Oleh: Tjahjono Widijanto (penyair, esais, dan doktor pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Tinggal di Ngawi, Jawa Timur)
Dalam kultur masyarakat tradisional, konsep metafisis tidak dirumuskan dalam bahasa teoritis namun sering kali hadir melalui simbol, mitos, ritus atau ucapan yang terkesan sederhana, gampang atau sepele. Namun pada tingkatan tertentu, simbol, mitos dan ritus itu bisa menjadi penegasan koheren yang rumit tentang realitas akhir sebagai penanda sistem metafisik. Jika seseorang mampu menembus makna otentik mitos, simbol, dan ritus itu, ia akan sampai pada kesadaran akan situasi tertentu di dalam kosmos yang pada gilirannya mampu mengimplikasikan sikap metafisis.
Dalam pandangan kultur tradisional, gunung tidak sekedar dianggap sebagai fenomena alam yang ada begitu saja karena hukum alam, namun selalu diletakkan dalam bingkai simbolisme arkitektonik yang berbicara tentang “Pusat” kosmos. Gunung sebagai simbolisme arkitektonik dianggap memiliki tiga fungsi metafisik: sebagai tempat bertemunya pusat dunia (tempat bertemunya surga dan bumi), sebagai citra kosmos. Pula, karena dianggap sebagai titik pertemuan surga dan bumi, gunung menjadi axis mundi serta menjadi pilihan ideal untuk meletakkan atau membuat kota suci, kuil, candi, sanggar, padepokan, sarana peribadatan, dan tempat dilaksanakan aneka ritus.
Pandangan pertama dapat dirunut dengan berbagai kepercayaan yang mendudukan gunung sebagai sesuatu yang khusus, berbeda dan istimewa. Misalnya orang India percaya bahwa Gunung Mahameru merupakan pusat dunia yang di atasnya bersinar bintang utara. Orang Iran percaya bahwa gunung suci Haraberezaiti (Elbruz) berada di pusat bumi dan berhubungan dengan surga. Selanjutnya, menurut tradisi Islam, titik tertinggi di bumi adalah Ka’bah yang terletak berseberangan dengan pusat surga. Sedangkan dalam tradisi Kristen, Gunung Golgota diberi kedudukan sebagai pusat dunia dan tempat Adam dimakamkan sekaligus pula tempat Juru Selamat disalib dan darahnya menetes mengenai makam Adam.
Gunung sebagai citra kosmos dapat dilihat misalnya pada Gunung Merapi di Yogyakarta. Merapi merupakan simbol bapak (laki-laki) yang bersanding dengan Laut Selatan sebagai simbol ibu (perempuan). Keduanya merupakan dua unsur berbeda yang menjaga keseimbangan dunia. Di tengah-tengahnya sultan sebagai raja berdiri sebagai poros dari dua kekuatan alam yang dahsyat sekaligus menyimbolkan kekuatan Ilahi. Konsep ini dimanifestasikan dengan meletakkan kraton di tengah-tengah garis lurus yang menghubungkan Merapi dan Laut Selatan. Untuk lebih menegaskan citra kosmos ini, raja-raja Yogyakarya memakai gelar Sultan Hamengkubuwana (memangku jagat/dunia) sekaligus Sayidin Panatagama Khalifatullah (pemuka / penata Agama dan wakil Tuhan).
Bahkan untuk mengukuhkan gunung citra kosmos, masyarakat Jawa dalam kesenian wayang memakai gunungan (kayon) sebagai pembuka dan penutup cerita. Gunungan dalam konteks wayang menunjukan proses awal sekaligus akhir dari aneka peristiwa kehidupan di semesta. Tanpa ada gunungan tak ada lakon. Tanpa ada gunung sebagai citra kosmos tak akan ada kehidupan.
Demikian pula Candi Borubudur di Jawa sengaja dibangun dengan pola mirip gunung buatan (ziggurat), dengan mendakinya dalam upacara Pradaksina, peziarah mendekati pusat dunia sampai ke nirwana (surga) dengan harus melewati perubahan dari satu taraf ke taraf yang lain, dari yang liar ke yang profan lalu ke ruang heterogen. Selajutnya memasuki wilayah “yang suci”, dari kamadhatu, ke rupa dhatu, menuju ke arupa dhatu dan sampai ke nirwana.
Gunung sebagai citra kosmos juga terlihat pada peninggalan-peninggalan Babylonia. Nama-nama gunung disebut-sebut dalam kuil dan menara suci Babylonia sebagai “Rumah Gunung bagi seluruh Bumi” dan gunung sebagai “Penghubung Surga dan Bumi”. Bahkan bagi kebudayaan Babylonia, gunung Babylon dianggap sebagai “gerbang dewa’ (Bab-ilani), tempat di mana para Dewa turun ke bumi.
Berkaitan sebagai axis mundi, gunung sering kali dianggap sebagai tetap strategis untuk melakukan upaya penghayatan terhadap aspek ke-Ilahi-an sekaligus sarana-sarananya. Seperti di Jawa. Dalam konsep Jawa, hidup manusia terbagi atas tiga “episode”. Episode pertama adalah brahmacarin atau masa muda saat manusia membekali diri untuk hidup bermasyarakat dan berkeluarga. Episode kedua, grihasta, masa menjalani kehidupan rumah tangga, menghasilkan dan mendidik generasi. Episode ketiga disebut wanasta, masa untuk merenung (mahas ingasepi), masa untuk merenungkan hal-hal-hal tentang Tuhan, insan dan alam secara lebih tekun dan bersungguh-sungguh. Pada masa ketiga inilah, gunung menjadi tempat favorit dan ideal untuk membantu sampai pada proses kesadarian Illahiah. Di Gunung pulalah sering dibangun tempat dan upacara-upacara ritual transendental.
Gunung Lawu di Jawa Timur misalnya, dipercaya merupakan pilihan tempat Raja Brawijaya terakhir dari kerajaan Majapahit mengundurkan diri dari hiruk pikuk kekuasaan dan duniawi. Raja Brawijaya meninggalkan Majapahit melaui rute daerah Srigati (terletak di Ngawi, Jawa Timur). Di tempat ini Brawijaya dipercaya menanggalkan jubah kebesaran raja, menuju ke puncak Lawu melewati candi Sukuh, terus naik sampai candi Cetha, di tempat ini Brawijaya berpisah dengan dua pengawalnya Sabdapalon dan Naya Genggong kemudian menuju puncak Lawu dan moksa.
Sampai saat ini, Gunung Lawu yang memiliki tiga puncak, yaitu Arga Dalem, Arga Dumeling dan Arga Dumilah, masih menjadi pilihan utama untuk tetirah atau menyepi sehingga banyak dibangun pesanggrahan-pesanggrahan. Kemudian, di Gunung Merapi, dalam konteks axis mundi ini, Kraton Yogyakarta menempatkan juru kunci dan melakukan ritual budaya Labuhan Merapi di waktu-waktu tertentu. Prosesi labuhan merupakan upaya persembahan pada eksistensi Merapi. Sementara itu di Jepang, kuil-kuil kebanyakan di bangun di lereng-lereng gunung. Demikian juga di Laos sengaja dibangun biara megah di Gunung Zinnalo.
Jadi jelaslah bahwa puncak gunung dalam pandangan kosmik bukan hanya sekedar titik tertinggi atau lebih tinggi dari bumi, tetapi juga merupakan “Pusat”, titik dimulainya Penciptaan. Puncak gunung sebagai pusat sering dianggap merupakan zona suci, zona realitas yang mutlak. Demikian pula kondisi alam untuk sampai ke puncak, lereng-lereng, hutan, lembah, dan jurangnya ibarat metafora dari “jalan yang sulit” untuk mencapai sebuah kebahagiaan transendental. Sebagai lambang durohana atau maqam-maqam untuk sampai pada Yang Mutlak atau “Pusat”, yang menurut bahasa kosmologis disebut dari chaos (kekacauan) menuju cosmos (keteraturan). [NI]