Oleh: Chusnul C., (alumni Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, penulis buku Ekologi Adat Komunitas Ammatoa. E-mail: chusnul.c@mail.ugm.ac.id).
Adanya pengakuan warga negara yang inklusif, idealnya menjadi cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa. Warga negara yang selama ini terpinggirkan, baik dari pembangunan nasional, ataupun eksistensi kelompok perlu diperkuat posisinya baik secara ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Pemenuhan hak yang setara sebagai warga negara penting diutamakan demi terciptanya sistem demokrasi yang sehat serta terawatnya nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Cita-cita yang selama ini diperjuangkan bersama setidaknya mendapatkan titik terang melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 2017 tentang inkonstitusonalitas pengosongan kolom agama di kartu identitas bagi kelompok penghayat kepercayaan yang sebagian besar merupakan kelompok masyarakat adat.
Stigma Negatif Terhadap Kelompok Adat/Penghayat
Masyarakat adat dan atau masyarakat penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan kelompok masyarakat yang dalam sejarahnya mengalami diskriminasi dalam kurun waktu yang lama (lihat Sangaji, 2007).
Praktik adat dan atau kepercayaan yang umumnya menekankan keseimbangan alam distigma sebagai praktik animisme dan dinamisme atau bahkan dianggap sebagai praktik primitif. Berbagai stigma negatif menjadikan mereka terpinggirkan dalam tatanan sosial masyarakat maupun pembangunan bangsa. Umumnya mereka hidup dalam ‘kemiskinan’ dan ‘tertinggal’.
Dalam tulisan ini yang saya maksud sebagai masyarakat adat dan atau penghayat yakni masyarakat yang hidup dengan mempraktikkan hukum adat atau penghayat kepercayaan yang berada di wilayah pedalaman dan memiliki tanah ulayat.
Sebagai catatan, tidak semua masyarakat adat merupakan penganut penghayat kepercayaan, dan tidak semua penghayat kepercayaan tinggal di lingkungan adat. Namun merujuk kepada Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah penghayat di Indonesia sekitar 10-12 juta penduduk (Mubarok, 2019).
Putusan MK 2017 tentu merupakan sebuah pencapaian yang perlu diapresiasi, namun 4 tahun berselang, masyarakat adat dan atau penghayat masih mengalami diskriminasi budaya di tengah masyarakat mayoritas. Hal ini bisa dilihat dari berbagai sisi, dari diskursus publik seperti media massa dan kebijakan pemerintah maupun dari diskursus akademik.
Dilihat dari media, laporan terkait isu adat dan atau penghayat masih sangat sedikit. Selain dari segi kuantitas beberapa laporan media nasional hanya membahas hal-hal yang bersifat permukaan. Project Multatuli, salah satu media online nasional, melalui serial laporan masyarakat adat menyebutkan bahwa media massa hanya membicarakan masyarakat adat saat terjadi konflik atau ketika bajunya dipakai pejabat, sehingga alih-alih menggali informasi secara menyeluruh justru menempatkan mereka sekadar menjadi objek berita yang tentu hanya menguntungkan para korporasi media.
Istilah-Istilah Usang
Tak hanya itu, madia nasional juga masih menggunakan istilah-istilah usang yang sebenarnya mendiskreditkan masyarakat adat dan atau penghayat baik secara langsung menyebut kelompok tertentu maupun dengan cara tak langsung melalui penggunaan istilah animisme dinamisme. Jika kita merujuk pada putusan MK tahun 2017, istilah-istilah tersebut sebenarnya sudah tidak lagi relevan digunakan untuk mendefinisikan masyarakat adat dan atau penghayat.
Bagi media, isu masyarakat adat dan atau penghayat hari ini mungkin belum menjadi isu seksi dan bersifat clickbait sehingga mendulang banyak pembaca. Namun media massa, sebagai salah satu pilar demokrasi, memiliki kapabilitas untuk menggiring wacana publik dan bersamanya mengemban tanggung jawab moral yang besar untuk terus mendukung terciptanya demokrasi yang sehat dan kesetaraan antar kelompok.
Sialnya, istilah-istilah peyoratif untuk mendefinisikan masyarakat adat dan atau penghayat tidak saja dilakukan oleh media massa, namun para akademisi dan bahkan negara. Di berbagai jurnal akademik misalnya masih banyak ditemukan istilah peyoratif seperti animisme dinamisme untuk mendefinisikan masyarakat adat dan atau penghayat, sementara negara masih memilih menggunakan istilah masyarakat adat terpencil.
Penggunaan istilah-istilah peyoratif tidak saja terjadi hari ini namun bahkan telah digunakan di masa Orde Baru untuk menamai program pembangunan seperti program ‘suku terasing’ dan ‘masyarakat terbelakang’ (Sangaji, 2007; David dan Hanley, 2007).
Program-program pembangunan nasional zaman Orde Baru diantaranya seperti program pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Program pendidikan yang ditujukan terhadap kelompok adat kemudian mendistorsi makna tradisi lokal yang mereka percaya sebagai ajaran luhur, menjadi berkonotasi negatif, dianggap primitif.
Program kesehatan yang digalakkan pemerintah Orde Baru juga memiliki dampak serupa terhadap kelompok adat misalnya adanya pemaksaan untuk mengkonsumsi obat-obatan modern. Sementara itu, implementasi program peningkatan kesejahteraan masyarakat, termasuk di dalamnya program wisata budaya, alih-alih menyejahterakan justru menjadikan masyarakat adat sekadar menjadi objek wisata dan tereksploitasi (Chotimah 2020 mengutip Maarif dkk, 2019).
Banyak ahli menganggap program pembangunan tersebut gagal karena masyarakat adat menolak untuk berpartisipasi dalam pembangunan (Maarif dkk, 2009 dikutip dari McCarthy 2005; Aragon 2000; Kato 1989; Yampolsky 1995, dan Kingston 1991). Kegagalan tersebut tentu dilatarbelakangi banyak sebab, namun sedikit banyaknya, penggunaan istilah peyoratif yang digunakan berdampak negatif bagi bagi program pembangunan masyarakat adat. Lebih jauh, penggunaan istilah-istilah peyoratif tak lepas dari bias modernisme dan politik kolonialisme.
Konstrukti Istilah Animisme Dinamisme dalam Pusaran Kolonialisme
Pada tataran diskursif, teori animisme banyak didiskusikan dalam kajian antropologi oleh para ilmuan barat pada abad ke 19 dan sampai ke dunia Timur melalui Kolonialisme. Pada tahun 1906, seorang sarjana Belanda dan sekaligus misionaris Kristen Calvinis, Albert Kruyt mengenalkan konsep Animisme di nusantara melalui karyanya Het Animisme in den Indischen Archiple.
Konsep animism yang ia kenalkan menjelaskan praktik masyarakat lokal yang tidak atau belum ber’agama’, ia melabeli adat sebagai primitif, tidak beradab, tidak modern. Pelabelan tersebut menciptakan jarak antara kepercayaan lokal dan agama. Kepercayaan lokal yang animisme itu, menurut dia, tidak cukup memadai untuk disebut sebagai agama. Karena itu, masyarakat adat perlu dimodernkan dan dikonversi menjadi pemeluk agama-agama dunia yang dianggap lebih beradab dan modern.
Polemik antara adat dan agama kian menguat di masa kolonial Belanda melalui kebijakan politik etis yang sama sekali tak etis. Seorang penasihat Belanda bernama Snouck Hurgronje memanfaatkan polemik tersebut untuk meredakan gerakan yang mengancam pemerintah kolonial dengan memberlakukan politik pembedaan terhadap masyarakat nusantara.
Ia menyarankan pemerintah kolonial untuk berafiliasi dengan kelompok adat dan membuat pembatasan ruang gerak terhadap kelompok beragama yang pada waktu itu dianggap mengancam politik kolonial. Afiliasi yang mereka bangun dengan kelompok adat diwujudkan dengan misalnya memperkuat lembaga adat, dan di sisi lain melemahkan gerakan kelompok beragama. Hurgronje dengan berbagai usahanya meyakinkan pemerintah kolonial bahwa adat dan agama adalah dua hal yang berbeda sama sekali.
Bentuk penguatan terhadap lembaga adat kemudian termanifetasi dengan salah satunya perumusan hukum adat yang kemudian menjadi diskursus akademik. Salah satu tokoh yang menginisiasi lahirnya studi hukum adat, yang merumuskan serta mengompilasi hukum adat yakni Van Vollen Hoven. Dan hingga hari ini hukum adat dipahami sebagai segala bentuk hukum yang berlaku di masyarakat lokal tertentu yang bukan merupakan hukum agama.
Imbas dari konstruksi yang dilakukan pemerintah kolonial secara tak langsung menghilangkan dimensi agama pada pada praktik masyarakat adat dan semakin memperkuat polemik antara adat dan agama sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Dengan demikian kolonial memahami adat sebagai hukum dan di sisi lain memahaminya sebagai praktik animisme. Mereka memperkuat lembaga adat hanya sekadar mendapatkan keuntungan darinya untuk mengadu domba dengan kelompok agama di nusantara, di sisi lain melabeli mereka dengan istilah animisme.
Masa kolonialisme sudah lama berlalu, namun konstruksi animisme serta politik adu domba yang dilakukan Belanda terhadap kelompok adat dan agama masih mengurat-mengakar hingga hari ini baik dalam tataran diskursus publik maupun diskursus akademik. Media, dan para akademisi bahkan negara masih belum menyadari dampak penggunaan istilah-istilah peyoratif yang ditujukan terhadap kelompok masyarakat adat dan atau penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pentingnya Kesetaraan
Jika kita masih menginginkan terciptanya demokrasi yang sehat, kesetaraan sesama kelompok warga negara harus terus diperjuangkan termasuk penguatan masyarakat yang telah begitu lama terpinggirkan dengan salah satunya, mengganti istilah-istilah peyoratif untuk mendefinisikan mereka.
Penggantian istilah tersebut tentu tidak mudah, memerlukan waktu yang panjang dan kerja kolaboratif dari berbagai pihak baik negara, akademisi, media, pekerja sosial, maupun kelompok masyarakat lainnya. Upaya penguatan kelompok minoritas tidak saja ditujukan atas nama kesetaraan sebagai sesama warga negara, atau sekadar untuk merawat aset bangsa, tetapi juga memperkuat identitas bangsa yang berbhineka tunggal ika. [NI]
Referensi
Chusnul Chotimah (2020). Creative Economy for Indigenous Tradition and Environment Preservation (A Community-Based Ecotourism (CBET) Program in the Ammatoan Indigenous Community of Bulukumba, South Sulawesi). Tesis.CRCS UGM, Yogyakarta.
Mubarok, H. (2019). Sejarah Advokasi Pluralisme Agama: Studi Kasus Advokasi Agama Leluhur di Indonesia. Dialog, 42(2), 135-146.
Henley, D. E. F., & Davidson, J. S. (2007). Introduction; Radical conservatism; The protean politics of adat’. Routledge Contemporary Southeast Asia series.
Maarif, S; Muhammad. IGP. Suryadharma. (2019). Roadmap Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas Ammatoa Kajang. Yogyakarta: CRCS UGM.
Sangaji, A. (2007). 14 The masyarakat adat movement in Indonesia. The Revival of Tradition in Indonesian Politics, 319.
https://projectmultatuli.org/masyarakat-adat-dibicarakan-hanya-saat-konflik-atau-bajunya-dipakai-pejabat/ (diakses pada 11 Nov 21)
https://kumparan.com/berita-hari-ini/kondisi-bangsa-indonesia-sebelum-islam-datang-dari-segi-keyakinan-masyarakat-1uFYFRGQ9e3/full (diakses pada 11 Nov 21)
https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/04/181444879/kepercayaan-animisme-pengertian-sejarah-dan-contohnya?page=all (diakses pada 12 Nov 21)
https://www.kompas.com/skola/read/2020/08/18/131500069/apa-yang-dimaksud-dengan-magis-religius- (diakses pada 12 Nov 21)
https://kabarbanten.pikiran-rakyat.com/pariwisata/pr-592670390/mengenal-sunda-wiwitan-kepercayaan-yang-dianut-sebagian-masyarakat-banten-dan-jawa-barat (diakses pada 12 Nov 21)
https://id.berita.yahoo.com/animisme-adalah-kepercayaan-pada-roh-060020863.html (diakses pada 12 Nov 21)
https://travelingyuk.com/suku-dengan-kepercayaan-dinamisme/229916 (diakses pada 12 Nov 21)
http://repository.uinjambi.ac.id/425/1/SKRIPSI%20AGUS%20MIYANTO%20NIM%20UA%20131154%20-%20mila%20jamilah.pdf (diakses pada 12 Nov 21)