Oleh: Akhmad Idris (Dosen Bahasa Indonesia di STKIP Bina Insan Mandiri Surabaya)
Satu hal yang langsung terngiang ketika mendengar kata Surabaya tentu saja hewan sura dan buaya yang menjadi maskot andalannya, padahal maskot andalan kota pahlawan tak hanya sura dan buaya saja. Salah satu ciri khas kota Surabaya yang bahkan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda adalah rujak cingur.
Faktor utama yang membuat rujak cingur melegenda adalah nilai historis di dalamnya dan cita rasa petisnya yang seolah menjadi identitas Jawa Timur, khususnya Surabaya. Oleh sebab itu, tak berlebihan rasanya jika rujak cingur disebut sebagai ‘pusaka’ kota Surabaya.
Penyebutan ini merujuk pada arti kata ‘pusaka’ sendiri yang di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kelima (2018) dimaknai sebagai harta benda peninggalan orang yang telah meninggal, barang yang diturunkan dari nenek moyang, atau warisan. Cocok dengan predikat rujak cingur yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda.
Asal-Usul Rujak Cingur
Ada sebuah kisah menarik tentang asal-usul rujak cingur, yakni konon katanya rujak cingur berasal dari negara Mesir. Terlepas benar atau tidaknya cerita ini, keberadaan cerita ini tetap asyik untuk diceritakan meskipun hanya sebatas pengetahuan, tidak menjadi kebenaran.
Kirana (2022) menceritakan ulang asal-usul rujak cingur yang bermula dari keinginan Raja Firaun Hanyokrowati. Saat sang raja berulang tahun, ia memanggil seluruh koki istana untuk membuatkan menu yang paling istimewa. Sayangnya tak ada satupun yang berhasil memanjakan lidahnya. Tiba-tiba ada seorang punggawa kerajaan yang mengungkapkan bahwa seorang yang bernama Abdul Rojak ingin menemui raja untuk memberikan sebungkus makanan dari daun pisang.
Sebelum disantap oleh sang raja, para ahli kesehatan kerajaan mengecek makanan tersebut terlebih dahulu untuk memastikan keamanan raja ketika mengonsumsinya. Saat sudah dipastikan aman, raja mulai mencicipinya. Raja ternyata sangat menyukainya, hingga melahapnya habis dengan bercucuran keringat sebab sensasi pedas dalam makanan tersebut.
Raja sangat bahagia dengan pemberian Abdul Rojak, sehingga ia ingin menghadiahi Abdul Rojak sebuah kapal laut; sebidang tanah; serta diangkat menjadi koki kerajaan. Semua hadiah ditolak oleh Abdul Rojak, kecuali kapal laut karena Abdul Rojak memang ingin melakukan pengembaraan. Singkat cerita, pengembaraan membawanya tiba di Pelabuhan Tanjung Perak. Sesampainya di sana, ia menyebarkan resep yang disukai raja tersebut di wilayah-wilayah Surabaya.
Bahan utama dari resep Abdul Rojak adalah cingur unta, sementara di Surabaya tidak bisa ditemui unta. Oleh sebab itu, cingur unta diganti dengan cingur sapi. Ternyata resep Abdul Rojak juga mudah diterima oleh lidah orang-orang Surabaya, sehingga resep tersebut terkenal dengan nama Rujak Cingur yang diambil dari nama Rojak. Sekali lagi cerita ini hanyalah bagian dari sastra lisan yang tercipta sebagai kisah dari mulut ke telinga, bukan sebagai hal dapat dibuktikan kebenarannya.
Harus diakui bahwa rujak cingur menjadi istimewa memang gegara peranan petis di dalamnya. Raffles (2009) mengungkapkan bahwa petis diolah dari bahan campuran daging kerbau yang dapat ditemui di daerah-daerah pedalaman. Kini, petis merupakan bahan hasil proses dari udang yang diolah dan difermentasikan untuk mendapatkan rasa dan aroma yang khas.
Kekhasan rujak cingur Surabaya memang terletak pada tambahan petis dan asam Jawa. Sementara menurut Widodo (2014), industri petis Surabaya telah ada sejak abad ke-19. Hal ini dapat dibuktikan dengan sebaran iklan petis Nyonya Siok di koran-koran. Dengan sejarah panjang inilah, rujak cingur memang perlu dijaga keberadaannya sebagai warisan budaya.
Sebuah Cara Menjaga ‘Pusaka’
Banyak cara yang telah ditempuh untuk menjaga kelestarian rujak cingur, dua di antaranya adalah penyelenggaraan Fetival Rujak Uleg setiap tahun (sempat vakum selama dua tahun gegara pandemi Covid-19) dan keberadaan warung-warung yang menjual rujak cingur dengan resep turun-temurun.
Festival Rujak Uleg sendiri merupakan agenda rutin tahunan yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pawirisata (DKKORP) Kota Surabaya. Penyelenggaraan festival ini merupakan wujud kesadaran masyarakat Surabaya terhadap keistimewaan kuliner lokalnya yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda.
Sementara warung yang menjual menu rujak cingur dengan resep turun-temurun adalah Rujak Cingur Genteng Durasim yang telah ada sejak tahun 1938 (sebelum Indonesia merdeka). Hingga saat ini, warung rujak cingur ini tetap beroperasi. Meskipun telah berpindah tangan ke generasi penerusnya, cita rasa legendarisnya tetap terjaga.
Selain Rujak Cingur Genteng Durasim, warung lainnya yang tetap menjaga cita rasa legendarisnya adalah Depot Rujak Cingur Pak Kasin yang telah ada sejak tahun 1990. Memang tidak selama Rujak Cingur Genteng Durasim, namun Rujak Cingur Pak Kasin memiliki cita rasa yang juga tidak kalah khas. Depot Rujak Cingur Pak Kasin berlokasi di Jalan Raya Lontar Nomor 262, Sambikerep, Surabaya.
Sebuah Simpulan
Pada akhirnya rujak cingur tidak sekadar menjelma olahan kuliner yang memanjakan lidah, tetapi juga sebagai produk warisan budaya yang perlu dijaga kelestariannya. Keberadaan warung-warung legendaris yang masih konsisten menjual rujak cingur perlu dijaga dan didukung oleh semua pihak agar tetap memiliki generasi penerus. Begitu juga Festival Rujak Uleg yang harus menjadi agenda ‘wajib’ tahunan dan tidak boleh ditawar sedikitpun agar masyarakat muda Surabaya tetap mengenal rujak cingur tidak hanya pasta dan pizza saja. Sekian.
Daftar Referensi
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2018). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kirana, Febi Anindya. (2022). Sejarah Rujak Cingur yang Jadi Makanan Khas Surabaya. Dapat Diakses di https://www.fimela.com/food/read/3869079/sejarah-rujak-cingur-yang-jadi-makanan-khas-surabaya
Raffles, Thomas Stamford. (2009). History of Java. Yogyakarta: Narasi.
Widodo, Dukut Imam. (2014). Monggo Dipun Badhog. Surabaya: Dukut Publishing.