargaan atas pengabdiannya kepada kraton, Sri Sultan Hamengku Buwana IX memberi anugerah kenaikan pangkat dari Wedana menjadi Riya (Bupati Anom) dengan gelar dan nama baru Raden Riya Soerjawaditra (Catatan Harian Pradjawaditra:tt. 20).
Pendudukan Jepang 1942 dan Pengaruhnya terhadap aktivitas Kraton Orcest Djogja
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), dapat diduga merupakan indikasi memudarnya masa kejayaan Kraton Orcest Djogja dari segala aktivitas dan rutinitas pertunjukan yang mulai menurun; hal ini disebabkan oleh kehadiran balatentara Dai Nippon yang bersikap anti Barat, dan mengeksploitasi segala kehidupan sosial-ekonomi sehingga menimbulkan banyak penderitaan berupa kelaparan, timbulnya berbagai penyakit di kalangan rakyat kecil.
Kekuasaan militer Jepang di Yogyakarta juga mempunyai dampak negatif terhadap eksistensi Kraton Orcest Djogja; dampak tersebut antara lain yakni berkurangnya jumlah agenda pertunjukan rutin secara drastis karena tidak banyak perjamuan atau pesta dansa di Kraton Yogyakarta seperti sebelumnya, jumlah musisi berkurang dari 39 orang menjadi 33 orang, nama-nama abdi dalem musikan yang sebelumnya menggunakan nama dalam bahasa Belanda seperti: Zondag, Maandag dan sebagainya.
Sejak tahun 1943 diganti nama Jawa yang berkaitan dengan kata waditra yang dalam bahasa Jawa kuno berarti musik diletakkan pada bagian akhir atau bagian kedua untuk setiap nama seperti: Pradjawaditra, Kuncarawaditra, Somawaditra dan sebagainya. Namun demikan, keberadaan Kraton Orcest Djogja masih diijinkan oleh pemerintah Jepang di Jawa untuk memainkan lagu-lagu berbahasa Jepang seperti: Kimigayo, Mioto, Akatsuki, Gunkan, dan sebagainya (Edi Sukardi et al., 1982: 29).
Berdasarkan catatan urutan kegiatan pementasan Kraton Orcest Djogja tercatat bahwa Korps Musik ini pernah mengadakan Tour Konser ke Jakarta pada tanggal 23 Desember 1949 – 1 Januari 1950; dengan demikian dapat dikatakan bahwa setelah tahun 1950 Kraton Orcest Djogja sudah tidak aktif lagi dan akhirnya menuju kepunahan atau masa surut (Edi Sukardi et al., 1982: 19–20).
Kampung Musikanan sebagai artefak sejarah telah memberikan bukti keberadaan Kraton Orcest Djogja sebagai sebuah Korps Musik Eropa milik Kraton Yogyakarta pada masa lampau.
Pada masa sekarang Kampung Musikanan perlu ‘dibunyikan’ kembali dengan semangat gotong royong masyarakat pendukungnya, dan tentu saja harus ada dukungan Pemerintah Daerah Propinsi DIY, dan tentu saja Kraton Yogyakarta dengan Dana Keistimewaannya.
Referensi
Edi Sukardi et al. dalam Tim Peneliti Akademi Musik Indonesia Yogyakarta, 1982. “MUSIK DIATONIK DALAM KRATON KASULTANAN YOGYAKARTA”, Laporan Penelitian, Yogyakarta: Akademi Musik Indonesia.
Fibiona, Indra et al. (2018). R.M. Jayadipura, Maestro Budaya Jawa 1878-1939: Sebuah Biografi. Balai Pelestarian dan Nilai Budaya (BPNB) DIY.
Rhodius, Hans. Darling, John, 1980, Walter Spies and Balinese Art, Amsterdam: Terra, Zutphen.
Ricklefs, M.C., 1974. Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi (1749-1792), A History of The Division of Java, London: Oxford University Press.
Surtihadi. R.M. 2007. “Musik Orkestra Barat di Yogyakarta Masa Pra Kemerdekaan” dalam Resital, Jurnal Seni Pertunjukan . Volume 8 No.1 – Juni.