Beranda Publikasi Kolom Skema Pembelajaran Sastra Digital

Skema Pembelajaran Sastra Digital

833
0

Mukhamad Hamid Samiaji (Pegiat Sastra di Lembaga Kajian Nusantara Raya UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto)

Penggunaan berbagai platform online baik untuk kelas online maupun berbagai jenis pekerjaan menjadi semakin populer di berbagai jenis lembaga pendidikan. Sumber daya dan alat digital nyaman dan efisien untuk digunakan, sehingga memudahkan guru dan siswa. Seperti digitalisasi pembelajaran sastra misalnya. Jika kita menelusuri artefak jejak digital kajian tentang pembelajaran sastra maka terus berkembang seiring kebutuhan di era globalisasi.

Pertama, temuan penelitian tentang model pembelajaran sastra yang dapat diterapkan. Model pembelajaran sastra Rekreatif-Responsif-Redeskrips (Al-Ma’ruf, 2006). Model-model pembelajaran sastra (Malang & Throwing, 2010), diantaranya pembelajaran puisi yakni, Model RKPL (Rencanakan, Kerjakan, Pelajari, Lakukan), model pembelajaran kontekstual, model respon puisi.

Pada pembelajaran cerpen yakni, model ekspresif, model T-O-K (Tiru-Olah-Kembangkan), model belanja gambar berangkai model bermain peran, strategi peta pikiran, strategi domino, strategi bongkar pasang, metode Peta-Pikiran, metode Tim Investigasi dan teknik pengelompokan. Pada pembelajaran novel terdapat model Jigsaw, metode Penilaian sejawat, strategi memusatkan perhatian dan membandingkan, serta metode analisis wacana kritis. Pada pembelajaran drama terdapat teknik bermain drama, teknik pemodelan, strategi konversi cerpen dan strategi pemodelan transformasi cerpen.

Kedua, pembelajaran sastra berperspektif multikultural yang mengedepankan transformasi sosial budaya dan perubahan nilai kehidupan yang berkecenderungan global (M, 2007). Ketiga, pembelajaran sastra melalui pengembangan kompetensi creative writing dapat memotivasi menulis sastra Mahasiswa serta secara simultan berimplikasi pada produktivitas karya yang dihasilkan (Bakri, 2004).

Keempat, pembelajaran sastra interdisipliner salah satu solusi menciptakan kondisi belajar yang mengasikkan dan menyenangkan serta memberikan pengalaman belajar yang bermakna (Language, n.d.). Kelima, pembelajaran sastra dapat melatih peserta didik memiliki kemampuan menemukan konsep dan menentukan keputusan dalam bersikap secara sosial (Sastra, 2017).

Pemanfaatan teknologi digital difokuskan pada perspektif lokal menuju global sebagai rangkaian menanggapi tuntutan dan harapan yang semakin meningkat. Eksplorasi teknologi digital mengarah pada metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis sebuah ilmu pengetahuan terapan.

Secara praktis, teknologi digital dapat meningkatkan kompetensi peserta didik dalam mengkontruksi cara belajarnya secara leluasa serta mengembangkan keterampilan multimodalnya. Eksplorasi pustaka digital dan hermeneutika yang dipercepat melalui teknologi digital merupakan upaya pendekatan dan eksperimental baru (Steggle, 2013). Hal tersebut akan dibutuhkan hampir semua masyarakat dan peserta didik dalam era globalisasi (Suyono, 2007). Terutama masyarakat dan peserta didik yang berbasis pengetahuan dan teknologi.

Di sisi lain, dipilihnya sastra digital sebagai pembelajaran untuk menjawab permasalahan di era globalisasi. Dasar pertimbangan yang diambil, yakni pertama, sastra digital merupakan alternatif pembelajaran multidisiplin dengan paket sajian pengarang baru, terutama dalam kemasan multimedia, multimodal dan estetika interaktif (Montoro, 2015). Kedua, sastra digital sebagai studi inovatif dengan fokus kajian pada teknik, dinamika visual dan materialitas sehingga memungkinkan adanya definisi baru terhadap karya sastra (Glazier, n.d.).

Ketiga, sastra digital mewakili dan membentuk topik global sebagai fenomena transkultural berdasarkan perkembangan teoritis fenomenologi, hermeneutika dan praktik sosial (Llamas, 2015). Keempat, sastra digital dengan menampilkan kartografi memberikan pengalaman interaksi yang dinamis melalui narasi prosa, puisi dan bentuk sastra lainnya dalam konteks sosial dan budaya (Thomas, 2013). Kelima, sastra digital sebagai media komunikasi budaya manusia melalui teks, gambar, video dan suara (Belvage, 2012). Keenam, sastra digital menjadi alternatif penting bagi penulis dan aktivis sastra di Indonesia (Fitriani, n.d.).

Dengan demikian, pembelajaran sastra digital dalam kaitan ini bukan seperti pembelajaran sastra, yakni memahami definisi, unsur dan makna melalui beragam pendekatan karya sastra, tetapi lebih mengarah kepada pembelajaran multidisiplin terutama dalam kemasan multimedia, multimodal dan estetika interaktif (Montoro, 2015).

Skema Pembelajaran Sastra Digital

Pembelajaran sastra digital mengacu pada teori belajar konstruktivisme. Teori tersebut mengemukakan bahwa peserta didik membangun pengetahuan dan makna dari pengalaman mereka (Henriksen, 2017; Smith, 2015). Karena peserta didik memiliki latar belakang, pengalaman, dan keterampilan yang luas, pengetahuan dibangun secara individual saat peserta didik bekerja untuk memahami masalah yang mereka hadapi. Tiga prinsip teori belajar konstruktivisme, yakni: pengalaman pribadi, pembelajaran aktif, dan interaksi sosial (Henriksen, 2017; Smith, 2015; Richey, Klein, & Tracey 2011).

Pertama, pengalaman pribadi terkait dengan keyakinan yang diciptakan oleh pendidik dalam membangun pengetahuan berdasarkan pengalaman yang peserta didik hadapi di dunia nyata. Pengetahuan tidak terlihat sama untuk setiap individu. Ini unik dan ada dalam berbagai keterampilan.

Untuk menumbuhkan jenis lingkungan belajar ini, pendidik yang memanfaatkan teori desain konstruktivis menyajikan siswa dengan masalah dan aktivitas yang relevan dan bermakna bagi mereka. Hal ini memungkinkan peserta didik untuk membuat koneksi dengan pengalaman sebelumnya. Pendidik memfasilitasi dan membimbing pembelajaran dengan membantu peserta didik membuat hubungan yang berarti antara pengalaman masa lalu dan informasi baru mereka (Lunenburg, 1998).

Kedua, pembelajaran aktif. Dalam lingkungan belajar yang aktif, peserta didik lebih dari sekadar penerima informasi pasif. Peserta didik secara aktif terlibat dalam pembelajaran mereka dengan memecahkan masalah dan menganalisis pertanyaan yang kompleks (Smith, 2015; Richey, Klein, & Tracey, 2011). Pendidik menciptakan lingkungan belajar aktif dengan menggunakan model pembelajaran problem solving dan pembelajaran berbasis proyek (Richey, Klein, & Tracey, 2011).

Ketiga, interaksi sosial. Proses berinteraksi dengan teman sebaya dan juga pendidik membantu peserta didik membangun pemahaman baru atau memikirkan yang sudah ada (Lunenburg, 1998). Karena pengalaman individu berbeda, interaksi sosial memungkinkan peserta didik untuk mendengar perspektif dan gagasan lain. Dalam proses interaksi ini peserta didik harus bekerja untuk memahami gagasan baru yang disajikan saat mereka mengkonsolidasikan informasi baru dengan pengalaman mereka sendiri.

 Untuk menumbuhkan jenis lingkungan belajar ini peran utama pendidik adalah berperan sebagai fasilitator atau pembimbing (Tam, 2000). Pendidik harus menciptakan lingkungan belajar kolaboratif di mana peserta didik merasa nyaman berbagi gagasan dan berdiskusi. Sering kali proyek kelompok merupakan komponen kunci dari teori belajar konstruktivis. Proyek kelompok mengharuskan peserta didik untuk berkomunikasi dan berkolaborasi satu sama lain untuk mencapai kesepakatan. Pendidik harus bekerja untuk membimbing diskusi kelompok ini menjadi komunikasi yang berarti tentang materi pelajaran (Lunenburg, 1998).

Selanjutnya akan dibahas mengenai tujuan dan hasil belajar peserta didik. Tujuan pembelajaran sastra digital yakni menciptakan kesadaran dalam mengembangkan potensi diri untuk menjadi intelektual secara aktif serta mengembangkan potensi melalui pembelajaran sastra digital dengan penelusuran kebenaran ilmiah. Tujuan belajar tersebut dapat tercapai jika pembelajaran diarahkan pada pembelajaran sepanjang hayat (Sudarsana, 2016).

Mewujudkan pembelajaran sepanjang hayat dilakukan melalui pengembangan bahan ajar yakni melalui sastra digital (sastra mutakhir) dengan melibatkan referensi daring maupun luring. Pendukung di luar pembelajaran juga dikenalkan kepada peserta didik tentang pentingnya interaksi sosial terhadap keluarga, lembaga bisnis serta lembaga lain dalam masyarakat yang turut serta mendukung pembelajaran sastra digital.

Lembaga keluarga dapat berfungsi sebagai sumber dukungan dan stimulus untuk meningkatkan pemahaman makna dan nilai belajar sepanjang hayat. Mengembangkan harapan tinggi pada peserta didik, impian masa depan, penghargaan terhadap kerja sebagai kunci keberhasilan, persepsi sebagai lembaga penyelesaian masalah, ketaatan pada aturan rumah tangga, menjalin komunikasi dengan instansi belajar. Selanjutnya, beberapa hal lain yang dipandang penting untuk dikembangkan adalah kerjasama dengan dunia bisnis.

Kerjasama dapat dikembangkan pada tingkat pengambilan kebijakan, manajemen instansi, pelatihan bagi pendidik, pengiriman peserta didik ke lembaga kerja, dan pembelajaran di kelas. Untuk lebih mengoptimalkan perwujudan belajar sepanjang hayat, di samping kerjasama sebagaimana di kemukakan di atas, instansi belajar juga perlu membuka diri untuk menjalin kerjasama dengan berbagai potensi budaya masyarakat yang sangat beragam, dan lembaga-lembaga lain yang ada di masyarakat untuk secara bersama-sama memberi kesempatan belajar bagi semua peserta didik dan anggota masyarakat.

Bagaimana Proses Penilaian Pembelajaran Sastra Digital

Penyelenggaraan pembelajaran sastra senantiasa dipengaruhi oleh pendekatan tertentu dalam ilmu sastra. Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan dalam evaluasi keterampilan bersastra untuk mengukur seberapa baik peserta didik mempergunakan elemen-elemen bahasa sesuai dengan konteks komunikasi yang nyata (Wahyuni, 2012; Nurgiyantoro, 2011).

Pendekatan pragmatik mengutamakan peranan penggunaan bahasa senyatanya dalam kajian terhadap sastra, termasuk tes. Pendekatan pragmatik mengaitkan bahasa dengan penggunaan senyatanya, yang melibatkan tidak saja unsur-unsur kebahasaan seperti kata-kata, frasa, atau kalimat, tetapi unsur-unsur di luarnya juga, yang selalu terkait dalam setiap bentuk penggunaan bahasa.

Sesuai dengan pandangannya terhadap bahasa, bentuk-bentuk evaluasi pembelajaran sastra digital dalam pendekatan pragmatik, dianggap sebagai tes yang memenuhi ciri-ciri pragmatik. Bentukbentuk tes itu selalu menggunakan sastra digital (wacana) yang mengandung konteks, bukan semata-mata kalimat atau kata-kata lepas. Mengerjakan tes yang menggunakan sastra digital (wacana) mensyaratkan kemampuan memahami unsur-unsur kesastraan dan non-kesastraan sebagai bagian dari pemahaman terhadap sastra digital (wacana) secara keseluruhan.

Evaluasi pembelajaran sastra digital memiliki beragam alternatif untuk dilakukan, setidaknya sebelum melakukan evaluasi yang kaitannya dengan asesmen, pengukuran serta tes maupun nontes ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni: (a) jenis asesmen tes dan, (b) jenis asesmen non tes. Oleh karena penentuan jenis asesmen penting untuk dipilih maka selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah sastra digital sebagai sumber belajar maupun media belajar.

Pembelajaran sastra digital mengacu pada teori belajar konstruktivisme dimana peserta didik membangun pengetahuan dan makna dari pengalaman mereka (Henriksen, 2017; Smith, 2015) maka tes yang sesuai berdasarkan taksonomi Bloom. Tes berdasarkan taksonomi Bloom menyangkut tiga ranah atau domain dalam penilaian, yakni (a) ranah kognitif, (b) ranah afektif, dan (c) ranah psikomotor (Wahyuni, 2012).

Ranah kognitif yaitu segala upaya yang menyangkut aktivitas otak termasuk ranah proses berpikir. Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan ranah psikomotor merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas otak, fisik, atau gerakangerakan anggota badan.

Oleh karena dalam asesmen taksonomi Bloom mensyaratkan tiga ranah tersebut secara bersamaan maka asesmen pembelajaran sastra digital dengan menggunakan perspektif pragmatik yang sesuai adalah menggunakan tes berdasarkan taksonomi Bloom. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pengembangan dan uji coba untuk menghasilkan instrumen asesmen pembelajaran sastra digital yang setidaknya memenuhi syarat sahih, ajeg dan praktis.

Daftar Bacaan

Al-Ma’ruf, A. I. (2006). Pembelajaran Sastra Apresiatif Dengan Rekreasi-Responsi-Redeskripsi Dalam Perspektif Kbk. Jurnal Kajian Linguistik dan Sastra, 18 (34), 16–37.

Djiwandono, M. Soenardi. (1996). Tes Bahasa dalam Pengajaran. Bandung: Penerbit ITB

Harris, R. (2008). World Wide Web Research Tool. Tustin, C.A: VirtualSalt.

Henriksen, L. B. (2017). Change, concepts and the conceptualising method. Proceedings of Pragmatic Constructivism, 6 (2), 29-33.

Firmansyah, M. B. (2018, January 3). Social and Political Values in Iwan Fals’s Song Collections_bayu. Retrieved from osf.io/ayj8e

Flavin, M. (2017). Disruptive Technology Enhanced Learning: The Use And Misuse Of Digital Technologies In Higher Education. https://doi.org/10.1057/978-1-137-57284-4

Hart, D. (1994). Authentic Assessment: A Handbook for Educators. Assessment Bookshelf Series. Dale Seymour Publications, 10 Bank Street, White Plains, NY 10602.

Llamas, M. (2015). Digitising the world: globalisation and digital literature. Neohelicon, 42(1), 227–251. https://doi.org/10.1007/s11059-014-0261-x

Lunenburg, F. C. (1998). Constructivism and Technology: Instructional Designs for Successful Education Reform. Journal of instructional psychology, 25 (2), 75.

M, A. I. A. (2007). Pembelajaran sastra multikultural di sekolah: aplikasi novel, 19(1), 60– 75.

Montoro, R. (2015). Hoover, D. L., Culpeper, J., & O’Halloran, K. 2014. Digital Literary Studies. Corpus Approaches to Poetry, Prose, and Drama. International Journal of Corpus Linguistics, 20(1), 129–137. https://doi.org/10.1075/ijcl.20.1.07mon

Nurgiyantoro, B. (2011). Pengembangan Model Asesmen Otentik dalam Pembelajaran Bahasa. Cakrawala Pendidikan Edisi November 2009.

Richey, R. C., Klein, J. D., & Tracey, M. W. (2011). Chapter 8: Constructivist Design Theory. The Instructional Design Knowledge Base. New York, NY: Routledge.

Siemens, R. (n.d.). Wiley: A Companion to Digital Literary Studies. Retrieved from http://eu.wiley.com/WileyCDA/WileyTitle/productCd-1405148640.html

Steggle, M. (2013). Knowledge will be multiplied”: Digital Literary Studies and Early Modern Literature. A Companion to Digital Literary Studies, 82–105. https://doi.org/10.1002/9781405177504.ch4

Sudarsana, I. K. (2016). Pemikiran Tokoh Pendidikan Dalam Buku Lifelong Learning: Policies, Practices, and Programs (Perspektif Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia). Jurnal Penjaminan Mutu, 2, 44–53. https://doi.org/10.25078/jpm.v2i2.71

Suyono. (2007). Dimensi, Jenjang dan Asesmen Perilaku Berliterasi Siswa di Sekolah. Jurnal Ilmu Pendidikan, 14 (2), 69–75. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.17977/JIP.V14I2.23

Thomas, L. (2013). Cartographic and literary intersections: Digital literary cartographies, digital humanities, and libraries and archives. Journal of Map and Geography Libraries, 9 (3), 335–349. https://doi.org/10.1080/15420353.2013.823901

Tam, M. (2000). Constructivism, instructional design, and technology: Implications for transforming distance learning. Educational Technology & Society, 3 (2), 50-60.

Wahyuni, S., & Ibrahim, S. (2012). Asesmen Pembelajaran Bahasa. Bandung: Refika Aditama.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini