Oleh Zaprulkhan (Doktor Filsafat Islam dan Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam, Institut Agama Islam Negeri Syaikh Abdurrahman Siddik, Bangka Belitung. Ia telah menulis banyak buku tentang Islam).
Sejak era reformasi, secara global setidaknya kita melihat tampilnya dua “wajah Islam” atau corak keislaman ke ruang publik masyarakat Indonesia, yaitu (1) wajah Islam Islamis-radikal-konservatif dan (2) wajah Islam moderat-progresif-inklusif. Masing-masing memiliki pendukung. Masing-masing kelompok juga saling “beradu” diskursus keislaman dan keagamaan.
Islam Bercorak Islamis-Radikal-Konservatif
Pertama, katakanlah Islam yang berwajah islamis-radikal-konservatif. Islam tipe ini, mempunyai beberapa varian. Varian pertama berwajah Islamisme, yakni diskursus Islam yang tampil ke ruang publik lebih banyak bernuansa atau berorientasi politik-kekuasaan. Islamisme atau Islam politik disuarakan secara terang-terangan oleh gerakan tarbiyah cabang Ikhwanul Muslimin (IM) di Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), cabang gerakan atau organisasi transnasional Hizbut Tahrir yang bermarkas di Inggris. Mereka, terutama HTI, secara terbuka, masif, terstruktur dan sistemik meneriakkan konsep khilafah Islamiyah (khilafah Islam) yang mereka klaim sebagai “mandat nabi” (atau khilafah ala minhaj nubuwwah).
Padahal sejatinya, apa yang mereka suarakan adalah “khilafah tahririyah”, yakni konsep khilafah ala atau versi Hizbut Tahrir (atau tepatnya versi pendiri atau “founding fathers” Hizbut Tahrir). Lucunya, semua persoalan, dari yang paling sederhana, remeh temeh sampai yang kompleks, solusinya tidak lain adalah khilafah tahririyah.
Namun karena mereka membungkus semua tawarannnya dengan menggunakan bahasa ‘agama’ (bahasa ‘Islam’), maka cukup banyak orang atau masyarakat – elit maupun “wong cilik”, golongan awam maupun “wong pinter”– yang terpesona dengan propaganda HTI dan kemudian menjadi simpatisan gerakan atau ormas politik ini. Walaupun sebagian besar masyarakat awam dan kalangan intelektual yang terpengaruh HTI ini tidak menjadi anggota resmi, tapi mereka sangat bersimpati dan membela ide-ide yang diusung oleh HTI.
Mengenai Islamisme ini, dengan tegas Bassam Tibi mengatakan bahwa Islamisme sebenarnya tidak lebih dari politik yang di-islamisasi. Mereka menggunakan bahasa ‘agama’, bahasa ‘Islam’ demi kepentingan kekuasaan yang hendak mereka raih. Sebagaimana kita ketahui, bahasa agama ini cukup ampuh dalam menghipnotis masyarakat luas. Apalagi ketika kepentingan kelompok Islamisme tersebut dijadikan tunggangan politis oleh segelintir politikus busuk yang rakus jabatan dan kekuasaan. Berjalin kelindannya kepentingan mereka ini, menyebabkan atmosfir ruang publk bangsa kita menjadi pengap.
Varian kedua adalah Islam ortodoks yang berwajah sangat fikih-oriented. Setelah reformasi, cukup banyak muncul dai-dai “pop culture” yang ceramahnya sangat menekankan aspek fikih. Hampir sebagian besar isi ceramahnya membahas hal-hal yang berkaitan dengan hukum fikih dalam ibadah-ibadah ritual seperti salat wajib, salat sunah, salat sunnah dhuha dan tahajjud, zakat, haji, umroh, shodaqoh, dan lain-lain. Dai-dai ini cukup populer di kalangan ibu-ibu (emak-emak) dan bapak-bapak.
Selanjutnya, varian ketiga adalah wajah Islam konservatif-puritan yang berorientasi pada akidah. Diskursus keagamaan / keislaman yang mereka tampilkan selalu berputar dalam poros tauhid. Tapi sayangnya, tauhid yang bercorak kaku atau rigid. Wacana Islam yang berorientasi akidah ini disuarakan dengan lantang oleh kelompok salafi-wahabi. Maka tidak mengherankan kalau sebagian tradisi Islam Nusantara menjadi sasaran gugatan mereka.
Kelompok tauhid-oriented ini menolak bahkan membid’ahkan, menyesatkan, mengafirkan, dan memusyrikan ritual-ritual yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat Islam Indonesia seperti tahlilan, tawasul, berdoa di makam wali, selamatan 7 hari, 40, 100 atau 1000 hari. Bahkan beberapa peninggalan budaya Nusantara hendak mereka musnahkan. Siapapun yang berbeda pemahaman tauhidnya dengan mereka, maka dianggap sesat, melakukan bid’ah atau bahkan bisa dianggap musyrik.
Tiga varian wajah Islam tersebut muncul secara masif ke ruang-ruang publik bangsa kita. Tiga wajah Islam itu juga mendominasi jagad media sosial. Ketiga potret Islam ini memiliki aktor, dai, juru bicara dan publik figurnya masing-masing yang menjadi idola bagi masyarakat luas. Para dai dan aktor ini melakukan dakwah dan sekaligus propaganda secara masif melalui berbagai media sehingga mampu mewarnai masyarakat secara besar dan membentuk kelompok-kelompok setia pengikut mereka dengan karakter uniknya masing-masing.
Namun jika diperhatikan dengan seksama, ada benang merah yang mengikat mereka semua yakni semangat keberagamaan yang menggebu-gebu tapi sekaligus dangkal; keberagamaan yang cenderung emosional tapi mengabaikan penalaran akal; fanatisme beragama yang sempit dan membenci penganut agama yang memiliki pemahaman lain; serta potret keberagamaan tertutup (close-minded) yang cenderung menutup diri terhadap wacana keagamaan yang berada di luar kelompoknya.
Hampir selama dua dasawarsa terakhir ini, potret keberagamaan yang bercorak rigid, politis, dangkal, emosional, sempit, dan close-minded inilah yang telah mendominasi ruang-ruang publik masyarakat Indonesia. Mereka telah memasuki nyaris semua lini kehidupan kita, baik formal maupun nonformal. Dalam tataran tertentu, potret keberagamaan seperti ini sudah mulai menjadi paradigma sebagian masyarakat kita yang tidak bisa diremehkan.
Islam Corak Moderat-Progresif-Inklusif
Lalu bagaimana menghadapi wajah keberagamaan yang surplus emosi namun defisit intelegensi tersebut?
Pada titik inilah, tampilnya wajah Islam yang kedua yaitu Islam yang berwajah moderat-progresif-inklusif. Islam yang berwajah moderat-progresif-inklusif ini terus melakukan counter wacana secara masif pula. Secara umum, Islam ini diwakili oleh kaum intelektual dan cendekiawan, para dosen dan guru, para kyai dan santri, para dai dan mubaligh yang open-minded dari ormas NU dan Muhammadiyah serta ormas-ormas moderat lainnya.
Mereka sudah mulai proaktif menyuarakan Islam wasathiyah (Islam moderat) yang bersahabat dengan kultur bangsa di ruang publik. Mereka terus aktif menyuarakan Islam moderat, yang ramah dan sejuk, inklusif dan humanis pada masyarakat secara luas. Mereka juga proaktif menggunakan beragam platform media sosial dalam berbagai bentuknya seperti Twitter, Instagram, Facebook, WhatsApp, Youtube dan lainnya. Kita bersyukur sudah ada sejumlah kaum cendekiawan, kyai, santri atau kaum intelektual moderat-progresif yang sangat aktif mengcounter wacana Islam yang kaku serta menyuarakan Islam yang wasathiyah, moderat, inklusif, dan humanis.
Di sini kita bisa menyebut segelintir nama seperti di bawah ini sebagai contoh faktual.
Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) dengan artikel-artikel ringan tapi berbobot yang mencerahkan, yang mengcounter wacana-wacana HTI dengan rujukan-rujukan kitab klasik dan kontemporer yang sangat otoritatif. Tulisan-tulisan bernas, brilian, dan otoritatif Gus Nadir pelan tapi pasti mulai menenggelamkan tulisan-tulisan dangkal provokatif kalangan pengusung khilafah tahririyah.
Sumanto Al Qurtuby dengan artikel-artikel kuliah virtualnya yang membuka perspektif kita tentang fenomena geo-kultural dan geo-politik Islam di kawasan dunia Arab, khususnya Timur Tengah, sehingga banyak orang yang terbebaskan dari perspektif Arab-sentris. Tulisan-tulisan singkatnya tentang pluralitas agama juga membuka perspektif tentang pentingnya toleransi antar/intraumat beragama. Tulisan-tulisannya juga menggarisbawahi tentang bahaya pemahaman keislaman dan keagamaan yang tidak menggunakan akal-sehat dan hati nurani.
Kyai Husein Muhammad dengan tulisan-tulisannya mengenai wacana gender dengan beragam tema. Kyai Ahmad Ishomuddin yang aktif menulis dengan tegas untuk mengcounter wacana-wacana kelompok radikal dan intoleran. Ada pula Ayik Heriansyah dengan tulisan-tulisan cerdas yang menohok dan menguliti agenda-agenda licik HTI.
Begitu pula, cukup banyak para kyai dan gus (putra kiai) yang mengkaji beragam kitab secara live streaming melalui media sosial Facebook dan kemudian disebarkan juga melalui Youtube dengan channel-nya masing-masing. Misalnya, ada M. Quraish Shihab dengan channel Shihab & Shihab-nya yang dipandu oleh putrinya, Najwa Shihab, yang mengangkat berbagai tema keislaman dan dikaji atau ditafsiri dengan menggunakan rujukan berbagai kitab tafsir dan lainnya. Ada juga channel Gus Mus yang menayangkan ‘ngaji’-nya Gus Mus beberapa kitab di hadapan para santri yang ditayangkan secara live streaming.
Kemudian, ada Gus Ulil Abshar-Abdalla yang mengkaji kitab Ihya’ Ulumuddin dengan uraian yang sangat kaya perspektif lewat akun Facebooknya. Ada Kyai Mukti Ali Qusyairi yang mengkaji kitab Adabud Dunya wad Din yang memperkaya wawasan kita tentang adab dalam Islam secara komprehensif. Ada Kyai Abdul Moqsith yang mem-balagh kitab fikih fenomenal Fathul Mu’in dan kajian ushul fikih kitab syarah Waroqot yang membuka wawasan kita tentang fikih yang luwes. Ada pula Kyai Zen Maarif yang mengkaji kitab-kitab bernuansa filsafat seperti Fashlul Maqol karya Ibnu Rusyd dan Ihshaul Ulum karya Al-Farabi dengan penjelasan filosofis yang amat mencerahkan nalar.
Itulah segelintir nama cendekiawan, kyai, dan gus yang aktif menyuarakan wajah Islam yang moderat dan inklusif, toleran dan humanis. Dan masih banyak lagi para cendekiawan dan intelektual, kyai dan santri yang menyuarakan Islam yang ramah dan santun, inklusif dan humanis, toleran dan bersahabat dengan kultur bangsa melalui media sosial.
Inilah wajah Islam yang kedua yang bisa kita sebut juga sebagai Islam berwajah kultural yang moderat-progresif-inklusif.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menyaksikan wajah Islam kultural yang moderat-progresif-inklusif ini sudah mulai mengimbangi wajah Islam politis yang konservatif. Ceramah-ceramah Gus Muwafiq yang mengadopsi adat budaya bangsa dan menanamkan hubbul wathon minal iman, mulai proaktif mengcounter ceramah-ceramah provokatif Felix Siauw seputar khilafah. Cuplikan-cuplikan pengajian Gus Baha yang mengkaji tentang tafsir dan hukum fikih dengan analisis perspekfif komparatif yang sangat kaya, luwes dan diselingi dengan humor segar khas dunia pesantren salaf, mulai lebih populer daripada ceramah-ceramah para dai model Abdul Somad misalnya yang terkesan rigid dan monoton.
Ceramah-ceramah Gus Miftah yang menyuarakan Islam moderat dan kultural dengan menggunakan bahasa gaul, sangat enerjik dan penuh canda yang relevan, mulai memudarkan ceramah-ceramah para dai salafi wahabi yang penuh dengan keseriusan dan ketegangan. Kajian kitab Ihya ‘Ulumuddin yang diampu Gus Ulil Abshar Abdalla dengan penjelasan yang canggih, kontekstual dan melakukan relevansi dengan konteks masyarakat Indonesia, mulai menjadi idola kaum menengah kota dan mulai menggeser kajian-kajian keislaman yang dilakukan oleh Khalid Basalamah.
Saya berharap lebih banyak lagi kaum cendekiawan dan intelektual, dosen, kyai dan santri yang aktif menyuarakan Islam kultural yang berwajah moderat-progresif-inklusif ini lewat berbagai platform media sosial seperti Twitter, Facebook, WhatsApp, Instagram, Youtube, dan lainnya. Mereka tidak boleh diam dan pasif. Mereka harus aktif bersuara. Sebab kalau mereka pasif dan tidak peduli dengan persoalan-persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat, maka kehidupan keberagamaan ruang publik kita akan dikuasai oleh kelompok Islamis-konservatif.
Islam Moderat Jangan Jadi “Silent Majority”
Sayangnya banyak sekali kaum moderat yang bersikap pasif dengan merajalelanya kaum radikal-intoleran-konservatif yang menyerbu ruang publik Indonesia. Inilah yang jauh-jauh hari, di awal abad ke-21, sudah disinyalir oleh Khaled Abou El-Fadl, yakni bahwa kaum moderat Islam itu mayoritas, tetapi ironisnya mereka menjadi silent majority, mayoritas yang pasif meskipun fenomena radikalisme berkembang biak di masyarakat. Padahal, kemenangan kontestasi wajah Islam moderat-progresif-inklusif terhadap wajah Islam Islamis-radikal-konservatif di ruang-ruang publik sangat bergantung pada peran aktif kaum moderat Muslim, terutama kaum cerdik-pandai (cendekiawan, ilmuwan, sarjana, intelektual, akademisi, kyai dan santri).
Mereka tidak boleh lagi hanya sibuk dengan urusan internal kampus (mamsalah administrasi dan mengajar) sementara mengabaikan urusan eksternal kampus yang menimpa masyarakat, bangsa dan negara. Kaum cerdik-pandai bukan hanya mempunyai tanggung jawab akademik tetapi juga tanggung jawab publik, bukan cuma tanggung jawab intelektual tapi juga tanggung jawab sosial, dan bukan cuma tanggung jawab keilmuan tapi juga tanggung jawab kebangsaan dan kenegaraan. Bagi saya, akademisi yang hanya aktif dengan persoalan-persoalan internal kampus dan tidak peduli pada persoalan-persoalan eksternal di ruang publik, otoritas keilmuan mereka perlu dipertanyakan.
Dengan kata lain, kaum cerdik-pandai Muslim moderat yang tidak peduli dengan pelbagai fenomena radikalisme dan ekstremisme di ruang publik, maka belum “legitimate” (atau belum absah otoritas keilmuannya) sebagai seorang cendekiawan. Hal itu karena tanggung jawab pencerahan terhadap masyarakat luas tentang ajaran moderasi Islam ada di pundak-pundak mereka. Begitu pula, hanya mereka-lah yang mampu mengcounter dan mematahkan argumentasi-argumentasi rigid kaum radikal, puritan, dan ekstrem.
Sedangkan para kyai, di samping ada kyai-kyai yang fokus mendidik santri-santri di pesantren mereka secara total, harus ada juga sebagian kyai yang turun gunung, aktif di media sosial dan ruang-ruang publik. Kita bersyukur kini sudah banyak kyai yang aktif menyiarkan pengajian-pengajian kitab (klasik maupun kontemporer) secara virtual.
Mengapa wacana Islam yang berwajah moderat-progresif-inklusif harus tampil secara masif dan maksimal dalam ruang publik kita?
Secara sosiologis, suatu masyarakat akan cenderung mengikuti suatu wacana yang paling dominan, paling menyebar, dan paling populer, walaupun wacana tersebut belum tentu benar, tepat dan relevan untuk diterapkan. Tapi karena wacana tersebut sudah begitu populer dan dominan menguasai dunia nyata maupun dunia maya media sosial, maka masyarakat akan cenderung menelan mentah-mentah dan mengikuti wacana tersebut tanpa syarat. Wacana yang paling populer tersebut akan mulai mempengaruhi sebagian besar sikap dan perilaku masyarakat kita secara luas. Lama kelamaan pengaruh tersebut menjadi semacam paradigma: seperangkat konsep atau aturan baku yang menjadi penggerak sikap dan perilaku masyarakat.
Implikasinya begini: paradigma yang rigid akan membentuk sikap dan perilaku masyarakat yang rigid. Paradigma yang konservatif akan membentuk sikap dan perilaku masyarakat yang konservatif. Paradigma radikal dan takfir akan menyebabkan sikap dan perilaku masyarakat yang senang menyesatkan orang-orang yang berbeda dengan mereka.
Bayangkan betapa besarnya pengaruh suatu paradigma dalam membentuk sikap dan perilaku sebuah masyarakat. Dan dalam dua dasawarsa ini, kita sudah menyaksikan bagaimana wacana Islamisme dan Islam konservatif yang rigid ini sudah mulai mendominasi ruang-ruang publik. Sehingga dimana-mana kita melihat perilaku masyarakat yang hendak menerapkan khilafah tahririyah dan perilaku rigid yang merasa paling benar sendiri dengan menyalahkan pihak lain.
Pada titik inilah, saya sangat mengharapkan wacana Islam kultural yang moderat-progresif-inklusif dapat mendominasi ruang-ruang publik, baik dalam dunia nyata maupun dunia maya (dalam ranah media sosial). Saya berharap wacana Islam moderat-progresif-inklusif dapat menjadi paradigma dominan sehingga dapat mewarnai masyarakat kita secara luas dalam beberapa tahun ke depan.
Saya juga berharap beberapa tahun ke depan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang dewasa dalam beragama, toleran dan lapang dada dengan berbagai perbedaan yang ada. Saya berharap beberapa tahun ke depan ruang-ruang publik dan dunia media sosial kita, didominasi oleh orang-orang yang keberagamaannya santun dan ramah, inklusif dan humanis. Di masa mendatang, saya juga berharap sikap keberagamaan masyarakat kita menjadi lebih cerdas dan bijak, tetap bersikap akomodatif terhadap adat budaya bangsa serta memiliki perasaan cinta yang utuh terhadap Tanah Air dengan segala pernik-perniknya. [NI]