Oleh: Aris Setiawan (Etnomusikolog dan pengajar di ISI Surakarta)
Saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) diberlakukan, setiap malam saya mendengar bunyi gamelan di kampung saya di Sukoharjo, Jawa Tengah. Banyak tetangga memutar radio, tape, dan YouTube yang berisi klenengan gamelan. Tidak sedikit yang menggunakan perangkat pelantang suara dengan keras. Mereka mendengarkannya sambil minum kopi dan makan ketela pohon hasil berkebun. Gending-gending gamelan itu menjadi menu utama di malam hari.
Laku
Gending-gending gamelan lahir dari proses perenungan lama. Para empu (musisi) gamelan, adalah serupa manusia terpilih yang hidupnya berada dalam dua garis demarkasi yang saling kontradiktif. Pada satu sisi, ia melakukan jalan mistik-sufistik yang transenden, mencari dan menangkap wahyu-wahyu keilahian. Wahyu itu ditemukan dalam proses yang tidak sederhana, diikuti dengan laku ritual puasa, bertapa, dan penyucian diri. Mereka berkubang di ruang sepi-sunyi, menyendiri, dengan perut lapar dan dahaga. Semua dilakukan agar Tuhan berkenan memberi secercah cahaya, berupa ide dalam mencipta gending.
Tetapi di sisi lain, saat wahyu dalam bentuk ide itu ia tangkap, tugas selanjutnya tidak kalah problematis, yakni mewujudkannya menjadi alunan nada-nada gamelan yang kemudian disebut gending. Membuat gending tidak semata mencipta bunyi, tapi mengikuti nalar musikal dan aturan yang ada, tentang pathet (jangkauan nada-nada yang diperkenankan), harmoni, bahkan urusan teknis seperti irama, tempo, dan dinamika.
Dengan demikian mereka menerapkan dua laku kerja berlawanan; transendental dan rasionalitas. Hasil gending ciptaan para empu itu sering kali terdengar sayu, pelan, lembut, dan tidak menghentak. Dibawakan dalam orkestrasi permainan yang panjang, bahkan tidak jarang membuat kantuk. Dimainkan di pendopo dengan resonansi bunyi yang khas dan genuine.
Barangkali, hari ini mendengar gending-gending semacam itu akan terasa amat membosankan, membuang-buang waktu, dan tidak menarik di kala semua musik mengusung kesepahaman aliran; keras, cepat, dan gegap-gempita.
Tidak sedikit karya-karya baru gamelan yang terbawa arus demikian, semata agar dipandang tak ketinggalan zaman. Musisi gamelan muda berupaya mendekonstruksi karya lama yang dirasa tak lagi sesuai tuntutan zaman. Karena itu konser-konser gamelan mutakhir laksana pertunjukan musik rock dengan tata panggung besar, gemerlap warna-warni lampu, dan pengeras suara menggelegar.
Dengan demikian, dalam musik gamelan kita kehilangan fungsi pentingnya sebagai ruang kontemplatif. Gending gamelan bukan sekadar deretan nada dalam balutan laras slendro dan pelog, tetapi memiliki keterkaitan mendalam dengan siklus kehidupan manusia pemiliknya.
Mendengarkan gamelan adalah upaya bagi penyembuhan diri dari penat dan capeknya menjalani hidup. Orang Jawa rela berlama-lama di sudut pendopo untuk menikmati gamelan dengan mata terkantuk, sesekali terbangun, lalu tertunduk kembali memejamkan mata. Ia tidak tidur, juga tidak sepenuhnya sadar.
Pada konteks yang demikianlah puncak tertinggi estetika menikmati gamelan. Berada di batas ambang, liminalitas, antara terkantuk dan terjaga. Peristiwa itu sangat mungkin terjadi karena karya gamelan klasik sengaja bermain-main dengan ruang kosong.
Ruang Kosong
Secara musikalitas, semakin tinggi tingkatan irama gending (baca ketuk arang), maka semakin lambat tempo, dan berakibat semakin panjang karya itu disajikan. Antara tabuhan (biasa disebut sabetan, pulsa, atau beat) satu nada ke nada yang lain jaraknya relatif lama atau jauh. Rentang waktu antar nada itulah menciptakan ruang kosong, atau jeda (tacet). Semakin panjang ruang kosong, maka nada-nada pokok gamelan (disebut balungan gending) semakin jarang dibunyikan.
Sebaliknya, di ruang kosong ini juga dimanfaatkan dengan “atraksi” permainan instrumen-instrumen melodi dengan bunyi lembut, yang biasa disebut instrumen garap seperti gender, rebab, siter, gambang, dan bonang. Instrumen-instrumen itu memainkan pola-pola yang kompleks, seolah adu kemampuan-ketangkasan antara satu musisi dengan lainnya.
Sesekali komunikasi musikal dilakukan dengan membuat elaborasi nada yang unik. Mereka kadang saling melirik dan tersenyum antara satu dengan yang lain, membuktikan tentang siapa bisa memberi umpan musikal dan siapa yang gagal menangkapnya. Ruang kosong itu ternyata menyimpan hasrat kreatif tinggi.
Bagi penonton atau pendengar juga demikian.
Karya gamelan adalah sebuah siklus, seperti kehidupan. Diawali dari gong yang membuka putaran komposisi, dan gong pula yang mengakhirinya. Dalam putaran itu, tidak diperkenankan ada bunyi instrumen yang lebih menonjol secara musikal di antara yang lain. Semua harus setara, luruh, dan menyatu.
Ruang kosong tercipta untuk menarik imajinasi penonton turut larut dalam hamparan musikal gending. Ruang kosong (yang selalu diapit oleh dua nada itu) selalu memberi kebebasan bagi penonton untuk menentukan citra dan karakter musikal yang sangat mempribadi. Indikasinya, dalam ruang kosong itu kita bisa melihat tangan satu penonton bergerak-gerak membuat pola khusus, bisa jadi berbeda dari pola gamelan yang didengarnya.
Sementara yang lain bisa bergumam, nembang, bahkan sesekali senggak (nyeplos, nyletuk) dengan kata-kata yang hanya dimengerti oleh mereka. Atau dalam kantuk dan terjaganya itu, kepalanya mengangguk-angguk seolah memberi aksen dan isyarat pada pola tertentu. Semua bebas dan sah.
Di titik itulah kekuatan utama karya gamelan. Penonton tanpa sadar diajak terlibat dalam “membuat bangunan komposisi”. Oleh karena itu pula karya gamelan yang baik adalah yang tidak hendak menuju kesempurnaan selayaknya musik Barat. Karya gamelan tidak mengandalkan presisi dan kebenaran, tapi kadang bermain-main di wilayah abu-abu, benar dan salah kemudian menjadi sangat relatif.
Apabila dikalkulasi atau dipresentasi, karya gamelan itu 80 persen kepastian, dan selebihnya adalah kebebasan (atau bisa disebut improvisasi). Kebebasan itu letaknya di ruang kosong tadi. Ruang yang seolah memberi kesempatan setinggi-tingginya bagi musisi untuk unjuk kemampuan pada instrumen melodi (garap), serta memanjakan imajinasi musikal penonton.
Dalam batas kantuk dan sadar, penonton menjadi dirinya sendiri. Muncul letupan-letupan tingkah yang tak terduga. Mata boleh terpejam, tapi telinga senantiasa mendengar. Setelah menikmati gending gamelan yang sayu itu, manusia Jawa kembali lebih bersemangat menjalani hidup. Gending itu serupa charge, mengisi ulang daya yang mulai menipis.
Di zaman serba ringkas, bising, keras, dan cepat saat ini, barangkali kita perlu kembali mendengarkan gending gamelan. Sambil terkantuk-kantuk kita menemukan muara kedamaian yang kontemplatif. Ruang kosong itu juga menjadi “sarana istirahat” yang nyaman bagi otak agar tak terus dikejar dengan deadline pekerjaan, himpitan masalah hidup, dan persoalan ekonomi.
Bahkan, kadang mendengarkan gending gamelan lewat radio saja sudah membuat hati nyaman, mengingat tentang kampung, mengingat tentang eksistensi diri, tentang asal-usul, dan lebih penting lagi agar kita tak lekas lupa tentang siapa kita sebenarnya. Gending gamelan yang dianggap membosankan itu niscaya adalah sebuah karya yang monumental, dibuat tidak sekadar untuk telinga, tapi juga otak, dan hati. [NI]