Oleh Sumanto Al Qurtuby (Antropolog budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute dan Co-Founder Nusantara Kita Foundation).
Pada 28 Juli 2020, Nusantara Institute & Nusantara Kita Foundation, bekerja sama dengan PT Bank Central Asia, Tbk, menggelar webinar bertajuk “Perempuan dan Budaya Nusantara.” Dipandu oleh Sumanto Al Qurtuby, acara webinar ini menghadirkan Putri K Wardani (Wantimpres 2019-2024 & Ketua Dewan Pembina Mustika Ratu), Christine Hakim (aktris, produser film, dan aktivis sosial budaya), Alissa Wahid (Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia & Sekjen Gerakan Suluh Kebangsaan) dan Syafaatun Almirzanah (Guru Besar Studi Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta).
Webinar ini untuk mendiskusikan kompleksitas dan tantangan perempuan sebagai avant-garde (pejuang, penjaga dan pelestari) kebudayaan Nusantara.
Kata “kebudayaan” (kultur atau “culture”) memiliki makna dan cakupan yang sangat luas. Banyak sarjana yang sudah mendefinisikannya. Almarhum Profesor Selo Sumardjan, pemrakarsa ilmu-ilmu sosial di Universitas Indonesia, misalnya, mendefinisikan kebudayaan sebagai “semua hasil karya, rasa dan cipta manusia atau masyarakat.” Jadi, kebudayaan bisa berbentuk “kebudayaan material” (material culture) yang kasat mata seperti bangunan, pakaian, teknologi dan lain-lain dan “kebudayaan nonmaterial” yang tidak kasat mata tetapi ada dan dipraktikkan oleh masyarakat seperti tradisi, adat istiadat, perilaku dan sebagainya.
Kiprah Perempuan dalam Sejarah Nusantara
Topik ini penting untuk didiskusikan karena meskipun emansipasi perempuan sudah berlangsung lama di Indonesia tetapi sistem patriarki dan ideologi “misoginisme” yang memprioritaskan peran sentral kaum lelaki di satu sisi dan menomorduakan kaum perempuan di pihak lain, khususnya di ranah publik, belum sepenuhnya sirna dari masyarakat.
Jika sistem sosial patriarki diciptakan oleh laki-laki, maka pengusung dan pendukung ideologi misoginisme ini tidak mesti kaum lelaki tetapi bisa juga perempuan. Masih banyak kaum perempuan (apalagi laki-laki) yang menganggap “ruang publik” adalah “domain lelaki”, sedangkan “domain perempuan” adalah “ruang privat/domestik.” Watak dan ideologi misoginisme ini bisa dilakukan atas nama agama maupun non-agama (misalnya, “adat ketimuran” atau “budaya timur”). Indonesia pernah memiliki preseden buruk dimana Megawati Sukarnoputri dulu pernah diganjal dengan isu agama oleh sekelompok elit parpol berlabel Islam yang menganggap perempuan “haram” menjadi kepala negara.
Padahal dalam sejarahnya, sejumlah perempuan Indonesia pernah menjadi pemimpin dan pejuang politik misalnya Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga, Jepara (Jawa Tengah) di abad ketujuh. Kerajaan Majapahit di abad ke-14 juga memiliki pemimpin politik-pemerintahan perempuan seperti Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani dan Kusumawardhani.
“Nama saya diambil dari Ratu Majapahit ini yang mencerminkan keinginan orang tuaku agar anaknya kelak bisa aktif dan bahkan menjadi pemimpin di ruang publik di Indonesia,” tegas Putri K. Wardhani, salah satu pembicara webinar yang merupakan satu-satunya perempuan di Dewan Pertimbangan Presiden, 2019-2024. Putri Wardhani sudah membuktikannya melalui peran sentralnya di berbagai sektor: politik, ekonomi & bisnis maupun budaya.
Dalam sejarah Nusantara, perempuan memang bukan hanya sekedar menjadi “konco wingking” (teman belakang) atau pelengkap lelaki saja tetapi juga menjadi salah satu agen budaya yang memiliki peran sentral dan kontribusi besar dalam menciptakan sekaligus mempertahankan dan melestarikan produk-produk kebudayaan di masyarakat. Perempuan juga menjadi bagian dari agen perubahan sosial yang memainkan peran penting di masyarakat. Oleh karena itu tidak heran jika hingga kini, banyak dari mereka yang aktif dan berkontribusi di masyarakat melalui berbagai jalur kebudayaan: politik, ekonomi, pendidikan, seni, dan bahkan agama. Para narasumber webinar juga para tokoh perempuan yang aktif di ruang publik sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Tantangan Bagi Kaum Perempuan
Tetapi di pihak lain, perempuan juga mendapat tantangan serius untuk mewujudkan diri sebagai “agen budaya” di masyarakat. Tantangan tersebut bukan hanya datang dari kaum “lelaki misoginis” saja tetapi juga dari kaum “perempuan misoginis” yang kontra terhadap peran publik kaum perempuan. Tantangan juga bukan hanya datang dari tokoh politik saja tetapi juga dari tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Pula, tantangan bisa datang dari (1) sistem patriarki yang memberi ruang kecil pada perempuan, (2) sistem politik dan ideologi feodalisme yang mengerangkeng kaum perempuan tetapi, (3) gelombang overdosis “Arabisasi” yang menomorduakan kaum perempuan, dan (4) serbuan agama, terutama Islam, yang atas nama Tuhan dan kitab suci sering kali mengerdilkan dan mengsubordinasi peran-peran perempuan.
Seperti terjadi di Indonesia dewasa ini, gelombang ultrakonservatisme agama, khususnya arus Islam ultrakonservatif yang dipelopori oleh kelompok Salafi ekstrim, telah menggiring perempuan ke pojok sejarah, menjadi “obyek” bukan “subyek peradaban.” Padahal, seperti dituturkan oleh Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia dan Sekjen Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama, para perempuan NU, khususnya para “bu nyai” (istri para kiai) sudah lama menjadi penggerak emansipasi perempuan di bidang pendidikan dan sosial-budaya serta lama tampil di ruang publik sebagai aktor yang turut memberi pencerahan dan edukasi kepada masyarakat tanpa ada sekat gender. Jadi, menurut Wahid, apa yang dilakukan oleh kelompok Islam ultrakonservatif belakangan ini adalah sebuah kemunduran sejarah dan peradaban bangsa Indonesia.
Gelombang Islam ultrakonservatif sejak beberapa dekade terakhir ini cukup sukses mempengaruhi sebagian kaum lelaki dan perempuan di Indonesia untuk memarginalkan kebudayaan mereka sendiri karena dianggap bid’ah, sesat, atau tidak Islami / tidak religius yang bisa menjadi penghambat keselamatan mereka kelak di alam akhirat serja pengganjal jalan ke surga.
Sudah banyak aneka ragam produk kebudayaan lokal warisan leluhur bangsa di Indonesia yang dikafirsesatkan dan dimarginalkan oleh kelompok konservatif agama seperti candi, konde, keris, kemben, kebaya serta aneka ragam tradisi lokal seperti nyadran, sedekah bumi dan sebagainya.
Kelompok anti-budaya lokal Nusantara ini bukan hanya kaum lelaki saja tetapi juga (sebagian) kaum perempuan sendiri. Banyak perempuan di Indonesia yang turut menjadi “pemandu sorak” (cheerleaders) ideologi Islam ultrakonservatif yang anti-tradisi dan budaya lokal Indonesia. Uniknya lagi, kelompok Islam ultrakonservatif ini hanya anti terhadap budaya lokal Nusantara (atau “budaya Barat” dan lainnya) yang mereka anggap sebagai “budaya non-Islam”, bukan budaya Timur Tengah yang mereka imajinasikan (secara keliru) sebagai “budaya Islam.”
Menganggap produk kebudayaan Timur Tengah sebagai “budaya Islam” atau “budaya Muslim” jelas salah fatal. Hal itu karena produk-produk kebudayaan Timur Tengah (seperti abaya, jubah, hijab, cadar dan lainnya) juga dipraktikkan oleh umat non-Muslim seperti Yahudi, Kristen, Yazidi, Druze dlsb.
“Dalam hal tata busana, substansi ajaran Islam hanya mengatur soal kepantasan berpakaian di ranah publik, bukan soal bentuk atau jenis pakaian. Jadi, asal dianggap pantas, tidak masalah mau memakai abaya ala Timur Tengah atau kebaya ala Nusantara, jubah ala Timur Tengah atau sarung ala Nusantara,” tegas Syafaatun Almirzanah yang pernah menjabat sebagai Malaysian Chair for Islam in Southeast Asia di Georgetown University, Amerika Serikat.
Semua kendala dan tantangan yang menghambat peran perempuan dan eksistensi kebudayaan lokal Nusantara itu harus dilawan bukan hanya oleh laki-laki tetapi juga oleh kaum perempuan sendiri. “Perempuan harus berani melawan dan tampil di depan sebagai penjaga dan pelestari budaya Nusantara,” jelas Christine Hakim, artis senior dan aktivis sosial-budaya.[NI]