Mukhamad Hamid Samiaji (Pemerhati Bahasa di Lembaga Kajian Nusantara Raya UIN Prof. K.H. Saifudin Zuhri Purwokerto)
Filsafat bahasa merupakan cabang filsafat yang membahas tentang sifat, asal-usul, dan penggunaan bahasa. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga pemegang peran sentral dalam membentuk pandangan dunia dan mengonstruksi makna. Dalam konteks ini, hubungan antara filsafat bahasa dan problematika sosial menjadi sangat penting. Sebab persoalan sosial akibat dari bahasa sering terjadi di masyarakat salah satunya bahwa bahasa dapat menjadi sumber diskriminasi terhadap individu atau kelompok tertentu.
Izhar dan Seftika (2020) menyatakan bahwa bahasa menjadi ekpsresi tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, dan sikapi oleh seseorang. Bahasa bisa menjadi sarana yang bukan saja memberikan informasi tentang yang diekspresikan itu, namun juga menindakkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Bahasa yang baik ialah bahasa yang tampak kesungguhannya.
Kesungguhan yang dimaksud akan terlihat manakala penutur bahasa maupun lawan tuturnya menyikapi topik pembicaraan yang bukan saja secara lisan tapi juga melalui tindakan. Itulah sebabnya, sampai kapanpun bahasa tidak akan pernah terlepas dari tindak tutur sebagai manifestasi interaksi kehidupan nyata di mana seseorang saling berinteraksi dan bertransaksi. Sebab, tindak tutur mempersoalkan keserasian antara tuturan dan tindakan yang digunakan saat berkomunikasi dengan konteks tuturan yang bersifat sensitif.
Dikatakan ‘sensitif’ dikarenakan bilamana seseorang bertutur dengan tidak memandang konteks, maka dipastikan tidak akan terjadi komunikasi yang harmonis antara lawan tutur dan mitra tutur. Jangankan, untuk melakukan tindakan sebagaimana yang diharapkan, tuturan berbalas pun tak akan didapati sebagai wujud interaksi komunikasi.
Konstruksi Identitas Melalui Bahasa
Bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai pembentuk identitas individu dan kelompok. Setiap komunitas memiliki bahasa yang khas, menciptakan ciri identitas unik. Namun, dalam konteks ini, muncul problematika sosial ketika suatu bahasa atau dialek dianggap lebih tinggi nilainya daripada yang lain. Hal ini dapat mengakibatkan marginalisasi dan penindasan terhadap kelompok-kelompok yang menggunakan bahasa yang dianggap “rendah” atau “tidak baku.”
Kajian bahasa dalam masalah masayrakat dipengaruhi oleh dialek bahasa dan sosok bahasa itu sendiri sebagai penanda solidaritas bagi kelompok masyarakat bahasa yang memilikinya. Sebagai penanda solidaritas, dialek bahasa dan sosok bahasa itu berfungsi sebagai apparatus penimbul rasa senasib dan sepenanggungan. Terlebih-lebih, ketika warga masyarakat itu berada bersama dengan kelompok masyarakat bahasa atau bangsa lainnya.
Itulah mengapa terjadi fenomena yang kadang-kadang aneh tetapi tidak tersangkalkan, yakni bahwa tiba-tiba saja orang sering menjadi seperti berakrab-akrab dengan orang yang dianggapnya berdialek atau berbahasa sama, ketika mereka bersama-sama berada di negeri seberang. Mungkin tidak perlu terlalu jauh, di kantor-kantor yang berlokasi di Jakarta atau kota-kota besar lainnya, seorang petugas sering memberi pelayanan dengan keramahan yang ekstra terhadap orang yang diduga berasal dari daerah sama. Kesamaaan itu diduga-duga oleh yang bersangkutan, hanya dari warna bahasa dan cara berbahasanya yang menunjukkan bahwa dia berasal dari dialek bahasa yang sama dengan dirinya (Rahardi, 2006).
Dilihat dalam penerapannya filsafat bahasa yang memiliki bahasa sebagai objek material, fungsi bahasa sebagai alat komunikasi manusia, penuangan emosi, pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam mencari hakikat kebenaran hidup. Masalah bahasa yang muncul dari konflik etnis melibatkan pemahaman dan interpretasi yang berbeda-beda terhadap bahasa yang digunakan oleh kelompok etnis yang berbeda.
Dalam hal ini, filsafat hermeneutik menjadi lebih sesuai karena mempelajari teori interpretasi, dan mencari pemahaman yang lebih baik terhadap makna bahasa yang digunakan oleh kelompok etnis yang berbeda. Hermeneutika juga menekankan pada pentingnya konteks dan situasi dalam pemahaman bahasa, yang dapat membantu dalam menyelesaikan konflik bahasa yang muncul dari konflik etnis (Sumanto, 2017).
Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah konflik etnis dengan pendekatan filsafat hermenutika adalah dengan memahami konteks dan budaya yang berbeda, mendengarkan dan berdialog dengan empati, menerapkan konteks dan situasi dalam interpretasi, menghargai perbedaan dan menemukan titik temu, dan membangun komunikasi yang efektif.
Pluralitas Bahasa dan Masyarakat Multikultural
Di Indonesia sebagian besar rakyat Indonesia merupakan masyarakat multibahasa. Mereka paling tidak menguasai bahasa daerah atau bahasa sukunya dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Multibahasa muncul ketika penutur bahasa yang berbeda disatukan dalam entitas politik yang sama. Masyarakat Indonesia yang terdiri atas beragam penutur bahasa daerah disatukan dalam penggunaan bahasa kesatuan, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia digunakan sebagai alat komunikasi antarsuku bangsa, sedangkan bahasa daerah digunakan sebagai komunikasi intrasuku bangsa.
Penggunaan variasi bahasa ini juga bergantung pada situasi pembicaraan. Bahasa Indonesia sebagian besar digunakan dalam situasi formal, sedangkan bahasa daerah digunakan dalam situasi nonformal untuk menunjukkan keakraban, rasa hormat, dan penghargaan terhadap lawan bicara dalam satu kelompok suku. Multibahasa dalam penelitian ini merujuk pada kemampuan memahami lebih dari dua bahasa dalam berkomunikasi (Lestari, 2020).
Dalam masyarakat yang semakin multikultural, pertanyaan mengenai pluralitas bahasa dan hak setiap individu untuk menggunakan bahasa ibunya menjadi semakin penting. Bagaimana masyarakat dapat mempertahankan keberagaman bahasa tanpa memarginalkan kelompok-kelompok tertentu? Filsafat bahasa dapat memberikan pandangan dalam merumuskan kebijakan bahasa yang inklusif dan mendukung kesetaraan.
Masalah sosial tentang bahasa menjadi topik penting dalam kajian filsafat bahasa, karena bahasa tidak hanya merupakan alat komunikasi tetapi juga memainkan peran penting dalam membentuk identitas, nilai, dan budaya masyarakat. Sebagai contoh masalah sosial dalam lingkup filsafat bahasa adalah pluralitas bahasa. Sebagai contoh, ketika berinteraksi dalam kegiatan belajar mengajar, pebelajar harus menggunakan ragam H yaitu bahasa Indonesia yang baik dan benar, sedangkan Ketika berinteraksi di luar kelas dalam keadaan santai pebelajar dapat menggunakan ragam L yaitu bahasa daerah yang biasa mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari.
Multibahasa dapat ditemukan baik dalam induvidu maupun dalam suatu komunitas. Seseorang yang mampu untuk berbicara dalam berbagai bahasa disebut poliglot. Kemampuan komunitas untuk berbicara dalam beberapa bahasa didorong oleh berbagai latar belakang. Baik induvidu maupun komunitas multibahasa mendapatkan bahasa keduanya dengan berbagai cara, seperti pemerolehan simultan dan sekuensial.
Bilingualisme atau multibahasa sebenarnya dianggap sebagai masalah, karena banyak individu bilingual cenderung menduduki posisi agak rendah dalam masyarakat dan pemahaman tentang bahasa lain diasosiasikan sebagai ‘rendah diri’. Bilingualisme kadang-kadang dilihat sebagai masalah pribadi dan sosial, bukan sesuatu yang memiliki makna konotasi yang positif. Pembelajar multibahasa terkadang dianggap memiliki prestise yang rendah jika pembelajar tersebut termasuk dalam kelompok minoritas. Sebagai contoh, dalam sebuah kelas bahasa terdapat pembelajar dengan logat Jawa yang terkesan ‘medok’, maka dia bisa mendapatkan cemoohan dari temantemannya (Lestari, 2020).
Masyarakat yang memiliki bahasa minoritas atau bahasa yang kurang dikenal mengalami diskriminasi bahasa di lingkungan yang lebih dominan. Diskriminasi ini dapat menyebabkan masalah sosial seperti ketidakadilan, kesenjangan sosial, dan konflik serta individu yang tidak mampu berkomunikasi dengan bahasa yang digunakan oleh mayoritas masyarakat dapat merasa terisolasi secara sosial. Hal ini dapat mengurangi kesempatan mereka untuk berinteraksi dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik.
Dalam konteks ini, tindak tutur dapat digunakan untuk mengatasi beberapa masalah yang muncul seperti keterbatasan bahasa, memfasilitasi komunikasi, dan menghargai komunikasi. Dengan menggunakan tindak tutur yang tepat, seseorang dapat menjukkan penghargaan dan keragaman bahasa. Misalnya dengan menggunakan ucapan terima kasih atau kata-kata lain yang menunjukkan penghargaan dan rasa hormat terhadap bahasa minoritas atau bahasa asing yang digunakan.
Filsafat sintetik merupakan salah satu aliran dalam filsafat bahasa yang berusaha untuk menyatukan berbagai sudut pandang dan konsep dalam pemahaman bahasa. Filsafat sintetik menganggap bahwa bahasa adalah fenomena yang sangat kompleks, yang mencakup aspekaspek seperti bunyi, tata bahasa, makna, konteks sosial dan budaya, serta interaksi sosial. Adapun beberapa cara untuk mengatasi masalah sosial multibahasa dengan pendekatan filsafat sintetik adalah sebagai berikut.
Pendekatan filsafat sintetik dalam konteks multibahasa dapat membantu mengatasi beberapa masalah sosial yang muncul, seperti misinterpretasi atau kesalahpahaman antara individu atau kelompok yang berbeda bahasa dan budaya. Cara untuk mengatasi masalah sosial dengan pendekatan filsafat sintetik dapat dilakukan dengan memahami kerangka pemikiran dan latar belakang budaya orang lain, menggunakan pendekatan pragmatis, dan mempromosikan pembelajaran bahasa.
Tantangan Teknologi dan Globalisasi Terhadap Bahasa
Dengan kemajuan teknologi dan globalisasi, bahasa menghadapi tantangan baru. Dominasi satu atau beberapa bahasa global dapat mengakibatkan homogenisasi budaya dan mengancam keberagaman linguistik.
Beberapa tantangan yang ada, seperti 1) Penggunaan Bahasa Inggris. Dalam era globalisasi dan teknologi, Bahasa Inggris menjadi bahasa universal dan sering digunakan dalam berbagai platform digital. Hal ini dapat mengancam penggunaan Bahasa Indonesia dalam konteks digital. 2) Singkatan dan jargon baru. Penggunaan singkatan dan jargon baru dalam bahasa digital dapat mengurangi pemahaman Bahasa Indonesia secara umum. Selain itu, penggunaan singkatan dan jargon juga bisa mengganggu kaidah tata bahasa dan ejaan yang benar. 3) Keberagaman dialek. Bahasa Indonesia memiliki banyak dialek yang berbeda di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini dapat menjadi tantangan dalam membangun komunikasi yang efektif dan memastikan pemahaman yang sama antara pengguna dari berbagai daerah. 4) Kemampuan menulis yang rendah. Penggunaan media sosial dan aplikasi chat dapat mengurangi kemampuan menulis bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Banyak orang yang cenderung menggunakan singkatan dan bahasa yang tidak baku dalam komunikasi digital.
Di sisi lain, digitalisasi juga membawa peluang besar bagi perkembangan Bahasa Indonesia di tingkat global. Berkat internet, Bahasa Indonesia bisa diakses oleh banyak orang di seluruh dunia, sehingga semakin banyak orang yang tertarik untuk belajar Bahasa Indonesia dan menggunakan Bahasa Indonesia dalam konteks internasional.
Selain itu, digitalisasi juga memberikan kesempatan bagi pemuda Indonesia untuk mengembangkan kreativitas mereka dalam menggunakan Bahasa Indonesia. Berbagai platform digital seperti media sosial dan blog, memberikan ruang bagi anak muda Indonesia untuk menulis dan berbicara dalam Bahasa Indonesia, sehingga mereka dapat mengembangkan keterampilan berbahasa dan menyumbangkan karya-karya mereka untuk perkembangan Bahasa Indonesia.
Filsafat bahasa dapat memberikan pandangan tentang bagaimana teknologi dan globalisasi dapat digunakan untuk memajukan keberagaman bahasa dan melindungi warisan linguistik. Melalui pemahaman mendalam tentang peran bahasa, kita dapat mengidentifikasi dan mengatasi problematika sosial yang muncul. Pentingnya menjunjung tinggi keberagaman bahasa, mengakui hak setiap individu untuk menggunakan bahasa ibunya, dan menggunakan bahasa sebagai alat untuk pembebasan sosial menjadi bagian integral dalam membangun masyarakat yang adil dan inklusif. [NI]
Daftar Bacaan
Batubara, Liza Handayani et. al. 2023. Peran Filsafat Bahasa Dalam Membangun Harmoni Sosial. INNOVATIVE: Journal of Social Science Research, 3 (2), 1115-1125
Izhar, & Seftika. (2020). Tindak Tutur Dalam Tinjauan Filsafat Bahasa. Jurnal Anterior, 20(1). https://journal.umpr.ac.id/index.php/anterior/article/view/1528/1513
Lestari, N. D. (2020). Problematika Keterampilan Berbicara Bagi Pebelajar Multibahasa. Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran, 12 (1). https://ejournal.unisbablitar.ac.id/index.php/konstruktivisme/article/view/873/703
Rahardi, R. K. (2006). Dimensi-dimensi kebahasaan : aneka masalah bahasa Indonesia terkini. Erlangga.
Sumanto, E. (2017). Hubungan Filsafat dengan Bahasa. El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Tafsir Hadis, 6(1), 19–30. https://doi.org/10.29300/JPKTH.V8I1.1997