Beranda Publikasi Kolom Monopoli Kapital Berbasis Taman Nasional di Gunung Mutis-Pulau Timor

Monopoli Kapital Berbasis Taman Nasional di Gunung Mutis-Pulau Timor

888
0
Krisis iklim dan bencana ekologis yang terjadi, tidak sekadar disebut fenomena alam. Masalah itu ada karena watak eksploitatif manusia (korporasi) atas alam. (Gambar: koranmedia.com)

B. Mario Yosryandi Sara (Pegiat di Jaringan Advokasi Tambang dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik di Universitas Nasional)

Dewasa ini, krisis iklim dan bencana ekologis menjadi persoalan arus utama dalam kehidupan manusia di berbagai negara.

Di Indonesia misalnya, memasuki abad ke-21, berbagai bencana ekologis terjadi silih berganti dan menunjukkan intensitas yang rapat.

Mulai dari gempa bumi, tsunami, banjir bandang, tanah longsor, kekeringan ekstrem, serta ledakan hama dan penyakit merupakan gejala lain yang sangat mencederai kehidupan manusia.

Krisis iklim dan bencana ekologis yang terjadi, tidak sekadar disebut fenomena alam. Masalah itu ada karena watak eksploitatif manusia (korporasi) atas alam.

Seperti yang terjadi di Cianjur, Sukabumi, Palu Donggala, Mandailing Natal, Pulau Obi, Sagea, Sidoarjo, Kupang (kota dan kabupaten), Sulawesi Tenggara, Kalimantan, Papua, Aceh, dan daerah-daerah lain di Indonesia.

Berangkat dari gambaran di atas, penurunan status atau alih fungsi gunung Mutis dari konservasi Cagar Alam dan Hutan Lindung menjadi Taman Nasional di wilayah Timau oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), melalui Keputusan Menteri LHK Nomor 96 Tahun 2024 tentang Perubahan Fungsi Dalam Fungsi Pokok Cagar Alam Mutis Timau menjadi Taman Nasional dan Perubahan Fungsi Antar Fungsi Pokok Kawasan Hutan Lindung Mutis Timau Menjadi Taman Nasional di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi NTT, pada 8 September 2024, secara tak langsung telah menghidupkan konflik sumber daya alam, agraria, dan mengancam eksistensi masyarakat adat Atoni Pah Meto bahkan penduduk di pulau Timor.

Dikarenakan sebagian besar areal hutan merupakan sumber mata air, sumber energi, ritus adat, rumah bagi berbagai jenis keanekaragaman hayati –salah satunya seperti Ampupu (Eucalyptus urophylla), bonsai alam, serta tempat tinggal berbagai spesies burung, mamalia, termasuk rusa timor.

Alih fungsi Mutis mencerminkan ketegangan yang sering terjadi dalam pelbagai kebijakan kehutanan di Indonesia, bilamana kepentingan negara dan korporasi selalu mengabaikan dimensi ekologis dan hak masyarakat adat.

Jantung kehidupan

Pada umumnya Gunung Mutis adalah pusat peradaban sekaligus tumpuan hidup bagi masyarakat yang mendiami pulau Timor, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Malaka, dan Belu, terkhususnya masyarakat adat Atoni Pah Meto atau suku Dawan yang sudah berabad-abad menjaga, melestarikan, dan mendapat sumber penghidupan dari ekosistem di kawasan Mutis.

Gunung Mutis tidak sekadar kawasan sabana biasa. Berada di ketinggian 2.458 Mdpl, hutan ini adalah salah satu dataran tertinggi dan terbasah di Pulau Timor dengan curah hujan mencapai 2.000-3.000 mm/tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata pulau yang hanya berkisar 800-1.000 mm.

Dengan keadaan iklim mendukung, wilayah ini menjadi penyangga utama bagi tiga daerah aliran sungai (DAS) besar; Noel Mina, Noel Benanain, dan Noel Fail di pulau Timor. Tanpa kelestarian hutan ini, ketersediaan air bersih bagi masyarakat akan sulit diatur.

Dalam pandangan masyarakat adat Atoni Pah Meto, melestarikan alam bukan semata tentang bagaimana menjaga lingkungan sekarang, tetapi juga tentang menyiapkan warisan berharga bagi generasi mendatang.

Ini yang kemudian menjadi dasar penolakan dari ribuan masyarakat Timor setelah deklarasi penetapan Taman Nasional Mutis Timau oleh KLHK di Bali, bersama Tim Bezos Earth Fund (BEF)–lembaga filantropi berbasis di Amerika Serikat–melalui teleconference, tanpa ada sosialisasi kepada masyarakat Timor terlebih dahulu.

Bagi masyarakat adat Atoni Pah Meto, hutan dan gunung merupakan bagian dari jati diri mereka. Batu, pohon, dan air tak sekadar objek fisik –mereka memiliki jiwa dan nama yang sakral, dan menjadi bagian terpenting dari identitas kehidupan spiritual komunitas ini.

Hutan (nasi; bahasa Dawan) memiliki dua fungsi, yakni spiritual dan penghidupan. Fungsi spiritual, yaitu hutan sebagai tempat melaksanakan ritual penghubung bagi masyarakat adat kepada Sang Pencipta atau Tuhan (Apinat-Aklahat; bahasa Dawan).

Dengan melangsungkan upacara adat, masyarakat setempat percaya jika permohonan dan rasa syukur mereka telah dijembatani oleh perantara roh-roh leluhur yang bersemayam di belantara Mutis, kepada Apinat-Aklahat.

Sedangkan fungsi penghidupan, hutan merupakan pemberi kehidupan berupa air bersih dan sumber makanan (madu, umbi-umbian, dan sebagainya).

Selain itu, hingga sekarang masyarakat adat setempat masih meyakini, jika batu-batu di kawasan hutan Mutis adalah nenek moyang yang senantiasa memberi mereka perlindungan dan menyimpan sejarah.

Merusak bebatuan, berarti menghilangkan bagian dari identitas atau peradaban mereka. Begitu pula pohon. Setiap pohon memiliki nama, lambang kehidupan, dan keseimbangan alam. Selama beratus-ratus tahun, pepohonan ini dihormati sebagai pelindung dan penopang hidup, menyediakan oksigen, makanan, dan habitat bagi makhluk hidup lain.

Sayangnya berbagai kearifan lokal masyarakat adat Atoni Pah Meto, kini menghadapi ancaman serius seperti ekowisata, penambangan, dan deforestasi.

Meski masyarakat setempat terus berjuang melindungi tanah, status sosial, dan sumberdaya alam mereka. Sebab bilamana eksploitasi merajalela dan lingkungan semakin terancam, kisah Batu Bernama (Fatukanaf), Pohon Bernama (Haukanaf/Haumonef/Hauteas), dan Air Bernama (Oekanaf), jadi panggilan moral untuk melawan dan menjaga kedaulatan Gunung Mutis.

Hegemoni Pertumbuhan Ekonomi

Tentu kita memahami taman nasional adalah konsep global, di mana diantaranya ada penetapan sistem zonasi.

Seringkali, sistem global dipandang lebih progresif sehingga banyak diadopsi oleh berbagai negara, seakan sistem pengelolaan ekologis berbasis masyarakat adat sangat usang.

Konsep ini dapat diterapkan di tempat lain, tapi ada kalanya bertolak belakang dengan sosio-ekologis dan corak produksi masyarakat setempat (Erna Gunawan; 2024).

Di satu sisi, pada dasarnya negara masih menciptakan mitos bila kemiskinan adalah penyebab kerusakan lingkungan.

Ada pun mitos orang miskin tak bisa mengelola lingkungan karena minimnya pengetahuan. Parameter tidak punya pengetahuan umumnya dihubungkan dengan tingkat pendidikan formal yang relatif rendah.

Kejanggalan ini telah dibantah oleh Forsyth (2003) dalam tulisan Arif Satria (2019) yang mengatakan, bahwa orang kaya (elite negara dan korporasi) membutuhkan dan memanfaatkan sumber daya lebih banyak dari orang miskin atau kelas proletar.

Akibatnya dampak lingkungan lebih besar daripada kelas proletar.

Seperti konsumsi energi, orang kaya yang lebih tinggi dibanding golongan miskin. Begitu pula, orang-orang yang dianggap miskin, sebenarnya memiliki paradigma lokal menjaga lingkungannya dengan arif dan bijaksana.

Pengetahuan ini kerap diabaikan negara karena dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi negara dan memperlambat masuknya kapital ke pedesaan. Buktinya hutan adat, sungai, dan laut dijaga oleh sistem lokal yang ternyata lebih efektif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

James Scott dalam bukunya Seeing Like a State (1998), dengan kritis memperlihatkan bagaimana berbagai skema pembangunan dalam sejarah, gagal karena bertolak belakang dari paham yang keliru mengenai apa yang penting dan berguna bagi masyarakat dan yang tidak bagi mereka.

Selanjutnya perlu digaris bawahi, masyarakat adat di Indonesia pada umumnya masih menganggap gunung adalah Ibu yang Agung, yang “welas asih”, menyusui kita dengan mata air dan aliran sungai.

Secawan mata air di gunung masih bisa diminum, apakah luasan air lautan bisa diminum? Sama halnya dengan pepohonan yang tumbuh menyebar di lereng (gunung). Ia memberikan ragam manfaat bagi manusia dan makhluk hidup di sekitarnya.

Dan sesungguhnya yang dapat memberi makanan kepada manusia, itu hanya selapis tanah yang subur yang tidak lebih dari satu jengkal tebalnya.

Lapisan yang sejengkal tersebut, tidak berfaedah dan dapat habis karena perbuatan manusia atau binatang yang merusak atau karena angin yang menghembuskan bagian yang tipis. Jika bagian yang tipis hilang, maka hilanglah seluruh sumber makanan manusia itu sendiri  (Mochamad Tauhid, 2019).

Ancaman Ekstraktivisme

Alih fungsi Mutis-Timau menjadi Taman Nasional ke-56 di Indonesia, dengan luas kawasan sebesar 12.315 hektar dari kawasan hutan lindung seluas 102.125 hektar, sebenarnya dimotori oleh agenda korporasi kemudian difasilitasi oleh KLHK dimasa Siti Nurbaya yang menjabat sebagai menteri.

Demi kepentingan pemodal, KLHK dan pemerintah provinsi NTT bersikeras memperluas proyek ini mencapai 66.473,83 hektar.

Seperti halnya sedang terjadi di Gunung Gede Pangrango, Salak, Kamojang, Ciremai, Padarincang, Parakasak, Slamet, Sorik Marapi, dan lain sebagainya.

Beberapa taman nasional dan hutan lindung ini, sedang diperhadapkan ancaman “mata bor” operasi pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP/geothermal) oleh negara (Kementerian ESDM) dan sektor swasta. Tanpa adanya transparansi dan keterlibatan masyarakat setempat, negara telah memancing konflik vertikal bahkan horizontal, ancaman nyawa, hingga kerusakan sumberdaya alam.

Berdasarkan laporan Global Forest Watch, bahwasannya pada tahun 2001, provinsi NTT memiliki 153 kilo hektar (kha) hutan primer, yang membentangi 3.3% area lahannya.

Pada tahun 2023, itu kehilangan 196 ha hutan primer, setara dengan emisi sebesar 138 kiloton (kt) CO₂. Dalam rentang waktu yang sama, NTT telah kehilangan 6.16 kha tutupan pohon akibat kebakaran dan juga 135 kha dari semua pendorong kehilangan lainnya.

Tahun dengan kehilangan tutupan pohon terbanyak akibat kebakaran pada periode ini adalah 2023, dengan 555 ha hilang akibat kebakaran—6.3% dari semua tutupan pohon pada tahun tersebut.

Sebagaimana Mutis, merujuk pada penetapan taman nasional dengan slogan memberi dampak pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat dan pemerintah daerah (kabupaten/provinsi), seperti pepesan kosong.

Mengingat, konsep taman nasional terkadang memutilasi gunung dan bentang ekosistem sumber kehidupan; mengeringkan mata air, merusak tanaman, mengusir hewan-hewan, mendiskriminasi manusia, dan lain-lain.

Jika diibaratkan, pembangunan taman nasional di gunung Mutis bak gurita, di mana puluhan tentakelnya bersiap menghisap hingga kering sendi-sendi kehidupan yang ada di sekelilingnya.

Hakikatnya pelestarian hutan berkedok taman nasional, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan hak asasi manusia yang meliputi masyarakat adat, perempuan, lingkungan, serta identitas sosial-kultural.

Kini, Taman Nasional Mutis telah menjadi subjek perlawanan dan protes sosial dari komunitas masyarakat adat Atoni Pah Meto karena akan berdampak buruk terhadap hak atas tanah, pangan, air, dan akses terhadap fungsi spiritualitas gunung.

Meski dalam banyak kasus di Indonesia, pemerintah akan meresponnya dengan perlakuan intimidasi, propaganda, diskriminasi, hingga gunakan kekuatan kepolisian dan militer untuk melemahkan gerakkan rakyat.

Mutis bukan Tanah Kosong

Sengketa kepemilikan hak atas tanah, yakni sengketa agraria yang selalu hadir setiap periode rezim yang berkuasa.

Sengketa yang sifatnya perdata, artinya sengketa antar individu warga negara, maupun sengketa struktural yang melibatkan masyarakat melawan pemerintah.

Dalam penguasaan tanah (objek hak) oleh individu atau kelembagaan (subjek hak) idealnya tanah harus mampu dikuasai baik itu secara de facto maupun secara de jure (Irwan Nirwana; 2007). Akan tetapi dalam berbagai kasus agraria yang bersifat struktural, hal ini tidak terjadi.

Pada umumnya sengketa itu terjadi karena perampasan dan pengambilalihan hak atas tanah – secara de facto dan de jure, yang dilakukan oleh negara maupun korporasi terhadap rakyat.

Dalam konteks Mutis, dengan terang benderang negara melakukan perampasan lahan untuk pembukaan kawasan taman nasional (industri ekowisata).

Konflik ini yang selanjutnya akan berimbas pada eksploitasi terhadap alam dan sosial di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Kupang, dan Kabupaten Timor Tengah Utara, di mana kerusakan lingkungan dan kerugian secara sosial-ekologis dialami oleh mayoritas masyarakat “petani” dan pedesaan.

Meski perubahan fungsi cagar alam jadi taman nasional, sebenarnya seperti lagu lama yang dipopulerkan kembali.

Sekitar 20 tahun yang lalu (tahun 2004), kawasan bentang alam Mutis pernah diusulkan jadi taman nasional, tapi pada waktu itu terhambat karena para kepala daerah tidak menyetujuinya.

Dengan alasan Mutis adalah kawasan hutan pegunungan yang tersisa di Pulau Timor. Mutis disebut “jantungnya”  Timor, karena fungsi pentingnya sebagai daerah tangkapan puluhan (sekitar 36)  sumber air, habitat flora dan fauna endemik, penyedia sumber daya kayu dan nonkayu, areal penggembalaan ternak, hingga berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon.

Jika berkaca dari konflik perampasan lahan yang sedang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, pemerintah yang selama ini mengeluarkan kebijakan pengelolaan hutan seakan tutup mata dan cuci tangan terhadap kejadian semacam ini.

Ada kesan setelah mengeluarkan kebijakan, pemerintah tak bertanggung jawab terhadap akibat dari kebijakan tersebut.

Dalam implementasi kebijakan serta pengelolaan hutan, tidak pernah libatkan masyarakat adat dan masyarakat sekitar wilayah konservasi.

Bila terjadi konflik dan perbedaan pandangan tentang tata batas dan pelanggaran oleh pemerintah dan korporasi, maka akan sulit sekali diselesaikan karena dari awalnya, memang pengelolaan hutan sama sekali tak melibatkan masyarakat adat sebagai salah satu stakeholder yang memegang peranan penting.

Selain itu juga, mayoritas masyarakat adat Atoni Pah Meto masih memiliki kesadaran bahwa Gunung Mutis beserta ekosistem di dalamnya, merupakan bagian dari kehidupan yang masih mengendap dalam setiap diri manusia.

Sebagaimana falsafah masyarakat suku Dawan yang memaknai hutan dan gunung sebagai adik-kakak (Olif, Tataf). Mereka yang sadar akan hal ini, tentu tidak rela kelestarian alamnya direnggut.

Merenggut ekosistemnya, sama halnya dengan merenggut kehidupan itu sendiri.

Negara diharapkan berkewajiban melindungi dan mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat Atoni Pah Meto atas tanah ulayat, hutan adat, simbol kehidupan di kawasan Gunung Mutis.

Semestinya ini menjadi prioritas negara, dengan mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang diusulkan sejak 2003 dan naskah akademiknya masih mangkrak di Gedung DPR RI.

Karena Undang-Undang (UU) Nomor 32 tahun 2024 tentang Perubahan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sangat berpotensi menjerumuskan masyarakat adat Atoni Pah Meto ke dalam marabahaya.

Sejatinya manusia dan alam memiliki hubungan erat.

Manusia dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya dengan memanfaatkan alam di sekitar; hutan, sungai, dan laut. Tidak terdapat satu manusia pun di dunia, yang bisa bertahan hidup tanpa alam.

Jika pemanfaatan hasil alam dilakukan dengan bijaksana, tentu saja harmoni kehidupan akan tercipta di antara keduanya. Sebaliknya, jika alam diperlakukan secara eksploitatif atau merusak, kemungkinan akan terjadi krisis dan menimbulkan bencana bagi manusia dan alam itu sendiri. [NI]

Daftar Pustaka

Arif Satria. Politik Sumber Daya Alam, Yayasan Pustaka Obor Indonesia; Jakarta, 2019, hal. 154-155

Irwan Nirwana. Konflik Agraria di Kehutanan; Kasus Tanah Cigembong, Garut, Jawa Barat; Jurnal Pembaharuan Pedesaan dan Agraria, Edisi 1; 2007, hal. 72

James Scott dalam Yulia Sugandi. Orang Hubula; Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2024.

Mochammad Tauhid. Masalah Agraria, Yayasan Bina Desa; Jakarta, 2019, hal. 380

https://www.globalforestwatch.org/dashboards/country/IDN/?lang=id

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini