Beranda Publikasi Kolom Keimanan Terjebak Tradisi: Bagaimana Keluarga Membentuk Wajah Tuhan

Keimanan Terjebak Tradisi: Bagaimana Keluarga Membentuk Wajah Tuhan

232
0
Ilustrasi gambar: Timur Weber @pexels.com

Dhuha Hadiyansyah (Dosen Universitas Al Azhar Indonesia)

Ada beragam faktor yang memengaruhi cara kita memaknai keimanan kepada Tuhan. Akan tetapi, faktor yang sangat menentukan adalah budaya. Namun, banyak orang tak sadar bahwa bagian terpenting dari budaya adalah keluarga. Budaya yang paling mendasar dan sangat memengaruhi kita dikembangkan di keluarga. Oleh sebab itu, persepsi seseorang tentang Tuhan sangat bergantung kepada pendidikan di keluarga (Bradshaw, 1996).

Aspek paling penting dalam hal ini bukan tentang apa yang orang tua kita katakan tentang Tuhan, tetapi apa yang mereka lakukan: hubungan ayah dengan ibu, hubungan mereka dengan saudara dan kerabat, dan yang paling penting adalah perlakuan mereka kepada kita.

Setiap anak akan mendewakan atau mengidolakan orang tua, dan selama mereka terikat dengan orang tua, mereka akan mempersepsi Tuhan seperti orang tua mereka (Hadiyansyah, 2021): Jika orang tua mereka kejam, Tuhan akan dianggap Mahakejam setiap saat; jika orang tua mencabut kedirian anak, mereka akan merasa Tuhan akan sayang jika mereka tidak menjadi diri mereka sendiri dengan cara menjalani kehidupan yang kering dan represif melalui banyak pantangan dan kekangan.

Pada beberapa kasus, anak-anak yang membenci orang tua akan mengabaikan keimanan kepada Tuhan (ateis), atau mereka memanfaatkan Tuhan sebagai alat untuk meluapkan kebencian yang ada di hatinya (Vitz, 2013).

Orang tua yang mengembangkan kepatuhan mutlak untuk anak-anaknya akan menghasilkan individu-individu yang mengamalkan agama secara hitam-putih (Smith & Adamczyk, 2020). Di keluarga, mereka diajarkan ketaatan tanpa diberikan kesempatan bertanya atau tanpa melihat perintahnya seperti apa: Kebaikan dilihat dari sejauh mana seorang anak menuruti perintah orang tua. Jika anak ini menjadi pemuka agama, dia akan mengembangkan ajaran kepatuhan mutlak kepada pemegang otoritas agama seperti dirinya. Jika menjadi pengikut, dia akan sangat militan mematuhi orang yang dianggapnya guru atau pemimpin sektenya. Jika mau terus terang dan jujur mencermati di sekitar, kita banyak menyaksikan contoh nyata pemimpin agama seperti ini.

Kepatuhan buta, yang biasanya disertai banyaknya hukuman, akan menghasilkan orang-orang yang keranjingan oleh aturan-aturan eksternal, di luar diri dan budaya mereka sendiri (Hibou, 2011). Hal ini terjadi karena batin mereka terbiasa dirampas dan dikendalikan. Kebijaksanaan selalu berangkat dari dalam, dari batin sendiri (Nepo, 2016).

Oleh sebab itu, orang-orang yang meskipun berbusa-busa mengaku mencintai Tuhan tidak akan pernah tertarik dengan isu kebijaksanaan dalam beragama, apalagi isu menyebarkan cinta kepada semesta. Sebaliknya, mereka akan menilai semakin garang sebuah ajaran agama, semakin tampak kebenarannya. Sayangnya, tentu saja, kebenaran tidak pernah ditentukan sejauh mana kegarangan sebuah ajaran.

Saya menyukai salah satu konsep dalam tasawuf yang menyebutkan bahwa nama asli Allah adalah Asma Jamaliyah (Nama-nama Yang Indah), seperti Yang Mahapengasih, Mahapenyayang, Mahasuci, Mahalembut, Mahadamai, dan lain-lain. Sementara itu, Asma Jalaliyah (Nama-nama yang menunjukkan Keperkasaan) hanyalah untuk mengimbangi Asma Jamaliyah tersebut (Rakhmat, 2008). Jika ditelusur, Asma Jamaliyah Allah tersebut didominasi unsur feminin. Oleh sebab itu, pada orang yang mengaku mencintai Tuhan, yang menonjol biasanya adalah kelembutan dan kasih-sayang, bukan keganasan. Akan tetapi, sekali lagi, persepsi tentang Tuhan sangat bergantung pada konsep yang diwariskan oleh orang tua dan budaya kita.

Pondasi cinta kepada Tuhan sebagai ekspresi beragama adalah pada aspek kerohanian yang kuat dan kebiasaan baik. Mereka yang termistifikasi sering menggunakan agama sebagai pertahanan terhadap realitas, terkadang menggunakan agama seperti obat sakit kepala, kadang pula menggunakan agama sebagai pengalih mood mereka yang kacau (McGuire, 2008). Agama tidak dihayati sebagai panggilan terhadap kesadaran, kebijaksanaan dan wahana menebar cinta kepada sesama makhluk Tuhan Yang Mahacinta.

Mereka yang batinnya kosong lalu mencoba mengisinya dengan agama sering terjebak pada kondisi di mana mereka merasa batinnya yang kosong tadi sudah dirasuki Tuhan, sehingga apa yang mereka katakan dianggap sebagai sabda Tuhan, apa yang mereka kehendaki adalah kehendak Tuhan, dan apa pun yang mereka perbuat sudah direstui Tuhan. Mereka lalu memaksakan apa yang mereka yakini kepada yang lain, tak hanya kepada yang berbeda agama, tetapi kepada mereka yang seagama tapi tak sealiran.

Seseorang menjalankan sebuah agama, tak bisa dimungkiri, umumnya karena keluarganya memeluk agama tersebut. Bagi orang-orang yang mengimani Tuhan dengan cara seperti itu, meninggalkan agama berarti meninggalkan keluarga. Atau, sebaliknya, menjadi relijius sekadar demi mengangkat martabat keluarga. Bagi sebagian orang, cara memercayai Tuhan lekat dengan tradisi keluarga, sehingga konflik terkait keluarga kerap menyinggung kepercayaan terhadap Tuhan atau agama.

Untuk melihat dengan cermat konflik ini novel karya Bibhutibhushan Bandopadhyay “Aparajito”, yang menyoroti perjuangan seorang anak muda untuk mencapai impian dan keinginan untuk keluar dari batasan tradisional, tetapi dia harus berhadapan dengan ikatan dan tradisi keluarga Brahmana.

Argumentasi selanjutnya adalah seorang anak pindah agama terkadang merupakan ekspresi perlawanan bawah sadar atau keinginan terdalam untuk menjauh dari keluarganya. Bagi keluarga, anggota yang pindah agama diartikan sebagai perpindahan keluarga, sehingga anggota ini biasanya dikucilkan seperti orang asing di keluarga. Bagi sebagian lain, mereka merasa harus menjadi anggota kelompok keagamaan tertentu demi mengisi kekosongan yang tidak berhasil dipenuhi oleh keluarga.

Sebagian yang lain membenci agama (atau tak bertuhan) karena memiliki ketidakberterimaan terhadap apa yang dialaminya di keluarga. Keberagamaan sering terkait dengan seberapa setia kita kepada keluarga—bukan benar-benar sebuah pengalaman aktual untuk dapat terhubung dengan Tuhan Semesta Alam.

Corak keberagamaan yang terjebak pada tradisi keluarga seperti di atas rawan membangun dinding pemisah di antara manusia. Hanya beriman dengan penuh cinta dan pengalaman sendiri yang dapat menyatukan manusia, sebagaimana Tuhan Yang Mahakasih. Pemeluk agama seperti ini mampu mengembangkan kesadaran terhadap batas-batas dan sikap toleransi yang tinggi.

Mereka mampu merangkul siapa pun sebagai sosok manusia yang merupakan ciptaan Tuhan: menghargai karya seseorang merupakan penghargaan untuk penciptanya. Hal ini berlaku pula pada ciptaan Tuhan, yakni ketika sudah menegaskan cinta kepada Tuhan, sejatinya kita wajib menghormati dan menghargai semua makhluk, termasuk sungai, tanaman di pinggir jalan, binatang, dan tanpa kecuali manusia dengan keragaman keyakinan mereka.

Referensi:

Bradshaw, J. (1996). Bradshaw on: The family: A new way of creating solid self-esteem. Health Communications, Inc.

Hadiyansyah, D. (2021). Semua tentang cinta. Elex Media Komputindo.

Hibou, B. (2011). The force of obedience. Polity.

McGuire, M. B. (2008). Lived religion: Faith and practice in everyday life. Oxford University Press.

Nepo, M. (2016). The one life we’re given: Finding the wisdom that waits in your heart. Simon and Schuster.

Rakhmat, J. (2008). Meraih cinta Ilahi (hc). PT Mizan Publika.

Smith, C., & Adamczyk, A. (2020). Handing down the faith: How parents pass their religion on to the next generation. Oxford University Press.

Vitz, P. C. (2013). Faith of the fatherless: The psychology of atheism. Ignatius Press.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini