Nindita Utami Dewanti & Zahra Raudhatul Jannah (Mahasiswa Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia)
Menyibak Tabir Hahiwang, Tradisi Lisan Khas Pesisir Barat
Hahiwang merupakan salah satu bentuk tradisi lisan berupa syair berisi kisah-kisah sedih yang berasal dari Lampung, khususnya di daerah Pesisir Barat. Sebagai bagian dari sastra lisan Lampung, Hahiwang berisi ungkapan pengalaman dan perasaan jiwa atau ratapan perempuan Lampung atas penderitaan hidup dan kegagalan percintaan. Ratapan tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk nyanyian berbahasa Lampung.
Pada masa kini, tradisi Hahiwang sudah disesuaikan penggunaannya. Isi Hahiwang disesuaikan dan beralih fungsi sebagai sarana dakwah keagamaan dan pengingat orang Lampung akan adat istiadat Lampung. Selain itu, kebanyakan tradisi Hahiwang hanya ditampilkan pada acara-acara publik, seperti acara keagamaan, acara besar adat, dan perkawinan.
Nilai-nilai Hahiwang, yang pada awalnya merupakan ratapan masyarakat Lampung, mengalami perubahan fungsi seiring dengan penyesuaian zaman. Dari yang semula hanya sekadar ekspresi kesedihan, Hahiwang kini bertransformasi menjadi media pelengkap dalam upacara adat. Namun, frekuensi kemunculan Hahiwang sebagai bagian dari upacara adat pun kini mulai berkurang, tergantikan dengan acara-acara yang lebih menarik dan modern. Hal tersebut menunjukkan bahwa Hahiwang yang terancam punah adalah salah satu bukti bergesernya fungsi tradisi turun-temurun akibat modernisasi.
Selain itu, jumlah maestro yang sangat sedikit dan sudah lanjut usia, serta minimnya minat generasi muda untuk mempelajari dan melestarikan tradisi ini juga turut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tradisi ini terancam punah.
Mengenal Lebih Dekat Dewan Kesenian Pesisir Barat
Dibentuk pada tahun 2019, Dewan Kesenian Pesisir Barat (DKPB) hadir sebagai wadah kolaborasi bagi para seniman dan budayawan lokal untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Anggota dari DKPB terdiri dari 22 orang anggota yang berasal dari berbagai latar belakang, termasuk ASN, guru seni budaya, dan warga sipil, yang memiliki satu kesamaan: kecintaan pada seni dan budaya.
Dengan misi melestarikan dan mengembangkan warisan budaya lokal, DKPB secara aktif memfasilitasi berbagai kegiatan kreatif di bidang seni dan budaya melalui struktur organisasi yang terbagi dalam komite-komite khusus, meliputi seni rupa, teater, sastra, musik, dan tari, untuk mengembangkan potensi seni di setiap bidang.
Hahiwang sebagai salah satu kesenian khas Pesisir Barat yang eksistensinya hampir punah, merupakan salah satu kesenian yang menjadi perhatian Dewan Kesenian Pesisir Barat untuk dilestarikan. Namun, di samping hal tersebut, DKPB juga menyadari bahwa Provinsi Lampung sebagai salah satu provinsi yang memiliki banyak pendatang dari berbagai daerah, tentunya memiliki potensi-potensi kebudayaan lain yang perlu turut dilestarikan.
Selain Hahiwang dan berbagai kesenian daerah khas Lampung lainnya, DKPB juga turut menjadi rumah bagi para pelaku seni yang ingin mengembangkan kesenian dari daerah asalnya, seperti kesenian Kuda Lumping yang berasal dari Jawa dan Jaipong yang berasal dari Sunda.
Perspektif Hahiwang dari Dewan Kesenian Pesisir Barat
Mengingat Dewan Kesenian sempat vakum beberapa saat karena pandemi yang melanda, maka para pengurus Dewan Kesenian berusaha untuk membangkitkan kembali tradisi-tradisi yang ada di Pesisir Barat secara perlahan namun pasti. Ketua Harian Dewan Kesenian Pesisir Barat, Elly Dharmawanti, mengatakan bahwa mereka mencoba untuk mengambil bagian di kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
Dewan Kesenian berperan dalam mengatur teknis acara, dan mempersiapkan talent-talent yang terlibat. Talent yang dimaksud adalah para pelaku budaya yang ada di Pesisir Barat. Seorang anggota Divisi Sastra Dewan Kesenian Pesisir Barat, Andesba, menambahkan bahwa DKPB turut andil dalam beberapa event bertaraf internasional di Pesisir Barat, seperti lomba selancar internasional yang diadakan di bulan Mei–Juni. Pada acara seperti itu, terdapat panggung pementasan yang disebut dengan panggung kebudayaan. Melalui panggung tersebutlah para seniman diberi kesempatan oleh Dewan Kesenian untuk menampilkan kebolehan mereka.
Selain mengambil bagian dalam kegiatan kebudayaan Pemerintah Daerah, Dewan Kesenian Pesisir Barat pernah memiliki suatu proyek bernama Seniman Masuk Pekon (Desa). Sistemnya adalah organisasi ini bekerja sama dengan desa-desa yang ada dan mengajak desa-desa ini untuk bekerja sama dalam menghidupkan sanggar-sanggar di pekon. Pada pelaksanaannya, Dewan Kesenian baru mencoba merealisasikan program kerja ini dalam satu bentuk tradisi, yaitu tradisi/seni tari.
Terkait upaya untuk melestarikan tradisi lisan yang masih ada, Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung memiliki program diskusi terpumpun (FGD) tentang sastra lisan Lampung. Mereka mengelilingi setiap kabupaten dan hahiwang adalah tradisi yang terpilih di Pesisir Barat. Festival Hahiwang diadakan pada tanggal 26 Oktober 2024 lalu. Dewan Kesenian Pesisir Barat juga pernah berupaya melestarikan Hahiwang dengan cara mengadakan pelatihan kepada anak-anak sekolah, yang sayangnya tidak bertahan lama karena anak-anak yang tidak menunjukkan keantusiasan.
Harapan untuk Keberlanjutan di Masa Depan
Elly berharap tradisi lisan ini dapat diperkenalkan kepada generasi muda di Lampung sejak dini dengan cara memasukkan tradisi Hahiwang ke dalam muatan lokal dan diajarkan di sekolah. Pelantunan Hahiwang butuh penghayatan yang dalam, penjiwaan, dan vokal yang prima karena cengkok yang dilantunkan ketika berhahiwang cukup tinggi dan melengking.
Poin penting dalam pelantunan Hahiwang terletak pada nada dan intonasi, serta penjiwaan pelantunnya. Poin-poin inilah yang diharapkan oleh Dewan Kesenian Pesisir Barat dapat dipelajari oleh anak-anak muda. Terkait penulisan syair Hahiwang, pihak Dewan Kesenian Pesisir Barat percaya bahwa anak-anak muda yang ada di Lampung mampu menulis bait pantun khas Lampung tersebut.
Harapan utama Dewan Kesenian Pesisir Barat adalah adanya generasi penerus yang berminat dan mempelajari Hahiwang secara baik dan mendalam agar tradisi-tradisi lisan seperti Hahiwang tidak hilang begitu saja. Sangat disayangkan apabila tradisi-tradisi lisan ini hanya tinggal cerita dari mulut ke mulut yang kemudian akan lenyap ditelan zaman.
Sebagai tradisi yang sudah ada sejak zaman kolonial, Hahiwang merupakan salah satu warisan budaya tak benda yang penting untuk dijaga kelestariannya. Tradisi ini bahkan digunakan oleh masyarakat Pesisir Barat untuk menyerukan perlawanan.
Eksistensi tradisi-tradisi lisan yang ada di Pesisir Barat tidak lepas dari para pelaku budayanya. Sebagai rumah bagi para pelaku seni, Dewan Kesenian sangat berharap agar mereka dapat memberi manfaat dengan berusaha melestarikan tradisi-tradisi lisan yang ada di Provinsi Lampung. Oleh karena itu, tradisi-tradisi lisan seperti Hahiwang harus dipegang erat agar tidak tersapu oleh modernisasi yang perlahan mulai menguasai.
Referensi
Andesba. (2 November 2024). Wawancara oleh Penulis.
Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya. (2019). Hahiwang. Diakses pada 16 November 2024, melalui https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/hahiwang/.
Elly Dharmawanti. (2 November 2024). Wawancara oleh Penulis.