Oleh: Nur Syam (Guru Besar UIN Sunan Ampel, Surabaya)
Buka Bersama (Bukber) sudah menjadi tradisi di dalam masyarakat Islam Indonesia. Saya tidak mengetahui sejak kapan tradisi ini berlaku bagi masyarakat Indonesia. Namun kiranya dapat dipahami bahwa tradisi bukber merupakan perluasan makna dari acara kendurian atau slametan yang sudah dikenal sejak lama. Bahkan dapat dinisbahkan dengan tradisi yang sudah dibangun di masa Walisongo. Acara slametan bisa saja dikaitkan dengan Kanjeng Sunan Kalijogo, seorang wali yang sangat kental dengan tradisi Jawanya.
Tradisi bukber merupakan tradisi masyarakat perkotaan. Secara lebih khusus kelas menengah perkotaan. Selama ini kelas menengah perkotaan bisa dikaitkan dengan kaum birokrat dan pengusaha yang bekerja di sector pekerjaan kantoran, baik swasta maupun negeri. Tradisi ini merupakan perkembangan baru dalam tradisi umat Islam Indonesia.
Acara ini menjadi trend tahun 2000-an, lalu berhenti kala datang wabah Covid-19, dan kemudian bersemi lagi pasca Covid-19. Pasca Covid, acara bukber menjadi semarak lagi. Acaranya lebih banyak dilakukan di hotel-hotel. Tahun lalu, misalnya, hotel-hotel menjadi penuh sesak dengan acara bukber. Ada euphoria untuk bertemu dan menyelenggarakan acara makan-makan. Selama pandemic Covid-19, semua kegiatan bersama berhenti, maka begitu peluang untuk bertemu didapatkan, maka acara bukber menjadi semarak.
Bukber bukan hanya makan-makan bersama, akan tetapi dapat menjadi wahana untuk mengikatkan tali silaturrahim yang terputus secara fisikal. Memang tetap bisa berkomunikasi melalui media social, misalnya Facebook, WAG, Twitter dan lain-lain, akan tetapi silaturrahim yang tetap asyik adalah melalui bertemu secara langsung atau bermuwajahah. Di dalam acara bukber, sesungguhnya bisa menjadi medium baru dalam melampiaskan pertemanan sekaligus dendam makan bareng. Dan bulan puasa menjadi bulan yang sangat tepat untuk melakukan semuanya. Ada canda tawa, ada pembicaraan serius tentang pekerjaan dan juga perut kenyang. Bahkan juga menjadi social pride untuk menunjukkan strata social seseorang.
Pemerintah, pada bulan Ramadlan 1444 H atau 2023 memberikan Surat Edaran (SE) terkait dengan pelaksanaan Bukber khususnya bagi Aparat Sipil Negara (ASN). Di dalam SE yang ditandatangani oleh Mensekkab dengan Nomor R 38/Seskab/DKK/03/2023 tertanggal 21 Maret 2023, Perihal Arahan terkait Penyelenggaraan Buka Puasa Bersama. SE ini diperlukan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian penanganan Covid-19 mengingat saat ini masih dalam transisi dari Pandemi menuju Endemi. Selain itu juga untuk menerapkan prinsip hidup sederhana bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). (tempo.co 24/03/2023).
Sontak SE ini menuai po-kontra yang relative hingar bingar. Di era media social seperti ini, maka semua informasi dengan sangat mudah dapat diketahui oleh khalayak. Masyarakat yang sudah melek media social dengan mudah bisa mengakses berbagai macam informasi dari media social. Bagaimanapun, SE tersebut akan dapat dimaknai bervariasi sesuai dengan sudut pandang kepentingan yang berada dibalik paham dan tindakannya dimaksud.
Secara tipologis, ada beberapa pemahaman yang dapat diinterpretasikan, yaitu, pertama, respon kontra SE secara ekonomis. Di antara yang kontra, utamanya adalah dunia perhotelan dan Rumah Makan yang memang menjadi tempat untuk acara bukber. Pelarangan ini menjadi kendala bagi upaya untuk pemulihan ekonomi pada level dunia usaha hotel dan Rumah Makan. Setelah dalam dua tahun tidak beroperasi karena Pandemi Covid-19, maka usaha untuk mengembalikan roda ekonomi melalui Hotel dan Rumah Makan mulai dirasakan. Begitu terdapat “larangan” bukber, maka tentu dianggap sebagai constrains bagi upaya pemulihan ekonomi.
Kedua, respon sosial dan politik. SE tentang pelarangan bukber juga datang dari pimpinan organisasi social keagamaan. Menurut mereka Konser Musik luar negeri difasilitasi, melakukan resepsi pernikahan dalam jumlah undangan yang luar biasa diperbolehkan, mengapa bukber yang pesertanya tidak banyak dilarang. Sementara itu, Bukber yang jelas terkait dengan upacara keagamaan dikhawatirkan dengan berbagai macam alasan. Ada sesuatu yang kontradiktif atas perlakukan atas agama dan nonagama. Bagi kelompok Islamis, larangan bukber dapat menjadi alasan atas indikasi beroperasinya sistem pemerintahan thaghut yang selama ini didengungkan di media sosial.
Ketiga, respon netral atas SE. Larangan atas pelaksanaan Bukber hanya dikhususkan atas para pejabat. Jadi tidak diberlakukan bagi masyarakat umum. Bagi dunia usaha, para selebritis, dan organisasi social yang melakukan bukber tentu diperbolehkan atau tidak ada larangan. Larangan bukber tidak dimaksudkan atas usaha untuk memberangus umat Islam dalam merefleksikan agamanya. Upaya ini lebih tepat sebagai upaya untuk warning bagi para pejabat agar bisa menerapkan kehidupan yang lebih realistis, di tengah kehidupan social yang masih timpang sebagai akibat Covid-19.
Sebagaimana diketahui bahwa relasi agama dan negara atau agama dan pemerintah dewasa ini sudah berada dalam corak integrative. Tidak ada alasan untuk secara vulgar menyatakan bahwa SE ini akan memberangus kehidupan umat beragama. Bukber adalah asesoris dalam berpuasa. Bukan substansi. Bukber bisa menjadi pemanis berpuasa karena ada jalinan silaturrahmi secara nyata. Namun demikian, menjaga kehati-hatian dalam kehidupan kiranya juga sangat dipentingkan, terutama penggunaan uang negara untuk kepentingan bukber yang asesoris ramadlan dimaksud.
Oleh karena itu, alasan masa transisi dari Pandemi menjadi Endemi, kesederhanaan dan kehati-hatian dirasakan memang kurang match dengan tujuan pelarangan ASN dalam bukber. Mungkin perlu lebih tegas “jangan gunakan anggaran negara untuk Bukber”. Penggunaan anggaran negara untuk bukber merupakan bentuk penyelewengan anggaran negara yang seharusnya bisa dieliminasi. Wallahu a’lam bi al shawab.